Bab 44

1019 Words
Adam langsung menerobos masuk dan langsung memeluk tubuh Dellia erat. Dellia terkejut, ia mencoba melepaskan pelukan Adam tapi sulit. Pria ini terlalu erat memeluknya. "Maafin aku De, aku nyesal. Aku tau ini salah aku. Maafin aku." Dellia tidak tau harus membalas apa. Ia hanya bingung dengan ini semua. Apalagi ia juga merasakan tubuh Adam yang panas. Pria ini masih sakit ngapain ke sini. "Terima aku lagi De, aku rindu sama kamu. Aku kira aku bakalan hidup bahagia tapi aku malah hampa kayak gini. Kita kembali ya, Mas nggak mau cerai." Dellia mendorong tubuh Adam dengan keras, dan pada akhirnya pria itu tersukur ke bahwa. Sedangkan Adam meringis pelan, tubuhnya terlalu lemah untuk manahan tubuhnya sendiri. "Mas pulang aja. Aku udah maafin kamu, tapi buat balik aku nggak mau." Adam terdiam beberapa saat. "gimana caranya supaya kamu bisa balas semua perlakuan buruk aku?" Adam memikirkan dengan keras, apa balas dendam terbaik selain perceraian yang bisa dilakukan oleh Dellia untuknya. "Nggak perlu Mas, aku udah maafin kamu." "Iya tapi kenapa kamu masih mau cerai." Dellia berpikir untuk beberapa saat. "karena aku udah nggak mau lagi sama kamu." Adam menarik lengan Dellia pelan. "Mau ke mana Mas?" Tidak ada jawaban, Adam malah terus manarik tangan Dellia. Setelahnya Adam langsung mengambil pisau yang berada di atas meja. Dellia membulatkan matanya, apa Adam akan membunuhnya? Tapi pikirannya langsung lenyap saat Adam malah menarik tangan Dellia menaruh pisau itu ke tangannya dan Adam juga mengarahkan pisau itu dileher. "Maksud Mas apa sih?" berusaha melepaskan tangannya, tapi Adam malah menahan tangannya. "Kamu tau aku selalu balas dendam sama orang yang aku benci. Dan sekarang kamu tusuk ini pisau ke leher aku buat ngebalas semua rasa sakit yang kamu rasain." Adam mulai menekan pisau itu ke lehernya sendiri. Dellia menjerit, saat darah mulai ke luar. "Gila kamu," Dellia mendorong bahu Adam, kelenggahan Adam ia gunakan dengan menarik tangannya. Dellia menangis kuat. Ia tidak siap dengan kelakuannya barusan, ia baru melihat orang yang begitu berani menyakiti dirinya sendiri. Ia sudah tidak sanggup berdiri, Dellia memilih untuk duduk kursi makan. Dellia kalut seharusnya tadi ia tidak membuka pintu, Dellia takut karena tidak ada orang lain di rumah ini selain Adam. "Aku sama Mas beda, aku nggak mau balas dendam kayak gitu. Aku takut hiks," Dellia mengusap air mata di pipinya, ia sesugukkan. Tidak kuasa manahan tangis. "Mas pulang aja, kan masih sakit." Adam jalan mendekat ke arah Dellia, ia terduduk di bawah dengan meletakkan kepalanya ke arah paha Dellia. Setelahnya Adam memeluk kaki Dellia. "Lebih baik aku mati aja. Aku udah nggak tau harus ngapain setelah ini kalau kamu aja nggak mau lagi sama aku. Kadang aku bingung tujuan aku ada di dunia ini apa sih, selama aku hidup nggak ada yang menyenangkan kecuali saat aku sama kamu," Adam meneteskan air matanya tanpa sadar. "Makasih udah ada sama aku selama ini. Aku senang bisa ketemu sama kamu. Aku harap setelah ini kamu bahagia ya, tapi aku nggak sanggup lihat kamu sama pria lain. Kalau dipikir lagi aku emang nggak pantas buat kamu. Kamu terlalu baik buat orang jahat kayak aku." Dellia mengeluarkan tanpa henti air matanya. Ini sungguh menyakitkan, apa lagi saat Adam tampak sudah sangat pasrah dengan kehidupannya. "Jaga baik-baik ya Mama kamu," Adam mengelus pelan perut Dellia yang sudah menonjol itu. Setelanya Adam hanya diam dan hanya terus merebahkan kepalanya di paha Dellia. Dellia menatap leher Adam panik saat darah tampaknya tidak terhenti. Dellia kira Adam tidak menekan dalam lehernya tadi. "Mas, ayo ako obatin lukanya, apa nggak ke rumah sakit aja sekarang." Dellia mencoba menepuk pelan bahu Adam, tapi pria itu malah diam. "Mas," Dellia tambah panik saat melihat Adam yang tampak pingsan. Dellia mengigit bibirnya keras, menahan teriakkan. Tanpa menunggu Dellia langsung menelepon Sarah. "Ma, ke sini Adam hiks pingsan lagi." *** "Kenapa bisa gini De?" tanya Sarah yang ikut panik, sekarang wanita itu duduk di samping Adam. Ini sudah jam setenggah empat pagi, Sarah bangun karena suara ponsel yang berbunyi. Ia sedikit terkejut melihat Adam yang tidak ada di kamar, dan setelah mendengar ucapan Dellia tentang Adam yang pingsan. Membuat Sarah kalang kabut dan semakin panik. Aya dan Ayi juga menatap Dellia penasaran, mereka berdua terkejut saat melihat Kakak mereka yang masuk ke rumah sakit dengan leher dan baju yang berdarah. "Ini semua salah Dellia," tangisan Dellia semakin keras. Ia tidak sanggup menahan rasa sesak ini. Dellia tidak tau sudah berapa lama ia menangis hari ini. "Kamu nggak salah De, coba cerita biar Mama dengar." Dellia pun menceritakan apa yang terjadi. "Sudah ini bukan salah Kakak, itukan Kak Adam sendiri yang nekat," sahut Aya. "Iya Kak, Kakak jangan sedih Kak Adam pasti baik-baik aja," sahut Ayi. Sarah tersenyum pelan, walaupun sekarang hatinya sakit mendengar cerita Dellia. Ia tidak menyangka penyesalan Adam bisa membuatnya bodoh seperti ini. "Ini bukan salah kamu sayang." "Kalau sampai Mas Adam kenapa-napa, Dellia nggak papa kalau dilaporkan ke polisi." "Astagfirullah, ingat kamu lagi hamil. Jangan ngomong yang enggak-enggak," sahut Sarah geram. "Ya Allah, gimana dengan kondisi Adam?" tanya Siti yang sekarang datang bersama Wisnu. Mereka juga datang terburu-buru ke rumah sakit, Alva sudah bilang untuk datang besok pagi saja, tapi Siti dan Wisnu tidak bisa mereka juga ikut khawatir dengan kondisi menantunya. "Hiks Ibu," Dellia langsung bangun dari tempat duduknya dan memeluk tubuh Ibunya erat. "Kenapa sayang?" tanya Siti yang panik, Dellia tidak menjawab ia hanya terus menangis. "Gimana kondisi Adam?" tanya Wisnu pada Alva. "Belum ada kabar, Dokter sedang periksa," jawab Alva. Tidak lama kemudian Dokter yang merawat keluar dari ruangannya. Semua yang menunggu langsung bangun menghampiri Dokter. "Gimana Dok?" tanya Alva. "Lukanya sudah di bersihkan dan di perban. Kondisinya sudah cukup baik sekarang. Kalau begitu saya permisi." Dellia dan yang lainnya berucap syukur. Dellia sudah sangat penasaran dengan ke adaan Adam, hingga ia memilih untuk duluan masuk ke dalam ruangan Adam. Pria itu masih memejamkan matanya. Dellia mengusap kedua air matanya, rasanya ia tidak tega melihat kondisi Adam yang sangat memprihatinkan. "Maaf," ucap Dellia lirih. Pagi ini hanya tinggal Dellia sendiri yang menemani Adam. Sedangkan Keluarga Dellia sudah pulang duluan begitupun dengan keluarga Adam ia sarankan untuk pulang sebentar, sebab Dellia tau mereka sudah sangat lelah menjaga Adam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD