BAB 7 - Tamu Tak Diundang

1747 Words
Aku membaca ulang apa yang tertulis di lembar kertas itu, tidak ada yang berubah. Isinya tetap sama, Daffa mau membahas sesuatu yang urgent. Berpikir keras pun tidak ada jawaban urusan penting apa yang mungkin timbul antara aku dengannya? Perasaanku gelisah, rasanya tidak karuan antara penasaran dan aneh. Lelaki itu hanya muncul begitu saja di hadapanku tanpa pernah bertemu sebelumnya, bohong kalau tiba-tiba ada hal urgent timbul antara aku dan dia. "Ah, sangat meresahkan!" keluhku tanpa sadar. "Maaf, Mbak? Ada apa ya?" tanya supir taksi seraya mengintipku dari kaca spion tengah. "Gak ada apa-apa kok, Pak," jawabku melirik kedua matanya lewat kaca spion juga, lalu, mataku turun dan terhenyak melihat angka di kotak argo. "HEK!" Entah berapa lama aku berada di dalam taksi, yang jelas angka 45.670 telah menyalakan alarm kencang di kepalaku. "Eh, eh, stop, Pak. Pak, aku turun di sini saja," kataku dengan panik luar biasa. Secara otomatis aku berhitung uang yang diberikan mamaku tadi sebelum berangkat. Dua ratus ribu terasa sedikit ketika harus dipotong argo yang saat ini telah berubah menjadi 46.800. "Huaa … mimpi buruk, mimpi buruk!" seruku sambil merogoh dompet saat taksi yang kutumpangi telah merapat ke pinggir jalan dan berhenti. "Mbak dari tadi cuma ngelamun, bukan tidur," ucap sang supir seraya memiringkan tubuhnya menghadapku. Kusodorkan satu lembar lima puluh ribu pada supir itu tanpa ingin menengok argo lagi. "Ini, Pak. Kembalian," kataku sambil menatap sendu pada lembar uang itu. "Ya, gak ada dua ratusnya, ini tiga ribu," ucap supir itu seraya menyerahkan dua lembar uang dua ribu dan seribu. Kuterima kembalian itu dengan tatapan sendu, kemudian cepat-cepat aku turun dari taksi, kembali merasakan panasnya udara yang menyengat kulit. Di sinilah aku, berdiri di pinggir jalan dengan perasaan tidak karuan, orang berlalu lalang terlihat olehku, anehnya aku merasa sendirian setelah kehilangan pacar dan satu lembar lima puluh ribu hanya demi membaca tulisan di selembar kertas. "Woah, Daffa harus bertanggung jawab! Gara-gara dia aku harus naik taksi," keluhku merasa sesak. Aku melanjutkan perjalanan pulang dengan bis kota yang tinggal menggesek kartu flazz ibuku tanpa mengganggu gugat uang yang ada di dompetku. Duduk di deretan kursi paling belakang, mepet ke jendela kaca sambil melamun adalah posisi favoritku setiap kali naik bis yang bagiku cukup mewah dan memanjakan; adem, tidak berdesakan, tidak bising dan kalau pagi, aroma di dalam bis wangi oleh berbagai parfum para karyawan kantoran. Dari halte pemberhentian bis, aku hanya perlu berjalan kaki untuk sampai di rumahku. Perutku keroncongan karena tidak sempat jajan dan yang aku inginkan sekarang hanya mandi, makan lanjut rebahan dikipasi baling-baling yang tertancap di langit-langit kamarku. Aku menyebutnya baling-baling agar berbeda dengan kebanyakan orang yang menamainya kipas angin. Toh, tidak ada bedanya dengan kipas angin helikopter, sama-sama berbentuk bulat putarannya, sama-sama mengeluarkan angin. Akhirnya, kakiku sampai juga menjejak home sweet home, menikmati kerinduan pada wangi ruangan yang khas, seolah-olah telah kutinggalkan berhari-hari padahal baru beberapa jam saja. "Wa? Sudah pulang? Kok tumben masih siang?" tanya ibuku bernada sindiran tentu saja. Aku merasa malas untuk meladeni sindiran ibu kepada anaknya yang selalu dikatakan tidak betah di rumah, tapi memang itulah kenyataannya. Di rumah sama dengan disuruh cuci piring, menyapu, bahkan mengepel dan yang lebih berat kulakukan adalah menyetrika. Di luar rumah sama dengan kumpul teman, haha hihi, jajan seblak dan baso aci, pulang lelah lanjut mandi, tidur, mimpi indah. Lebih menyenangkan, bukan? "Ma, aku lapar tapi mau mandi dulu, badanku lengket semua," kataku seraya melangkah ke arah dalam. "Memangnya kamu gak makan di luar tadi? Mama belum masak loh, kirain gak pulang cepet," ujar mamaku seraya balik kembali ke arah dalam. Aku mengabaikan ucapannya, terus masuk ke dalam kamar mandi dan terdengar ibuku berteriak, "Mama ceplokin telur ya?! Ceplok apa dadar?!" Huft, kalau lapar, apapun yang tersedia pasti dilahap, rasa makanan bukan lagi yang utama tapi perut yang meronta butuh segera ditenangkan, dadar atau ceplok telur sama saja, tapi lebih nikmat jika disiram kecap manis. "Iya!" Tidak ada lagi kegiatan setelah kelulusan SMA selain sibuk mempersiapkan diri memasuki gerbang universitas. Masa-masa ini banyak waktu luang yang harus kunikmati walau kadang terasa membosankan. Seharian kuhabiskan waktuku hanya terlentang di atas kasur, bangun untuk makan, main game lalu tidur lagi. Mama juga tidak masuk ke dalam kamarku, bahkan, mengetuk pintu pun tidak. Diam-diam aku merindukan kebawelan mamaku dengan suara yang melengking, membangunkanku untuk bersiap sekolah, jangan lupa ketukan tangannya di pintu bisa membuat seorang anak menciut ketakutan saking keras dan terburu-buru. Kerinduanku terjawab, ketukan di pintu yang garang itu berhasil mengagetkan aku yang masih lelap di alam mimpi. Omelannya panjang lebar sambil menarik selimut tipisku, tidak memberi kesempatan padaku walau hanya untuk menguap sekali pun. "Bangun! Dari tadi dipanggil-panggil, malah ngorok! Gadis apaan udah segede gini makin susah bangun pagi? Bukannya terbiasa bangun pagi, eh malah makin keenakan. Apa semalam kamu begadang, hah? Boro-boro bantuin mama beresin rumah, kapan sih dewasanya kamu?" Aku terheran-heran dengan omelan mama yang tidak seperti biasanya. Omelan seperti itu jelas karena terpicu oleh sesuatu, tapi oleh apa? Sisa omelan mama tidak lagi kudengar karena teredam oleh bunyi air dari gayung yang menyiram tubuhku. Kata orang, kalau seorang ibu sedang marah pada anaknya, jangan dibantah daripada dosa, dan aku terbiasa diam, tidak terpengaruh apapun omelannya. Tok tok. Kali ini suara ketukan di puntu kamar mandi terdengar lembut. "Cepat mandinya, kasian tamunya nunggu kelamaan," ucap mama dengan intonasi suara yang normal. Aku yang telah melilitkan handuk sebatas dadaku, segera membuka pintu. "Apa, Ma? Tamu siapa?" tanyaku merasa heran. Seingatku, aku sedang tidak punya janji dengan siapapun karena teman-temanku mendadak raib setelah tidak ada lagi kegiatan di sekolah. "Sini." Mama menarik tanganku ke arah kamar lalu menutup pintu. Ia menatapku lekat-lekat. "Ada apa, Ma? Jangan bikin orang was-was, napa sih?" protesku yang tidak nyaman dengan situasi seperti itu. "Kenapa ada lelaki tua yang mencarimu? Maksud mama, teman-teman kamu kan sebayaan semua, tapi kenapa ada laki-laki dewasa yang mencarimu ke sini? Siapa dia?" tanya mama dengan tatapan menyelidik. Jelas aku merasa bingung dan terkejut. Lelaki tua? Sampai detik ini, tidak ada lelaki tua dalam daftar teman-temanku. Kalau pun ada, orang itu pastilah orang nyasar yang terpaksa harus berteman dengan gadis yang berada pada posisi tanggung. Remaja bukan, dewasa juga belum. "Salah alamat kali, Ma. Usir aja," jawabku enteng tanpa dosa. "Dia bilang namanya Daffa, kamu kenal? Jangan berani bohong sama mama," ancam mama masih dengan tatapan menyelidiknya. "Ha? Daffa?! Astaga …," ucapku sambil menepuk dahiku sendiri. "Nah, nah! Kamu tahu dia, kenal dia? Wawa! Bukannya secara umur dia tidak pantas menjadi temanmu?" tegas mama sambil memiringkan kepalanya ingin melihat jelas mimik wajahku. "Ma, aku hanya kenal, bukan pacar atau calon suami, dia itu pamannya si terkutuk Azriel, Ma," jelasku padanya. Seketika aku merasakan desah kelegaan mamaku setelah mendengar kalau sang tamu adalah om-nya si mantan j*****m. "Oh, pamannya Azriel," kata mama sambil manggut-manggut. "Tapi, Azriel kan udah kawin, syukur gak jadi sama kamu. Pamannya datang ke sini ada urusan apa?" selidik mama dengan sorot mata tidak mengerti. "Aku juga belum tahu, Ma. Kenapa Mama gak tanyain aja langsung ke orangnya?" usulku sambil mengeringkan rambutku dengan handuk. "Cari kamu kok suruh mama yang tanya," protes mama tidak terima. "Sudah, cepetan pakai bajunya. Tidak baik membuat orang menunggu lama. Gak sopan," ujar mama seraya melangkah ke pintu dan ke luar dari kamarku. "Gak baik membuat orang menunggu, gak sopan, wew, wew, wew," celotehku mengulang ucapan mama dalam ledekan. Memangnya yang mau bertemu dia, siapa? Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, dari mana lelaki itu tahu alamat ini? Mungkinkah dari Azriel? Aku sama sekali lupa pada tulisan di kertas bahwa dia akan datang ke rumah, celakanya, dia datang beneran sampai membuat mamaku mengomel panjang lebar waktu membangunkan aku. Sejurus kemudian, aku merasa geli saat ingat reaksi khawatir mamaku kalau anaknya bergaul dengan lelaki yang jauh lebih tua dari aku. Mungkin mama masih menganggapku anak kecil yang imut dan menggemaskan. Ha ha. Tidak terpengaruh oleh kekhawatiran membuat orang menunggu, faktanya memang aku tidak peduli, aku sengaja berlama-lama di dalam kamar sampai pintu kamarku diketuk lagi oleh mama. Nah, kan! Mama yang tidak sabar menahan ke-kepo-annya. Aku membuka pintu, rambutku masih basah terurai acak-acakkan dan hanya mengenakan baju rumahan sederhana yang sudah belel warnanya, sambil tersenyum pada mama, aku melangkahkan kakiku menuju ruang tamu kami yang sempit. Tanpa basa basi bertanya kabar atau sapaan selamat pagi, aku langsung duduk di depannya terhalang oleh meja. "Dari mana tahu rumahku?" Itulah kalimat pertanyaan pertama yang ke luar dari mulutku. "Tidak gampang mencari di mana kamu tinggal, terlebih, aku tidak mungkin bertanya pada pada Azriel," sahut Daffa tanpa menjawab inti pertanyaanku "Lalu, dari mana?" kejarku pantang menyerah. "Temannya Azriel," jawab Daffa pendek. "Oh …." Mulutku mengerucut dalam bentuk bulat sambil mengeluarkan suara panjang. "Berarti sangat penting ya urusannya sampai harus nyari tahu ke temannya si …," ucapku tidak melanjutkan kata makian, karena keburu sadar di depanku adalah pamannya si terkutuk Azriel. "Aku to the point saja ya," kata Daffa seraya berdiri lalu menggeser kakinya dan duduk di kursi yang berdekatan denganku. "Ok," sahutku pendek seraya memperhatikan lelaki matang itu. Meskipun bagiku dia om-om, tapi jujur saja, Azriel kalah ganteng dan kalah tampan serta kalah gagah dari lelaki ini. Daffa terlihat menghela napasnya, kurasa dia ragu-ragu atau sedang memilih dan memilah kata-kata, yang membuatku semakin merasa kepo hingga akhirnya aku menatap lelaki itu dengan serius. "Aku sangat tertarik padamu, Najwa. Hatiku terpikat begitu saja saat pertama melihatmu melangkah menaiki tangga ke panggung pengantin. Adapun peristiwa selanjutnya di atas panggung itu, aku tidak peduli." Lelaki itu berhenti sejenak untuk menghela napasnya kembali. "Aku pernah menikah dan gagal, posisiku saat ini tidak sedang mencari pacar tapi aku mencari istri. Sejak melihatmu, entah kenapa aku merasa yakin bahwa kamu adalah gadis yang dipilih Tuhan untukku." Sampai sini, aku benar-benar terpana dan mematung. Lelaki ini sangat kurang ajar menyatakan kalau aku adalah calon istrinya dengan keyakinannya yang tidak masuk akal. Ya, ampun, sadar tidak sih ini orang? Dia sudah om-om dan pernah menikah pula, mimpi apa aku semalam? "Mohon maaf kalau ungkapanku ini mendadak, terlalu cepat dan sangat mengejutkan. Aku paham kamu pasti sulit mencernanya. Intinya adalah, aku datang untuk mengajak Ta'aruf. Lagi pula, bukankah pembalasan dendam lebih mengena kalau kamu menikah denganku?" pungkas Daffa terlihat lega setelah mengatakan semuanya padaku. Sementara otak dan seluruh perasaanku terfokus pada kalimat terakhir Daffa yang menggelitik jiwa dendamku. "Bukankah pembalasan dendam lebih mengena kalau kamu menikah denganku?" Sekarang aku memiliki alasan penting untuk kupikirkan. Namun, mulutku kelu dan tenggorokanku seakan ada yang menyumbat hingga aku yang bawel dan banyak omong, justru terdiam membeku, tidak tahu harus menjawab apa. "Aku mau tidur lagi, datanglah besok kalau kamu mau," ucapku datar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD