BAB 5 – Pertemuan Tak Terduga

1113 Words
Setelah insiden di tempat makan. Akhirnya, aku memutuskan untuk membuka ponselku dan mecari teman-temanku yang sudah bekerja. Aku berniat untuk mendatangi mereka dan meminta pekerjaan.   Aku akan buktikan kepada Ayahku kalau aku bisa mendapatkan pekerjaan bagus tanpa bantuan Ayahku. Aku akan mengusahakan sekuat tenaga agar aku bisa menjadi anak yang membanggakan.   Aku membukan aplikasi Whatsappku dan lagsung menirimkan pesan kepada salah satu temanku.   Me      : Bel, bisa bertemu? Bela    : Bisa, kapan? Me      : Satu jam lagi, di tempat biasa ya? Bela    : Oke.   Percakapan selesai. Aku tidak mau panjang lebar berkirim pesan. Lagi pula lebih asyik jika bertemu secara langsung.   Aku pun langsung bergegas berganti pakaian, memoles diri di depan kaca, dan mematut-matut penampilanku sendiri.   “Duh, lingkaran mataku benar-benar hitam.” Aku pun mulai panik.   Aku langsung mencoba menyamarkan lingkaran mata menggunkan bedak padat. Lalu, detik selanjutnya, aku tersenyum puas di depan kaca.   Aku buru-buru mengambil ponselku dan memotret diriku sendiri dari kaca, selanjutnya aku mulai memposting fotoku tersebut ke i********:. Ini adalah kali pertama aku memposting foto sejak acara pernikahan Azriel dilangsungkan.   Aku juga sudah menghapus semua postingan yang berisi tentang kenanganku dengan Azriel. Ah, karena aku terlalu banyak memposting kemesraan kami berdua, akhirnya saat aku menghapus, fotoku hanya tersisa lima saja. Menyebalkan bukan?   Menginat aku yang sudah memposting-posting memamerkan hubunganku dengan Azriel, namun Azriel memilih menikahi wanita lain benar-benar membuatku kesal setangah mati. Bila saja mencekik orang tidak akan diseret hukum, rasanya aku akan mencekiknya hingga tidak bisa bernafas lagi. Namun, aku warga negara yang taat hukum, sehingga walaupun ingin sekali mencekik bahkan memutilasinya namun aku tetap bisa menahannya.   “Berangkat!” seruku sambil menyambar tas kecil selempangku dan langsung membawanya keluar kamar.   Ayahku sudah berangkat jadi aku hanya perlu pamit kepada Ibuku, dan Ibuku tentu saja akan mengizinkan aku, lagipula Ibuku yang menyuruh aku keluar dan bangkit agar bisa terbebas dari pikiran tentang Azriel.   “Mama!” seruku yang mencoba mengagetkan Ibuku dari belakang.   “E ee … copot-copot!” refleks Ibuku latah.   Aku hanya bisa tertawa melihat bagaimana respons ibuku yang terlihat sangatlah lucu ketika terkejut. Ibuku memang suka latah hal tersebut yang membuat aku suka sekali menggoda beliau. Meski saat menggoda aku selalu berdoa agar Ibuku tidak menderita penyakit jantung.   “Kamu bikin Mama jantungan aja, anak Mama mau ke mana?” tanya Ibuku sambil mengamati pakaian yang aku kenakan.   “Mau main dong, Ma,” kataku.   “Jadi, sudah tdak galau lagi?” tanya Mama.   Aku hanya bisa ‘nyengir’ lebar saat Mamaku mengatakannya. “Iya dong. Ma. Kan mama sendiri yang bilang kalau aku harus mov on, ya ini usaha aku untuk move on, Ma,” kataku sambil terkekeh.   “Baiklah, kalau begitu mama izinkan,” kata Ibuku.   Aku pun langsung memeluk beliau dengan sayang, sudah kukatyakan sebelumnya bukan kalau aku pasti akan mendapatkan izin pergi dari Ibuku? Dan terbukti, Ibuku mengizinkanku.   “Tapi jangan pulang malem-malem ya?” Mama mencoba memperingatiku. Meski nadanya bertanya namun sungguh, ketahuilah kalau itu adalah sebuat alarm tanda peringatakan.   “Oke, siap. Mama …,” kataku sambil hormat seperti sedang upacara.   Menyebut kata Upacara, aku jadi merindukan situasi sekolah, aku sangat merindukan teman-temanku. Namun, aku juga merindukan Azriel. Meski aku memaksa diriku untuk membencinya namun, aku tidak bisa menghapus fakta kalau aku pernah bersamanya selama tiga tahun. Ah, sial, aku jadi teringat pada Si b******k itu lagi.   “Ya sudah, aku berangkat dulu ya, Ma. Assalamualaikum,” kataku berpamitan sambil mencium tangan ibuku dengan sopan.   “Oke, Sayang. Kamu hati-hati di jalan ya? Waalaikumsalam,” kata Ibuku.   “Siaaap!” seruku sambil tertawa.   Akupun berjalan namun belum sampai aku di depan pintu, aku teringat sesuatu. Aku teringat kalau aku tidak memiliki uang untuk pergi. Aku memang membawa tas dan dompet, namun sungguh aku tidak membawa uang.   “Kenapa kembali lagi?” tanya Mama sambil meataoku dengan tatapan bingung.   Aku pun ‘nyengir kuda’ di hadapan ibuku, “Mah, boleh aku minta uang? Aku tidak punya uang untuk pergi,” kataku sambil mengusap tengkukku yang tidak gatal.   “Hahahaha sebentar.” Mama pun menertawakan aku, namun kali ini aku cukup maklum mengingat aku memang layak ditertawakan kali ini.   “Ini. Cukupkan?” tanya Mama.   Mama memberiku uang dua ratus ribu rupiah. Aku tentu senang mendapatkan uang itu. Padahal, biasanya aku hanya diberikan uang lima puluh ribu oleh Ibuku. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku langsung menyambar uang itu dan mencium pipi Ibuku, “Terima kasih, Mamaku yang paling baik sedunia,” kataku.   “Huh, kalau diberikan uang saja … baru cium-cium Mama.” Ibuku terlihat kesal. Namun, aku tahu kalau itu hanyalah bahan bercanda.   Aku hanya bisa tertawa menangapi ucapan Ibuku. “Aku pergi ya, Mah. Dahhhh …,” kataku.   Aku sudah mengucapkan salam sebelumnya jadi aku memilih untuk mengatakan ‘Dadah’ saja. Meski aku sudah berbalik aku tahu kalau ibuku sedang menggelengkan kepalanya di belakangkuu.   Aku langsung naik ojek online yang sudah aku pesan sebelumnya. Dan tak lama kemudian, akupun sampai di tempat janjianku dengan Bella. Sesampainya di café tempat kami berjanjian, akupun memesan satu gelas coklat panas. Ntahlah, aku suka sekali coklat panas.   “Kenapa dia belum datang juga?” tanyaku.   Aku mencoba menoleh ke kanan dan ke kiri mencoba mencari keberadaan Bella. Namun, hingga coklat panasku tersaji di hadapanku, aku tidak juga melihat dirinya. Aku buru-buru mengambil ponselku dan mengirikan pesan kepada Bella.   “Di mana, Bel?” gumamku seraya mengetikkan pesan tersebut dan mengirimkannya kepada Bella.   Sepuluh menit berlalu namun Bella tidak juga membalas pesan yang aku kirimkan. Aku jadi tambah bosan sendirian. Aku pun menyesap coklatku lagi. Minumanku sudah sampai setengah.   Tak lama kemudian, ponselku bergetar sebentar menandakan ada pesan masauk, aku buru-buru mengecek ponsel dan melihat nama Bella ada di sana.   Maaf, Wa. Sepertinya aku tidak bisa mendatangimu karena aku sangat sibuk hari ini, Mamaku ….~   Bella mengirimiku pesan panjang lebar. Karena kesal aku pun tidak membaca lebih lanjut pesan tersebut dan tidak mau membalasnya. Aku mengerucutkan bibir karena kesal, benar-benar kesal.   Aku mengamati sekelilingku, semua orang tidak ada yang sendirian, hanya aku saja yang terlihat menyedihkan. Nasibku sial sekali, baru sekali keluar rumah justru diberikan harapan palsu oleh temanku. Aku jadi tambah kesal.   Saking kesalnya aku langsung mengambil ponselku dan memotret secangkir coklat panas yang kini sudah dingin dan tinggal sedikit. Aku memang sedari tadi meminumnya sedikit demi sedikit agar bisa menunggu Bella lebih lama. Bila aku menghabiskannya dengan cepat tentu aku tidak enak duduk di café itu.   Aku mendesah kecewa. Setelah memotret aku langsung memostingnya di i********:, dan seketika ponselku berbunyi terus menandakan banyak yang menyukai dan mengomentari unggahanku tersebut. Menyebalkan. Tujuh ribu followersku tak menjanjikan aku memiliki teman saat aku membutuhkan mereka.   “Boleh saya duduk di sini?”   Suara seseorang menyadarkan lamunanku, aku pun mendongak dan terkejut seketika. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD