HARI PENTING

2325 Words
Perlahan namun pasti semuanya harus dijalani layaknya meniti takdir dan harapan. Melawan nasib atau bertoleransi dengan keadaan adalah hal yang paling utama dilakukan. Seorang wanita dengan dandanan fashionable turun dari pesawat setelah menghabiskan perjalanan dari Perancis menghadiri fashion week disana. Kebetulan besok adalah hari spesial bagi seorang pria yang berharga di hidupnya. Tetapi di hari bahagia itu juga menjadi hari tragis bagi mereka harus kehilangan orang yang juga memegang peranan penting bagi hidup mereka. Kedatangannya bukan untuk merayakan tetapi lebih untuk memberinya kekuatan atau tepatnya saling menguatkan. “Gimana kabar Mas Ganindra?” tanya wanita itu kepada sopir pribadinya. “Tuan Muda sedang konferensi pers Nona. Mungkin saat ini masih berlangsung,” jawab pria itu tanpa menoleh. “Konferensi pers apa? Apakah ada masalah di perusahaan?” wanita itu mengernyitkan alisnya. Ada sebuah rasa penasaran dibalut rasa cemas. “Tuan Muda Ganindra akan mengumumkan pernikahannya besok Nona,” jawab sopir itu jujur. “Apa!? Apa maksudnya ini? Mengapa Mas Ganindra melakukan tindakan nekat ini dan aku gak pernah diberitahu” geram wanita itu lagi. Kabar yang sangat mengejutkan baginya. “Cari tahu orang yang bisa dihubungi disana. Aku ingin melihat konferensi pers itu,” perintah wanita muda itu lagi. Supir itu mengangguk, sejenak menepikan mobilnya kemudian mencari ponselnya menghubungi sopir Ganindra. Wanita itu kemudian melakukan panggilan video itu, dia menyaksikan dengan tatapan tidak percaya saat Ganindra mengungkapkan pernikahannya dengan wanita yang sama sekali dia tidak tahu. Apalagi wanita itu hanyalah karyawan bank biasa. Apa maksud semua ini. Dia benar-benar tidak habis pikir. “Kita menyusul ke hotel,” perintah wanita itu lagi seketika merubah arah tujuannya. “Baik Nona,” Setibanya di hotel tempat konferensi pers berlangsung keadaan sudah sepi, Ganindra telah meninggalkan tempat itu. Wanita itu kemudian menghubungi Adimas sekretaris Ganindra, orang yang tahu semua kegiatan Ganindra. Wanita itu kembali kesal karena Adimas tidak mengangkatnya. “Halo selamat siang ada yang bisa saya bantu,” sapa seorang resepsionis di lantai khusus ruangan Ganindra. “Mas Ganindra dimana?” tanya wanita itu tanpa basa-basi. Resepsionis itu mengenali suara itu tanpa perlu diberitahu. Dia mendadak panik dan takut salah bicara. “Eh No-No-Na…Tuan Ganindra sedang di ruang rapat bersama bapak Adimas, Nona” “Baiklah saya akan menyusul ke perusahaan,” “Bb-baik Nona,” resepsionis itu sontak mengangguk walaupun dia tahu orang di seberang sana tidak melihat anggukannya. Wanita itu dengan langkah cepat namun tidak meninggalkan keanggunannya berjalan masuk ke dalam gedung Adiwiguna Corporation. Semua karyawan menunduk hormat saat bertemu dengannya. Wanita itu bahkan tidak membalas sapaan karyawan itu, terkesan angkuh dan sombong namun kenyataannya memang semua karyawan sudah mengetahui kepribadian wanita itu. “Eh Nona? Apa Nona baru saja tiba?” sapa Adimas melihat wanita itu. Ganindra yang sudah lebih dulu kembali ke ruangan dengan tergesa-gesa. “Iya kenapa? Apakah ada sesuatu yang terlewat Adimas?” langkah wanita itu terhenti dan berbalik menatap Adimas intens. Senyum sinis wanita itu ditambah lagi gaya bersidekap menguarkan aroma intimidasi bagi Adimas. “A-apa maksud Nona Ayodia?” gagap Adimas. “Konferensi pers…menikah…wanita biasa…” satu persatu kata terucap dari wanita itu. Adimas meneguk ludahnya yang terasa pahit. Dia ketakutan dan serba salah. Tuan Muda Ganindra dan Nona Muda ini semuanya sangat mengintimidasinya. Dia tidak bisa berbuat banyak. “No-nona Ayodia saya bisa jelaskan,” cegat Adimas saat wanita itu dengan langkah pasti menuju ruangan Ganindra karena lelah menunggu mendapatkan jawaban darinya. Brak Ayodia menerobos masuk ke dalam ruangan Ganindra. Dia melihat wanita yang akan dinikahi oleh Ganinda duduk sedangkan Ganindra kakaknya berdiri, berbalik menatapnya dengan amarah. “Mas! Apa maksud berita ini? Apa aku sudah gak dianggap? Mas tidak boleh menikah. Pokoknya aku menolak pernikahan ini, TITIK!!!” cecar Ayodia tidak gentar. “Apa-apan kamu dek, kamu tidak punya sopan santun sekarang,” tatap kesal Ganindra. Adik, iya adik. Satu kata yang membuat Amelia ikut tercengang. Dia ternyata salah menyangka. “Jadi apa yang bisa Mas jelaskan?” kali ini Ayodia sudah duduk dan agak tenang. Ganindra duduk layaknya pemimpin yang melihat perseteruan Amelia dan Ayodia. Kedua wanita itu seperti menyelami pikiran masing-masing. Apalagi tatapan intimidasi Ayodia yang seperti meneliti Amelia dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu pasti sudah tahu kan?” tanya Ganindra dan bisa ditebak Ayodia hanya ingin memastikan informasi yang didapatnya dari mulutnya sendiri. “Iya saya tahu itu tetapi aku ingin mendengar semuanya dari mulut Mas sendiri,” “Maaf dengan…” Ayodia beralih menatap Amelia. Wanita yang sedari tadi membuatnya penasaran. “Amelia, panggil saja Amelia…” tegaskan Amelia. “Okey, usia kamu?” melihat penampilan Amelia, tebakan Ayodia usia mereka sepantaran, tidak jauh berbeda. “24 tahun” jawab singkat Amelia. “Oh baiklah kamu lebih tua setahun dariku. Aku panggil kamu Mba Amelia. Maaf Mba Amelia, aku gak benci kamu tetapi aku membenci keputusan Mas Ganindra, dia tidak boleh menikah karena dia…” kalimat Ayodia tergangtung saat Ganindra menginterupsinya. “Ayodia! Hentikan, biarkan kita bicara berdua,” tegur Ganindra. Kalimat yang menandakan bahwa Ayodia tidak boleh meneruskan perkataannya. Ayodia menghela napas, sedangkan Amelia hanya seperti orang bodoh yang mencoba memahami setiap pembicaraan keduaanya. Berusah keras untuk mengerti tetapi tetap tidak bisa. “Amelia, kamu bisa makan siang bersama Adimas kan. Jangan sampai kamu jatuh sakit. Ingat besok adalah hari pernikahan kita jangan membuat berita baru dengan kamu jatuh pingsan di hari pernikahan kita,” alihkan Ganindra. Ucapan lembutnya membuat Ayodia memutar matanya malas. “Baik, tidak masalah. Maafkan aku jika aku mengganggu kalian berdua,” ucap Amelia merasa tidak nyaman. Ameliapu segera bangkit dari tempat duduknya. “Eh tidak seperti itu. Tolong mengertilah,” Ganidra mendongakkan kepalanya, ucapannya lembut namun penuh penekanan mencoba meyakinkan bahwa ini belum saat yang tepat untuk Amelia tahu kisah sebenarnya. “Iya aku hanya bercanda. Nona Ayodia maaf saya permisi,” sanggah Amelia lagi dan memaksakan senyumnya. “Iya,” jawab Ayodia singkat. Permbicaraan ketiganya membuahkan napas lega bagi seseorang di sudut sana yaitu Adimas. Napasnya yang sedari tadi tercekat melihat kebersamaan ketiganya dan dia tahu betul bahwa Nona Ayodia termasuk orang yang sangat keras kepala dan manja. Setelah memastikan Amelia keluar dari ruangan barulah keduanya membuka suara. “Maaaassss…kangen!!!” ucap manja Ayodia dan memeluk erat kakaknya. Rasa rindunya itupun terobati seketika. “Astaga baru nih manja kamu,” balas Ganindra memeluk adik perempuannya tersenyum dan menyentil dahi Ayodia pelan. “Mas, kenapa bisa memutuskan menikah sih dengan Amelia?” tanya Ayodia kemudian perlahan melepaskan pelukannya “Karena Om Hartawan. Dia berusaha menjodohkan Mas dengan Rachel, kamu tahu itu hal yang Mas hindari sejak lama. Lagian kamu harus tahu Mas dan Amelia hanya setahun menikah, kami hanya menikah kontrak. Ini juga bentuk tanggung jawab Mas kepada Amelia,” “Tanggung jawab? Mas dan dia sudah…apa Mas bisa…?” Ayodia tercengang bahkan tidak bisa melanjutkan kata-katanya. “Eh tidak seperti itu, pikiran kamu nyasar kemana-mana,” sentil Ganindra lagi ke dahi Ayodia. Ganindra menceritakan semua kepada Ayodia mengenai kecelakaan yang menimpa Baskara. Layaknya pertukaran nyawa, dia selamat dan Baskara harus ikut dalam penerbangan sebuah pesawat yang mendadak hilang dari radar, kemungkinan terburuknya jatuh dan meledak. Dia juga tidak menyangka ada di permainan kehidupan seperti itu. Amelia yang merasa harus bertanggung jawab atas kepergian Baskara tetapi memiliki keterbatasan untuk menghidupi keluarga yang Baskara tinggalkan namun dengan bantuan Ganindra semuanya mampu diatasi. Toh ini adalah perjanjian yang saling menguntungkan bagi keduanya. Tentu saja mendengarkan cerita itu Ayodia patut merasa bersyukur. Hanya Ganindralah keluarga satu-satunya, oleh karena itu Ayodia sebisa mungkin memastikan keselamatan Ganindra. Dialah orang yang akan berdiri paling depan memberikan kekuatan untuk Ganindra.  “Mas, kamu yakin bisa jaga hati kamu? Mba Amelia itu cantik loh. Dia percaya diri dan kelihatan tulus. Aku takut Mas,” ucap Ayodia khawatir dengan sosok Amelia di pertemuan pertama mereka. “Iya Mas akan berusaha,” dibalik kata-kata itu terbersit rasa tidak yakin di hati Ganindra, entah apa sebabnya. “Pastinya harus dengan usaha keras Mas. Andaikan Mas bilang ingin menikah, aku bisa menjodohkan Mas dengan salah satu kenalan modelku. Mereka cantik tetapi Mas pasti tidak akan bisa simpatik kepada mereka, berbeda dengan Amelia…” sekali lagi Ayodia khawatir. “Iya tapi tolong dek, kamu bersikap baik pada Amelia. Jangan seperti tadi,” pesan Ganindra.. “Mas, aku hanya berusaha realitis. Amelia jangan sampai jatuh cinta dengan Mas dan membuat kalian berdua terluka,” “Iya dek, Mas paham itu, tetapi Mas tidak ingin Amelia ikut terluka akibat perlakuan kita berdua. Itu yang sangat Mas hindari” “Terus apa Mas tahu besok hari apa…” Ayodia kembali menggenggam tangan Ganindra, seolah memberinya kekuatan. “Iya, Mas tahu dan selalu ingat” “Sekarang bertambah lagi hari penting di keluarga kita. Hari pernikahan Mas,” “Iya setelah pernikahan kita mengunjungi makam Papa dan Mama,” “Iya Mas,” Setelah pembicaraan keduanya, mereka beranjak meninggalkan ruangan dan mendapati Amelia yang masih menunggu di ruang tunggu. Ketiganya juga didampingi Adimas akhirnya memutuskan untuk makan siang bersama di restoran tentu saja atas usulan dari Ayodia yang ingin mengenal kakak iparnya. Adimas memberikan ruang dan jarak bagi ketiganya untuk saling berbincang. “Sekali lagi maafkan kelakuan aku yah Mba Amelia,” ucap Ayodia yang sekarang nadanya sudah sedikit melembut. Ganindra hanya melirik kemudian tersenyum simpul. Dia tahu adiknya selalu bisa membuatnya bangga. “Tidak masalah, saya mengerti bahwa keputusan kami memang mendadak. Tentu saja Mas Ganindra juga keliru melangkah. Bagaimana mungkin dirinya tidak memberitahukan kepada adik dan orangtuanya mengenai acara pernikahan kami,” tatapan tajam Amelia beralih ke Ganindra yang seolah menyalahkan tindakannya yang ceroboh. “Tunggu, orang tua? Maksudmu orang tua kami?” tanya Ayodia dan Amelia mengangguk. Sedetik kemudian tawa Ayodia pecah. “Astaga, berapa lama sih kalian saling mengenal? Bahkan Amelia tidak tahu mengenai orang tua kita” tanya Ayodia dengan tatapan heran menuntut penjelasan dari Ganindra. Amelia yang bingung dengan pembicaraan keduanya juga ikut menatap heran. “Ehm…kurang lebih lima hari,” kali ini Ganindra yang menjawab. “Oh My Gosh…Mas…are you kidding me, it’s a joke?” Ayodia menggeleng geli mendengar fakta yang diungkapkan oleh Ganindra. “Mba Amelia orang tua kami telah meninggal saat umur mas Ganindra 17 tahun. Tepat hari perayaan hari ulang tahun Mas Ganindra, hari itu juga orang tua kami meregang nyawa dalam kecelakaan naas dan kali ini satu tambahan lagi hari istimewa di keluarga kami. Hari pernikahan kalian berdua, besok” Fakta yang dibeberkan oleh Ayodia kembali membuat ada rasa yang menyentil relung hati Amelia. Entahlah, seolah bahwa kebahagiaan dan kedukaan Ganindra diuji esok hari. Ternyata bukan hanya dirinya yang terluka gagal menikah tetapi ternyata Ganindra mengalami hal yang sama. Amelia menatap iba Ganindra, ada rasa simpati yang tidak bisa diungkapkannya. Sosok Ganindra mungkin ditempa untuk menjadi sosok yang tangguh. Andai itu dirinya, dia pasti tidak akan sanggup. “Sudahlah Amelia. Tidak usah merasa terbebani. Kami baik-baik saja. Toh nyatanya kami bisa tumbuh dengan baik seperti sekarang. Kamu jangan sungkan, kami tidak apa-apa” kali ini Ganindra yang berbicara. Yah perkataannya ini membuat Amelia merasa malu, mengapa dirinya yang harus dikuatkan bukannya Ganindra dan Ayodia. Kedua orang kakak beradik ini malah membuat  peristiwa yang dialami oleh mereka terasa biasa saja. Mereka berdua benar-benar patut diacungi jempol. Terbaca Lagi dan lagi perasaan Amelia terbaca oleh Ganindra. Amelia menaruh curiga apakah Ganindra mempunyai indera keenam. Ganindra terlalu paham akan jalan pikiran Amelia. Dia sangat tidak senang. Bahkan dengan Baskara dia harus mengungkapkannya agar Baskara bisa mengerti akan keinginannya. Tunggu, mengapa kali ini Amelia membanding-bandingkan Baskara dan Ganindra. Astaga, ini membuat kepala Amelia serasa berdenyut. Sejak kapan dia harus menilai keduanya bahkan Ganidra tidak mempunyai posisi apapun di hatinya. Amelia harus tetap memegang teguh perasaannya kepada Baskara. Tujuh tahun, iya tujuh tahun itu adalah waktu yang lama dan tidak semudah itu perasaannya akan tergoyahkan oleh seseorang. Kesetiaan itu adalah hal yang sangat diagungkannya. Ganindra kemudian mengantarkan Amelia kembali ke rumah setelah sebelumnya mengantar Ayodia untuk membeli sebuah gaun untuk dipakainya dalam acara pernikahan mereka besok. Ganindra seolah bersikap sama kepada keduanya. Dia ingin memastikan keduanya mendapatkan perhatian yang sama. Bagi Ganindra kedua wanita ini memang memegang peranan penting bagi hidupnya saat ini. “Tolong kamu istirahat, sampai ketemu besok. Maaf aku tidak bisa bertamu hari ini” pesan Ganindra saat Amelia turun dari mobil. Amelia mengangguk mengerti. Pernikahan ini di beberapa momen ternyata melupakan adat dan tradisi. Jika biasanya mempelai pria dan wanita tidak akan bertemu karena pingitan berbeda dengan mereka. Satu hari sebelum pernikahan mereka masih saja bepergian bersama. Malam hari mata Amelia seakan sulit terpejam, berkali-kali dirinya membolak balikkan diri di atas tempat tidurnya. Tetapi sulit, sungguh sulit bahkan dengan bantuan menghitung domba tidak membantu sama sekali. Dret…dret…dret… Sebuah pesan masuk di ponsel Amelia yang tersimpan di nakas. Paket komplit: Amelia, apakah aku mengganggumu? Paket komplit, nama aneh yang disematkan Amelia untuk Ganindra. Yah tingkah lakunya dan perkataannya yang sederhana namun membuat Amelia terdesak membuatnya komplit dalam segala hal. Amelia mencoba mengetikkan beberapa pesan balasan, berkali-kali mengetik kemudian diurungkannya. Entah dia berpikir keras apa pesan balasan yang harus dibalaskannya untuk Amelia. Mungkin Ganindra di ujung sana tidak sabar dan menunggu dengan resah apa pesan balasan dari Amelia. Tidak Hanya sebuah balasan singkat dan Amelia membutuhkan waktu setidaknya semenit untuk mengetiknya. Dia bahkan menggigit bibirnya untuk meredam perasaan anehnya ini. Paket komplit: Aku tidak bisa tidur, aku memikirkan hari pernikahan kita besok. Apakah kamu merasakan hal yang sama? Lagi-lagi pesan dari Ganindra ini membuat Amelia kembali terpojok. Menimbang-nimbang, berbeda dengan sebelumnya kali ini dia ingin memikirkannya dulu sebelum mengetikknya dan terlihat di layar ponsel Ganindra. Biasa saja, aku malah sudah hampir terpejam. Bohong, kembali kebohongan yang diciptakan oleh Amelia. Dia bahkan harus memukul kepalanya pelan. Paket komplit: Oh maaf mengganggumu. Kalau begitu sampai ketemu besok di depan penghulu, calon istri Amelia melemparkan ponselnya di ranjang, menyembunyikan wajahnya di kasur dan menggelengkan kepalanya. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Satu kata ini bisa memporak porandakan perasaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD