Aku merasa sangat berdosa sekali saat ini, bagaimana mungkin aku menerima sentuhan lelaki lain yang bersikap mesra padaku dan aku diam saja? Tidak. Hal ini tidak boleh berlanjut, aku adalah seorang istri.
Mas Daffa tidak tahu kalau aku menemui lelaki lain apalagi seorang mantan. Tidak bisakah aku menjaga diriku sendiri? Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatiku.
Satu sisi ternyata baru aku sadari bahwa aku masih menyisakan rasa pada Azriel, setelah kurasakan rindu yang menggelegak saat pertama melihat sosoknya.
Dengan gerakan perlahan, aku tarik tanganku yang berada dalam genggaman Azriel, lalu menggeserkan tubuhku agak menjauh darinya.
"Maaf, tapi gak seharusnya kita berdekatan, Az, aku punya suami dan kamu punya istri, hendaknya kita menjaga jangan sampai ada fitnah," kataku tegas, berkata yang benar meski hati terdalam, menginginkan kedekatan seperti dulu.
"Tak apa, Wa, kalau kamu merasa gak nyaman. Oya, aku udah pesankan makanan kesukaanmu, coklat juga," kata Azriel sambil melempar senyum padaku.
"Makasih," sahutku lirih sambil menundukkan wajahku, mencoba menenangkan detak jantungku.
"Aku minta maaf atas semua yang terjadi pada hubungan kita," kata Azriel dengan wajah mendung.
Baru kali ini aku melihat wajah yang selalu ceria, kini tampak mendung dan penuh beban.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanyaku spontan.
"Jujur sangat tidak baik. Aku berusaha mencintai istriku tapi tidak bisa. Kasihan dia juga menderita karena rumah tangga kami tidak sesuai harapannya," ungkap Azriel dengan sorot mata sendu.
"Kenapa bisa begitu?" tanyaku tidak mengerti.
"Apa yang terjadi pada kami, murni kecelakaan, Wa. Bukan atas dasar cinta." Azriel menjelaskan.
Aku hanya tergugu, pikiranku sibuk menyangkal. Bagiku, sampai dua orang berlainan jenis melakukan hubungan suami istri, mustahil kalau tanpa adanya perasaan satu sama lain.
"Sudahlah, gak usah dibahas," sergahku, terlalu malas mendengarkan sebuah kebohongan lagi.
"Maaf. Ya intinya aku ngajak kamu ketemu karena ingin minta maaf, walaupun kamu belum mau memaafkan, tidak apa-apa. Yang kedua mau ucapkan selamat. Selamat ya atas pernikahannya," ujar Azriel seraya menyodorkan tangannya mengajakku bersalaman.
"Tidak usah salaman, makasih," sahutku sambil membuang wajahku ke samping.
Pintu ruang privasi diketuk dan dibuka, tampak dua pelayan masuk ke dalam membawa berbagai hidangan yang telah dipesan Azriel.
"Akhirnya, makan malam kita datang juga," ucap Azriel dengan wajah ceria.
Wajah itu begitu cepat berubah dari kesenduan menjadi sangat cerah. Rupanya, beberapa bulan berpisah denganku, ada keahlian lain yang dipelajari olehnya.
"Ayo, makan dulu kita. Kamu harus makan banyak, Wa. Badanmu kurusan loh," ucap Azriel seraya menaruh beberapa makanan di piringku.
"Makasih," ucapku, lagi-lagi hanya berkata pendek.
Aku memang merasa murung karena menyetujui bertemu Azriel, sebab, perasaanku menjadi kacau balau dan merasa bersalah pada suamiku, mas Daffa.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kenyataannya aku di sini sekarang, duduk dan makan bersama dengan Azriel, di belakang suamiku dan merasakan perasaan aneh, yaitu rasa rindu serta ingin dekat dengan lelaki itu. Sangat dilema sekali.
Azriel masih memiliki pesona yang sangat aku gilai dulu, meski ia tidak setampan mas Daffa yang dewasa serta rapi, sebaliknya, Azriel memiliki gaya yang lebih terkesan seorang badboy yang menawan dan seksi.
Hal itu pulalah mungkin yang membuat jantungku berdebar-debar dan sulit aku kondisikan. Karenanya, rasa sesal menemui Azriel malam ini, menyelinap ke dalam hatiku.
Sejurus kemudian, aku terperangah memikirkan hal itu. Kenapa aku harus merasa bersalah pada mas Daffa karena menemui keponakannya? Bukankah mas Daffa telah melakukan kesalahan fatal padaku? Kebohongan mas Daffa sungguh tidak bisa aku maafkan.
'Sudahlah, Wa! Nikmati pertemuan ini dengan Azriel, kebohongan balas dengan kebohongan, bersenang-senanglah!' satu sisi batinku mendorongku untuk menikmati momen ini.
Dalam sekejap, aku mengimbangi keceriaan Azriel, kami makan sambil bercengkrama, hingga tidak sadar, kami saling menyuapi satu sama lain, persis seperti yang sering kami lakukan dulu, seolah tidak ada tembok pembatas di antara kami.
Entah karena Azriel yang pintar membawa suasana, yang jelas aku pun sadar bahwa diriku sendiri menginginkan kedekatan seperti ini, seolah sedang mengenang masa-masa indah kami berdua.
Menghabiskan waktu selama dua jam hanya untuk makan malam bersama adalah waktu yang cukup lama. "Az, udah malam, aku harus pulang deh," kataku ingin mengakhiri aksi nostalgia kami.
"Kamu kok gak dicariin suami kamu? Eh, om aku?" tanyanya dengan tatapan terheran-heran.
Aku terdiam mendengar pertanyaannya. "Kenapa diam? Kamu ada masalah dengan om Daffa?" desak Azriel.
"Eh, enggak, enggak kok. Mas Daffa lagi di luar kota," jawabku sekenanya.
"Jujur aja sih, Wa. Om ada di Jakarta kok, tadi sore baru telepon nenekku," kata Azriel seraya menatap wajahku dengan tajam.
"Om bilang kalau tante Anisa ngedrop Zaki di rumah tanpa kasih kabar sama om. Ya, harusnya kamu pulang deh, kasihan Zaki suka susah tidur kalau gak ditemenin," ucap Azriel ada nada meledek sekaligus rasa cemburu pada suaranya.
Justru aku semakin mematung mendengar penuturan Azriel. Berbagai emosi kini hadir lagi mulai menusuk-nusuk perasaanku. Kehadiran Zaki di rumah, tanpa persetujuanku adalah masalah lain yang belum aku bahas dengan mas Daffa.
Sanggupkah kujalani rumah tangga yang telah diawali dengan dusta? Bagaimana aku harus bersikap dengan adanya Zaki? Apakah aku tidak punya hak untuk ditanya apakah aku bersedia atau tidak dengan kehadiran anak yang tidak diakui oleh mas Daffa?
Seketika pikiranku sangat kalut dan emosi-emosi itu terbaca oleh Azriel. "Sebentar, Wa … apa kamu tidak terima anaknya om Daffa?" tanya Azriel sangat menusuk.
"Bukan urusanmu!" seruku seraya berdiri dan berlari ke luar dari ruang private tersebut.
"Eh, Wa! Tunggu!" teriak Azriel seraya mengejarku.
Aku tidak ingin menoleh ke belakang, aku terus berjalan cepat-cepat ke arah selasar yang menghubungkan mal dengan hotel setelah turun dua kali menggunakan eskalator.
Tanpa kusadari, aku berurai air mata sambil terus melangkah cepat, tidak peduli dengan tatapan heran dari orang-orang yang berpapasan jalan denganku.
Sampai lobby, aku segera menuju lift dan memasukinya. Aku tidak melihat siapapun saat aku berbalik menghadap pintu lift sebelum menutup, artinya, Azriel tidak mengejarku dan aku pun merasa lega.
Tidak lama lift membuka di lantai kamarku, aku bergegas ke luar dan berlari ke arah kamar, lalu cepat-cepat membukanya dan masuk ke dalam.
Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur sambil berguling meraih bantal dan menangis meraung serta sesenggukan, rasanya sangat menyakitkan mengingat Zaki yang berada di kehidupan kami– mas Daffa dan aku secara tiba-tiba.
Kemudian, aku mendengar denting bel pintu kamar. Aku menghentikan tangisku sambil berpikir siapa yang menekan bel pintu malam-malam begini. Namun, sejurus kemudian aku ingat, mungkin saja dari pihak hotel karena ada sesuatu.
Aku pun segera turun dari atas ranjang lalu membuka pintu dan ternyata, Azriel berdiri di sana.
Cepat-cepat aku menutup pintu tapi gerakanku kalah cepat dengannya. Tangan kokoh Azriel menahan pintu dan mendorongnya sampai aku mundur dua langkah seiring ayunan pintu dan Azriel masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu dan menguncinya.
"Hei, ngapain kamu ke sini?!" seruku terkejut dan seketika merasa ketakutan.
"Tangisanmu sampai terdengar ke lorong. Apa kamu masih belum mau cerita ada apa?" tanya Azriel seraya menarik tanganku dan membawaku duduk di sofa dua dudukan di samping ranjang.
"Ta-tapi, tidak pantas kamu berada di sini. Lebih tidak pantas aku berada di dalam kamar dengan lelaki bukan muhrim. Bagaimana kalau mas Daffa tahu? Bagaimana kalau istrimu tahu?" tanyaku dengan perasaan takut luar biasa hingga membuatku sangat gugup.
"Tidak akan ada yang tahu dan dengarkan baik-baik, aku tidak akan pergi sebelum kamu cerita ada apa sampai kamu nginap di hotel seperti ini? Om Daffa tidak mencarimu ketambahan hari ini, tante Anisa kirim Zaki ke rumah om Daffa. Apakah semua kebetulan? Tentunya enggak dong." Lagi-lagi Azriel mendesakku seraya mengingatkan mengenai luka-luka hatiku.
Aku terdiam sambil menunduk dan secara kurang ajar, air mataku justru mengalir deras jatuh pada pangkuanku.
Azriel menyodorkan tissue padaku, setelah kuterima tissue tersebut, tiba-tiba bahuku ditariknya dan ia memelukku erat-erat sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
Kini aku menemukan tempat untukku bersandar, mendapatkan pelukan hangat di saat aku terluka dalam dengan permasalahan yang belum ada jalan keluarnya.
Aku menangis di bahu Azriel sampai lelah, hingga akhirnya aku melepaskan diri karena butuh ke kamar mandi, menyudahi tangisanku dan saat ini hanya ingin tidur nyenyak.
Ke luar dari kamar mandi dengan mengenakan baju tidur, aku melihat Azriel masih duduk di atas sofa. "Kamu kenapa masih di sini?" tanyaku dengan heran.
"Tadi aku dah bilang kalau aku gak akan pergi sebelum kamu ceritakan semuanya," jawab Azriel dengan santai.
"Besok aja, aku sangat lelah sekali malam ini, kamu pulang gih, gak baik berduaan sama aku," kataku mengusirnya baik-baik.
"Bagaimana bisa aku tinggalin kamu dalam keadaan seperti ini? Kamu tidur aja, nanti aku pergi setelah kamu tidur tapi, janji ya, besok kamu ceritakan semua?" Azriel menatapku dengan sungguh-sungguh.
Aku pun percaya pada ucapannya sambil mengangguk setuju lalu menyelinap ke dalam selimut dan mencari posisi nyaman serta berusaha memejamkan kedua mataku.
Entah berapa lama hingga akhirnya aku tertidur mungkin sangat lelap karena aku bermimpi bertemu mas Daffa.
Dalam mimpiku, mas Daffa tersenyum sambil meraih tubuhku dan memelukku erat-erat. Sangat tidak jelas mimpi selanjutnya karena tahu-tahu aku telanjang bulat dan mas Daffa melancarkan serangan demi serangan yang membuatku melambung ke atas awan.
Kami b******u dengan liar dan sangat indah serta sangat nikmat, hingga pada detik terakhir aku mendengar lolongan nikmat tapi saat itu kusadari bahwa itu bukanlah suara mas Daffa.
Aku terbangun dalam peluh yang terasa tidak nyaman dan ketika kesadaran penuh menghampiriku, ternyata memang bukan mas Daffa yang sedang menancapkan diri pada tubuhku tapi Azriel!
Aku menjerit kuat-kuat karena terkejut dan merasa hina. Terlambat saat kudorong tubuh Azriel dari atas tubuhku sebab cairan itu telah tertanam dalam tubuhku. "Apa yang kamu lakukan, Azriel?!"