Mas Daffa tersenyum mendengar apa yang aku katakana. Aku hanyalah asal berkata namun melihat bagaimana responsnya yang menyenangkan membuat aku jadi bersemangat untuk kembali bercerita.
“Mengapa Mas tertawa? Apa Mas tidak percaya denganku?” tanyaku sambil mengerucutkan bibir.
Mas Daffa terkekeh sambil menggelengkan kepalanya, “Tidak, bukan begitu maksud Mas.” Katanya.
“Lalu?” tanyaku mencoba mengorek jawabannya.
“Kamu terlihat lucu saat menceritakannya, itu sebabnya aku tertawa.” Kata Mas Daffa.
Aku pun mengerucutkan bibir walau dalam hati aku bersyukur bahwa bila ku nilai dari kata-katanya, sepertinya Mas Daffa adalah tipikal orang yang sangat jujur. Meski baru lulus SMA aku sudah menemui banyak orang dan sudah pandai mengelompokkan orang-orang ke dalam beberapa kategori. Hanya saja, aku memang salah dalam hal Azriel karena dia benar-benar licin.
Memikirkan Azriel membuatku kembali sedih dan sebutir air mata kembali jatuh dari mataku. Benar-benar air mata yang lebih air mata dari ai mata.
“Maaf, aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu.” Mas Daffa terlihat tidak enak hati.
Aku pun mengangguk dan mengusap air mataku dengan kasar. Aku sudah selesai menceritakan semua yang aku rasakan kepada dirinya, dan kini aku merasa penasaran dengan Mas Daffa.
“Mas Daffa siapa?” tanyaku sambil menatap manik matanya.
“Mas? Ya … manusia. Apa kau mengira Mas adalah bidadara yang turun dari langit?” tanya Mas Daffa.
Akupun menyenggol lengan Mas Daffa sedikit sebal mendengar apa yang dikatakannya, namun dia justru membalasku dengan sebuah senyuman yang aku tidak bisa artikan.
“Tidak lucu, Mas ….” kataku.
“Padahal Mas bertanya bukan melawak.” Katanya.
“Apa ini adalah lelucon orang dewasa, Mas. Benar-benar tidak asyik.” Kataku.
“Lalu, menurut dirimu, yang asyik yang bagaimana?” tanya Mas Daffa.
“Sebentar, Mas. Biar aku pikirkan dulu.” Kataku. Aku memegangi kepalaku dan beharap dengan itu kepalaku bisa mengeluarkan jurus otak encernya.
“Kamu butuh berapa waktu untuk berpikir?” tanya Mas Daffa.
“Yah, konsentrasiku sudah pecah, jadi aku tidak bisa menjawab pertanyaan tadi.” Kataku dengan wajah menyesal yang dibuat-buat.
Mas Daffa mengacak kepalaku dan tertawa, kali ini Mas Daffa terlihat seperti gemas sekali melihat aku. Aku hanya bisa memperhatikan wajah Mas Daffa yang semakin dilihat, semakin tampan itu.
“Kamu benar-benar anak yang menyenangkan.” Kata Mas Daffa.
“Mas, rambutku rusak!” protesku yang langsung melepasakan tangan Mas Daffa dari kepalaku. Dia tertawa lagi.
“Ini kali pertama saya tertawa seperti ini.” Katanya yang tiba-tiba berwajah serius.
“Benarkah? Mengapa seperti itu? Apa istri Mas tidak memberikan jatah kepada Mas?” tanyaku.
Mas Daffa menatapku sedangkan aku hanya bisa nyengir kuda. Kudengar kalau orang dewasa selalu membicarakan hal-hal yang berbau hubungan badan.
“Kamu baru saja bercerai.” Katanya.
Seketika aku tidak lagi nyengir kuda. Aku benar-benar terkejut. Ternyata Mas Daffa belum menikah, padahal aku hanya bercanda, namun justru ternyata Mas Daffa bukan lagi sudah menikah melainkan sudah bercerai.
“M-maaf, Mas. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan Mas sama sekali.” Kataku meminta maaf dengan tulus.
Mas Daffa hanya bisa tersenyum dan mengangguk lalu dia merapikan rambutku agar tidak berantakan, hal tersebut sontak membuat aku terus mengedarkan pandanganku ke arah tangannya yang mengusap kepalaku dan mencoba merapikan rambutku tersebut.
“Iya, nggakpapa. Itu hanya masa lalu.” Katanya.
“Memang kenapa sampai bercerai, Mas?” tanyaku penasaran.
“Dia berselingkuh dan memilih menikah dengan selingkuhannya.” Terangnya.
Aku seketika berkaca-kaca lagi karena kami memiliki nasib yang sama dan kami sama-sama gagal dalam hal percintaa, namun parahnya dia sampai bercerai. Aku jadi membayangkan kalau aku berada di posisi Mas Daffa. Kalau aku berada di posisinya, sudah pasti aku sudah stress berat. Aku bahkan takut kalau sampai aku menjadi gila.
“Bolehkah aku memelukmu, Mas? Karena kita benar-benar senasih, sama-sama diselingkuhi dan sama-sama ditinggalkan demi selingkuhan.” Kataku sambil merentangkan tangan.
Mas Daffa mengangguk dan memelukku, nyaman sekali. Ini adalah kali pertama aku sampai mau memeluk orang asing. Kami hanya baru berkenalkan sebetar namun, ntah mengapa aku merasa kalai kami sudah cukup dekat.
“Itukah alasan mengapa Mas Daffa bisa sampai datang sendiri ke pesta pernikahan Azriel?” tanyaku yang sudah melepaskan pelukan kamu.
Aku menyudahinya karena merasa sudah cukup. Aku takut terbawa perasaan bila aku memeluknya lama-lama.
“Kenapa kamu tahu kalau saya datang sendiri?” tanya Mas Daffa.
“Iya, buktinya Mas di sini sama aku. Kalau Mas punya pasangan tentu tidak akan ada di sini bersamaku, bukan?” tanyaku.
Mas Daffa mengangguk membenarkan kata-kataku. Aku kali ini merasa senang karena aku berhasil terlihat lebih dewasa.
“Benar sekali. Kamu benar-benar gadis yang cerdas.” Puji Mas Daffa.
Mau tak mau pipiku terasa panas mendengar pujiannya, aku benar-benar merasa murahan saat ini karena terlalu mudah memeluk, mengobrol, dan senang dipuji oleh orang asing. Kami memang sudah berkenalan sebelumnya. Namun, tetap saja umur perkenalan kami belum sampai menginjak jam baru menit. Eh, apa satu jam? Ah, aku tidak menghitungnya.
“Apa kamu sedang mengejek aku, Mas? Aku di sekolah bahkan tidak bisa menjawab saat guru menanyakan 1x0.” Kataku. Aku jadi kesal memikirkan itu.
Mas Daffa hanya terkekeh sebentar.
“Jadi, Mas tadi di pernikahan Azriel amu undangan siapa? Azriel atau istrinya?” tanyaku yang penasaran.
“Azriel.” Katanya.
Aku menggukkan kepala sebentar.
“Dia adalah keponakanku.” Kataku.
Kalimat yang dilontarkan oleh Mas Daffa kini membuatku terlonjak kaget. Aku benar-benar tidak menyangka ternyata kalau orang yang sedang duduk di sampingku dan mendengarkan semua makianku kepada Azriel justru adalah om dari Azriel.
“Mas, bercanda, kan?” tanyaku mencoba berpikir positif.
Aku mencoba menatap wajah Mas Daffa dan mencoba mencari kebenaran dari mata itu. Aku berharap kalau Mas Daffa tertawa dan mengatakan kalau dirinya bercanda namun hal tersebut tidak terjadi. Mas Daffa terlihat serius. “Aku serius.” Katanya.
Mendengar hal tersebut aku langsung berdiri. Aku tentu tidak bisa berlama-lama dengan Mas Daffa setelah tahu siapa Mas Daffa sebenarnya. Aku memang menyukai orang-orang jujur, namun pada saat ini aku belum siap mendengarkan kejujuran Mas Daffa yang merupakan om dari Azriel.
“A-aku harus pergi.” Kataku.
Aku pun langsung berbalik dan melangkahkan kakiku untuk berlari.
“Wawa, tunggu!” seru Mas Daffa.
Aku tidak mau menoleh, aku pun terus berlari, aku tidak memperdulikan Mas Daffa yang meneriaki namaku dan memintaku untuk kembali. Aku tidak mau berhubungan dengan semua yang menyangkut Azrie.
Mantan kekasih brengsekku itu benar-benar telah menorehkan luka di dadaku dan aku tidak mau menambah lebar luka yang aku rasakan. Oleh sebab itu, aku pun berniat untuk pergi menjauh dari Mas Daffa.
Mas Daffa adalah orang yang sangat baik, namun statusnya yang merupakan paman dari Azriel membuatnya buruk di mataku.
Ah, sial, dalam pelarian ini tiba-tiba aku teringat pada makanan yang dibelikan oleh Mas Daffa yang masih ada dalam plastik putih. Andai saja waktu bisa diputar kembali, aku akan mengambil plastis itu sebelum berlari.