Keputusan Ganindra menolak menemani Ayodia untuk berbelanja demi menghadiri pernikahannya besok adalah keputusan yang tepat. Keluhan demi keluhan yang dilayangkan oleh Adimas kepadanya membuatnya merasa lucu dan tidak habis pikir. Sekian lama mereka bersama, keduanya sama sekali tidak pernah akur bahkan Ayodia seringkali terlihat bahagia saat Adimas kesusahan.
Awalnya Ayodia memutuskan untuk berbelanja sendirian tetapi nyatanya dia menghubungi Adimas agar segera menyusulnya. Dia kelelahan membawa semua barang-barangnya. Ini tentu saja alasan yang sangat mengada-ada. Sejak kapan putri Adiwiguna harus merasa kesusahan bahkan pengawal selalu ada di dekatnya dalam jarak 1 meter.
Drttt…. Drttt….Drttt….
Gawai Ganindra berbunyi sebuah nama yang sempat dilupakannya.
“Halo, selamat malam,”
“Iya selamat malam dok,” sebuah panggilan dari nomor yang dikenal oleh Ganindra.
“Hmm…apakah anda perlu mengkonfirmasi sesuatu Tuan Ganindra,”
“Dokter Handoko pasti sudah melihatnya bukan,” tebak Ganindra.
“Tentu saja karena ini berhubungan dengan Pewaris Adiwiguna dan bukan tidak mungkin berita itu menyebar begitu cepat,”
“Iya benar dokter,”
“Inilah yang saya takutkan sejak dulu. Kemungkinan anda akan melanggar komitmen yang ada tetapi…”
“Ini hanya pernikahan kontrak dokter, ini bukanlah cinta,” sanggah Ganindra cepat. Satu orang yang tidak mungkin dibohonginya.
“Tetapi perasaan itu sangat mudah untuk berubah, saya tidak yakin,”
“Tidak dokter, cinta itu tercipta saat kedua perasaan yang saling menyatu tetapi jika hanya satu pihak itu hanyalah perasaan yang tak terbalas,” balas Ganindra lagi.
“Baiklah, saya yakin saya akan selalu kalah jika berdebat dengan anda dan kekeras kepalaan anda. Tetapi ingat tolong jangan pernah menyembunyikan apapun dari saya. Anda tahu kan bagaimana saya akan mempertanggungjawabkan ini semua kepada mendiang Tuan dan Nyonya Adiwiguna,”
“Iya dokter. Saya paham itu. Maaf mungkin saja ini tidak sopan dan mendadak, tetapi bisakah anda yang menjadi orang tua wali saya di pernikahan saya besok,”
“Dengan senang hati, astaga malam ini anda membuat mata saya berkaca-kaca karena permintaan anda ini,”
“Dok…” lirih Ganindra karena keheningan yang cukup lama diantara mereka.
“Iya maaf…maaf. Baiklah silahkan beristirahat agar semuanya dapat berjalan lancar esok,”
“Iya dokter, terima kasih banyak atas segalanya,”
“Sama-sama,”
Panggilan ditutup membuat Ganindra berpikir sesaat.
Malam hari saat bersiap untuk tidur, mata Ganindra seakan sulit terpejam, berkali-kali dirinya mencoba menutup mata tetapi telinganya begitu sigap mendengar bunyi sekelilingnya bahkan tiupan angin dari pendingin ruangan ikut terdengar. Terbersit tanya dalam benaknya Amelia sedang apa? Sudah tidurkah dia? Apa dia mengalami hal yang sama? Begitu banyak pertanyaan yang bertumpuk namun satu hal bagaimana caranya untuk melepaskan kegundahan hatinya itu.
Ganindra mengambil ponsenya kembali mencari sebuah nama.
Amelia, apakah aku mengganggumu?
Amelia, benar wanita itulah yang mengganggu pikiran Ganindra. Hari penting esok benar-benar akan merubah status dan hubungan keduanya.
Pesan itu tercentang dua dan berwarna biru, bahkan dia dalam mode online. Tulisan mengetik sangat lama terlihat di layar ponsel, membuat Ganindra semakin resah, apakah jawaban yang akan dikirimkan oleh Amelia malam ini. Dia terlihat mengerutkan keningnya.
Nn. Amelia Anindita tunangan Baskara: Tidak
Hanya sebuah balasan singkat dari Amelia membutuhkan waktu setidaknya semenit untuk Ganindra menunggu balasan. Ganindra terlihat kesal dengan balasan Amelia yang sangat singkat itu. Astaga, rasa penasarannya semakin menjadi. Mungkin dia mencoba mengirimkan pesan sekali lagi, siapa tahu jawaban Amelia kali ini berbeda.
Aku tidak bisa tidur, aku memikirkan hari pernikahan kita besok. Apakah kamu merasakan hal yang sama?
Entah mengapa Ganindra mengetik pesan seperti itu, bukankah dia terlalu gamblang mengutarakan perasaannya. Mungkin saja Amelia juga tidak nyaman dengan hari pernikahan mereka esok. Berbeda dengan pesan sebelumnya, pesan kali ini masih tercentang dua tanpa berwarna biru bahkan tidak ada pemberitahuan sedang mengetik di layar.
Apakah dia menyinggung perasaan Amelia ataukah apakah pesan ini malah menambah ketakutan Amelia untuk menghadapi hari esok, sedekat apa hubungan mereka sehingga Ganindra dengan lancang mengutarakan isi hatinya yang sedang resah. Ingin Ganindra lempar ponsel itu hingga tak terbentuk sebagai upayanya menutupi rasa malunya.
Nn. Amelia Anindita tunangan Baskara: Biasa saja, aku malah sudah hampir terpejam.
Ganindra merasa orang yang paling d***u di dunia ini, mencari celah dari rasa terlukanya sendiri. Jawaban singkat dan menohok Amelia malah membuatnya semakin salah tingkah dan diliputi kekalutan.
Oh maaf mengganggumu. Kalau begitu sampai ketemu besok di depan penghulu, calon istri.
Pesan terakhir dari Ganindra, yah dia yakini itu pesan terakhir malam ini tetapi mengapa dia harus menekankan kalimat calon istri.
Ganindra melempar ponselnya karena kesal dengan dirinya sendiri terutama jempolnya yang terlalu sinkron dengan otaknya, untung saja ponsel itu masih terjatuh di ranjang yang nyaman dan lembut sehingga ponsel itu masih bisa digunakan seterusnya.
Setidaknya malam ini dia harus berusaha tidur agar wajahnya tidak terlihat kusam dengan bayangan hitam di bawah mata esok.
***
HARI PERNIKAHAN
Pagi hari nan cerah, matahari belum menyengat seperti biasanya. Tepat pukul 8 pagi, rombongan Ganindra menuju hotel tempat perhelatan pernikahan Amelia dan Ganindra berlangsung. Menurut jadwal yang disepakati pukul 9 pagi, keduanya akan melaksanakan akad nikah.
Tiba di lokasi acara dengan sambutan beberapa kerabat keluarga yang memang menunggu kedatangan Ganindra dan rombongan. Berondongan tatapan mereka menambah rasa tegang yang mendadak muncul di hati Ganindra.
Ayah Amelia akan bertindak sebagi penghulu yang akan menikahkan dirinya didampingi oleh dua orang kerabat Amelia dan Ganindra yaitu Dokter Handoko sebagai saksi pernikahan.
Ganindra mengambil tempat duduk tepat di depan Ayah Amelia dengan wajah yang juga tegang tetapi terlihat berbinar bahagia. Hari ini seorang Ayah yang membesarkan putrinya akan melepas tanggung jawabnya kepada seorang pria yang dia harapkan akan bersama putri tercintanya hingga maut memisahkan.
Kali ini kata-kata itu terasa berat dan mengganjal sanubari Ganindra, pernikahan adalah hal sakral namun Amelia dan dirinya ternyata mempermainkan hal itu dengan sandiwara pernikahan kontrak yang akan dijalani keduanya.
Saya terima nikah dan kawinnya Amelia Anindita binti Hadi Wibowo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.
Kata-kata ini yang diucapkan Ganindra dengan lantang terdengar membahana dan menimbulkan keharuan sesaat bagi orang yang menghadirinya. Bahkan ada helaan napas panjang Ganindra setelah mengucapkan kalimat yang ternyata sangat menggugah perasaannya.
“SAH!!!”
Ganindra sepintas melirik ke tamu dan hadirin yang hadir. Jangan tanyakan ekspresi haru dan bahagia kedua orang tua Amelia semuanya terekam jelas bahkan Ayodia adik satu-satunya juga terlihat meneteskan air matanya.
Setelah ijab Kabul, Ganindra menunggu kehadiran mempelai wanita yaitu Amelia. Ibu dan mungkin saja kerabat Amelia terlihat mengapit Amelia menuju tempat duduk di samping Ganindra.
Takjub dan terpesona, kalimat itu yang patut disematkan saat Ganindra memandang Amelia yang menggunakan kebaya brokat putih sederhana namun elegan senada dengan pakaian yang dikenakannya.
Amelia berjalan sembari menunduk, juga terlihat cemas dan tegang menuju Ganindra suaminya beberapa menit yang lalu.
Tidak lama keduanya sudah berdiri berhadap-hadapan. Amelia dengan perlahan mengambil tangan Ganindra untuk mengecup punggung tangannya. Ada rasa bergetar di dalam d**a Ganindra saat hidung Amelia menyentuh punggung tangannya seakan pertanda bahwa Amelia telah menyerahkan tanggung jawab kehidupannya kepada Ganindra.
Selanjutnya balasan kecupan di kening Amelia dari Ganindra. Keduanya bersitatap, merona dan salah tingkah tetapi harus tetap dijalani demi meyakinkan kepada hadirin bahwa pernikahan ini berlangsung dengan seharusnya.
Kedua tangan Ganindra memegang bahu Amelia. Wajahnya semakin dekat ke wajah Amelia. Kecupan dalam di kening Amelia membuat keduanya refleks menutup mata menyesapi perasaan yang muncul. Air mata keduanya luruh, entah perasaan haru apa ini.
Mungkin saja bagi Amelia, ini adalah kenyataan yang sungguh getir, saat dia memikirkan bahwa Baskaralah yang akan mengecup keningnya di hari akad nikah namun kenyataannya semuanya tidak berjalan sesuai yang direncanakannya.
Sedangkan bagi Ganindra, perasaan haru ini muncul karena selama usianya menginjak 34 tahun dia tidak pernah berpikir akan menikah dan sebisa mungkin menghindari hal itu. Tetapi kenapa saat ini dia merasa ingin menjaga dan tidak ingin menyakiti hati Amelia sedikitpun. Mengapa dia merasa ingin menunjukkan kepada orang tua Amelia bahwa dirinya bisa menjadi suami yang baik bagi putrinya yang bukan saja menyayanginya tetapi juga meninggikan derajatnya.
Setelah itu keduanya berpindah ke panggung sederhana dengan untaian bunga-bunga indah untuk menerima ucapan selamat dari semua hadirin dan kerabat yang datang menghadiri pernikahan mereka.
“Tolong jaga putri saya dengan baik nak Ganinrda,” pesan Ayah Amelia sembari memeluk erat Ganindra kemudian beralih ke Amelia dengan sambutan tangisan lirih Amelia juga pelukan erat entahlah apa yang dibisikkannya kepada Amelia.
Sebuah kalimat yang sederhana namun pennuh penekanan bahwa seorang Ayah memohon atau tersirat ancaman agar putrinya tidak disakiti ataupun terluka sedikitpun oleh seorang pria asing yang begitu tiba-tiba ingin mengambil alih tanggung jawab itu.
“Tolong cintai putri saya nak Ganindra, karena ibu tahu dia banyak kekurangan,” kali ini pesan dari seorang ibu yang mengandung Amelia kurang lebih 9 bulan lamanya. Berbeda dengan pesan Ayah Amelia yang menyiratkan ancaman, kali ini seorang ibu yang mengharapkan bahwa pria yang telah menjadi suami putrinya akan mencintai dan tidak pernah mencari celah akan kekurangan putrinya, menerima apa adanya adalah hal yang mungkin sulit diterima oleh pria saat ini.
Selanjutnya ucapan selamat dari Ayodia yang memeluk erat kakak tercintanya dengan erat, mengelus-elus punggungnya erat beberapa kali.
“Selamat yah Mas, selamat semoga kamu selalu berbahagia,” lirih Ayodia dan Ganindra hanya menganggukkan kepalanya.
Ayodia kemudian beralih ke Amelia, “Selamat yah, tolong jaga kakakku satu-satunya dengan baik yah Mba Amelia,” pinta Ayodia ke Amelia “Saya akan berusaha,” balas Amelia tersenyum. Saat ini posisi berbalik, adik satu-satunya Ganindra memohon agar Amelia tidak menyakiti keluarga Ayodia satu-satunya.
“Selamat Tuan dan Nyonya Adiwiguna,” ucap Adimas, kompak kedua pasangan mempelai hanya tersenyum simpul mendengar ucapan selamat itu.
Setelah itu para kerabat dan undangan dari Amelia tentu saja tidak satupun yang dikenali oleh Ganindra berjabat tangan dengan penuh senyuman bahagia.
“Dokter…” lirih Ganindra saat tetamu telah selesai hingga berdiri dokter Handoko, pria paruh baya dengan rambut memutih di hampir sebagian helai rambutnya. Garis wajah yang begitu tenang dan mata yang teduh terlihat berkaca-kaca menatap Ganindra.
“Dibalik resiko yang mungkin terjadi ternyata ada rasa bahagia melihat anda hari ini Tuan Adiwiguna,” bisik Dokter Handoko sembari memeluk Ganindra erat.
“Terima kasih dokter, tolong jangan berhenti untuk mengingatkan saya akan resiko itu,” tatap haru Ganindra melihat dokter pribadi keluarganya menghadiri pernikahannya.
“Tentu saja…tentu saja,” tekankan Dokter Handoko berkali-kali.
“Selamat Nyonya Adiwiguna, anda sangat cantik dan mempesona sekali hari ini,” jabatan erat dan menumpuk kedua tangannya dokter Handoko menatap Amelia penuh harap.
“Terima kasih atas pujiannya,” balas Amelia.
“Tolong jaga Tuan Adiwiguna dengan baik, dia adalah pria yang terlihat kuat di luar tetapi sebenarnya rapuh,” lanjutnya lagi dan Amelia hanya menatap sesaat kemudian mengangguk bingung.
Kepergian dokter Handoko sebagai penanda bahwa mungkin itulah ucapan terakhir bagi keduanya.
“Kamu lelah?” tanya Ganindra dan Amelia hanya tersenyum simpul dan mengangguk lemah.
“Amelia!!!” pekikan nyaring dari seseorang wanita dnegan langkah yang terburu-buru bahkan orang yang berjalan di sampingnya terlihat cemas dan menghalangi langkah wanita itu.
Pekikan nyaring ini membuat semua tetamu yang menikmati hidangan beralih kepada tontonan yang menarik yang mungkin terjadi di hadapan mereka.
Plak
Satu tamparan keras dilayangkan wanita itu tepat di pipi kanan Amelia. Ganindra dan Amelia bahkan tidak bisa menebak bahwa hal itulah yang akan dilayangkan oleh wanita itu kepada Amelia.
“Nyonya…” lirih Ganindra dengan rahang yang mengeras menahan amarah. Sorot matanya yang tajam seolah membunuh.
“Apa yang anda lakukan ibu Lilis,” kali ini Ibu Amelia datang menghampiri mereka. Dia bahkan berdiri di depan wanita itu sebagai tameng bagi Amelia dan Ganindra.
“Saya tidak menyangka secepat itu kamu melupakan anakku Baskara dan memilih pria ini yang ternyata pria yang kaya raya dan kalian dengan pandai bersandiwara mengunjungi saya untuk menyampaikan rasa bela sungkawa atas hilangnya Baskara. Tetapi nyatanya apa…? Kalian adalah pasangan kekasih yang ternyata merencanakan pernikahan. Sungguh tega kamu Amelia, ibu ternyata salah menilai kamu,” racau wanita itu lagi dengan sorot mata amarah. Sontak saja badan Amelia bergetar dan terkejut atas kedatangan Ibu dari Baskara mantan tunangannya. Yah dialah yang datang mengacaukan pesta pernikahannya yang terlihat khidmat dan berbahagia tetapi hanya sekejap saja menjadi mencekam dan memalukan bagi keluarga Amelia dan Ganindra.
“Hei ibu Lilis. Jaga ucapan anda,” tegur ibu Amelia tidak terima bahkan berdiri bertolak pinggang.
“Bu….” Lirih Amelia menahan tangis dan mencegah ibunya untuk tidak berkonfrontasi dengan Ibunda Baskara.
“Ada apa ini Nyonya?” kali ini Ayah Amelia menyusul dengan tatapan bingung. Dia sebenarnya paham akan situasi yang dialami putrinya tetapi pertanyaannya ini lebih kepada mengapa Ibu Baskara harus datang mengacaukan pernikahan putrinya.
“Bisa kita bicarakan ini di dalam ruangan,” usul Ayah Amelia dan semuanya sepertinya setuju dengan usulan itu.
Adimas dan Ayodia bersigap mengalihkan perhatian tetamu dan mengatakan bahwa acara masih dilanjutkan, menganggap kejadian tadi hanya kesalahpahaman biasa. Tentu saja orang-orang tidak gampang percaya akan alasan tersebut tetapi sebisa mungkin mereka tahu untuk menjaga perasaan kedua mempelai dan keluarganya.
***
“Jadi apa maksud anda ibu Lilis datang kesini dan seenaknya menampar putri saya,” cecar Ibu Amelia. Keduanya duduk di sebuah meja dengan posisi saling berhadap-hadapan. Ibu Baskara ditemani adik Baskara yang bernama Denok. Wajah Denok terlihat pucat dan merasa bersalah akan tindakan ibunya. Dia bahkan sudah berusaha untuk menahan ibunya untuk berbuat memalukan.
“Karena anak ibu pengkhianat,” tatap tajam Ibu Baskara, Amelia yang duduk diapit oleh kedua orangtuanya sedangkan Ganindra berdiri membelakangi dan memperhatikan tamu dari jendela di ruangan itu, seoalah-olah tidak ingin terlibat tetpai hanya bertindak sebagai pendengar saja. Badan Amelia bergetar menahan tangis tidak mampu untuk menatap orangtua Baskara.
“Jadi ibu maunya dia menjadi perawan tua yang menunggui anak ibu kembali dari surga dan menikahi putri saya,” ucapan ketus dan menyakitkan sebagai balasan dari Ibu Amelia. Ucapan yang sangat menohok namun diliputi kenyataan bahwa Ibu Baskara harus menerima kenyataan yang pahit ini.
“Sa-sa-saya…” ibu Baskara tercekat dan tidak mampu membalas perkataan ibu Amelia.
“Ibu Lilis, anak saya tidak pernah mengkhianati Baskara. Bahkan Ganindra dan Amelia baru saling mengenal seminggu saja. Kami saja bahkan tidak percaya hubungan ini akan bertahan hingga akhir. Tetapi ini bukan soal waktu tetapi soal keseriusan dan tanggung jawab Ganindra untuk menikahi putri kami dan menghindari kami dari rasa malu karena putri kami gagal menikah di seminggu sebelum hari pernikahannya,” urai Ibu Amelia. Posisi mereka berada dalam posisi yang sulit dan tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi melihat keseriusan dari tatapan Ganindra saat melamar Amelia, kedua orangtua itu akhirnya luluh melepaskan putri mereka satu-satunya.
“Jadi tolong ibu, sadarlah. Baskara sudah tenang disana, tolong biarkan putri kami bahagia,” Ibu Amelia menoleh ke arah Amelia menatap sayu putrinya, mengelus rambutnya.
“Iya saya minta maaf bu mewakili orangtua Amelia, kami memang tidak sopan tidak memberitahukan hal ini. Tetapi kami beralasan tidak etis kami memberitahukan kebahagiaan kami sedangkan ibu masih diliputi kesedihan atas kepergian putra tercinta Ibu Lilis,” tambah Ayah Amelia bijaksana.
“Ibu, maafin Amelia bu. Amelia sayang sama keluarga Mas Baskara selamanya. Kalian sudah seperti keluarga kedua Amelia bu,” ucap Amelia yang saat ini berani menatap Ibu Baskara dengan tatapan memohon. Perkataan ini membuat ibu Baskara seketika tersadar dari kekhilafannya yang secara terang-terangan mengacaukan pesta pernikahan Amelia.
“A-a-melia, maafin ibu nak,” ibu Baskara bangkit dan memeluk Amelia. Keduanya menangis lirih tahu akan kesakitannya masing-masing.
“Saya mungkin tidak bisa menggantikan putra Ibu tetapi saya mohon, janji saya untuk bertanggung jawab kepada adik-adik Baskara masih bisa saya lanjutkan bu,” kali Ganindra datang dan berdiri di belakang keduanya yang masih saling memeluk. Ucapan Ganindra ini membuat kedua orangtua Amelia menatap haru dan bangga bahwa menantunya beberapa saat lalu adalah pria yang benar-benar bijaksana.
“Terima kasih nak Ganin, terima kasih,” ucap Ibu Baskara dan menepuk punggung tangan Ganindra mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam. Ganindra tersenyum teduh bahkan mengacak-acak rambut Denok adik Baskara seolah-olah mengungkapkan rasa sayangnya sebagai kakak laki-laki tertua.
***
Siang hari menjelang bertepatan dengan tamu yang telah meninggalkan acara. Rasa lelah meliputi tuan rumah. Acara yang berlangsung tertutup ternyata tidak menghilangkan rasa penat dari mereka.
“Hm…Amelia, kamu boleh nginap malam ini di rumah ibu kamu,” saran Ganindra yang sudah berganti baju begitupun Amelia.
“Kenapa nak?” malah Ibu Amelia yang menjawab bukan Amelia.
“Ehm…saya ingin mengunjungi makam ibu saya bu. Sore ini saya dan adik berencana akan mengunjungi makam orangtua saya di Surabaya bu,” ucap Ganindra lagi.
“Nak Ganindra kenapa gak ajak Amelia sekalian, dia sekarang istri kamu. Dimana suaminya melangkah dia juga harus mengikutinya,” usul Ibu Amelia lagi bahkan Ayah Amelia terlihat mengangguk menyetujui usulan istrinya.
“Tapi mungkin Amelia lelah bu,” balas Ganindra lagi.
“Tidak saya bisa kok,” kali ini Amelia yang menjawab.
“Oh be-begitu, tentu saja tidak masalah,” ada binar bahagia di wajah Ganindra yang datar mendengar penuturan Amelia untuk ikut bersamanya mengunjungi makam kedua orangtuanya.
Setelah berpamitan mereka menuju bandara menaiki pesawat pribadi milik keluarga Adiwiguna. Tidak ada barang bawaan yang banyak hanya pakaian yang melekat di badan dan untuk esok hari saat mereka kembali ke Jakarta.
“Maafkan malam pertama pernikahan kita, malah harus mengunjungi makam orangtuaku,” ucap Ganindra yang duduk di samping Amelia sedangkan Ayodia sudah tertidur karena lelah yang juga menerpanya.
“Memangnya malam pertama bagaimana seharusnya yang harus kita lakukan,” balas Amelia.
Malu
Seketika ucapan Amelia ini membuat Ganindra malu dan salah tingkah, kenapa dia harus berbicara seperti itu. Benar kata Amelia dia mengharapkan malam pertama yang seperti apa.
“Iya maaf aku salah ngomong kayaknya. Sudahlah kamu tidur saja, takutnya kamu kecapean tadi” seketika ada ucapan sedikit ketus Ganindra yang ditangkap oleh Amelia. Padahal bagi Ganindra, dia sendirilah yang kesal pada dirinya sendiri berucap yang tidak-tidak.
Ganindra sibuk menatap tablet di tangannya sedangkan Amelia yang bosan membaca majalah akhirnya tertidur lelap sesekali dia menopang kepalanya namun sering jatuh dari tempatnya menopang. Ganindra yang sadar hal itu memberanikan diri menarik perlahan kepala Amelia dan menaruh di bahunya.
Kamu memang berbahaya Amelia, batin Ganindra.