Sekarang aktifitas Dellia hanya terus memandang wajar Adam yang masih tampak pucat.
"Mas tau nggak sih, hm Mas masih tidur jadi hm aku bakalan cerita. Jadi gini Mas sebenarnya aku cinta sama kamu, cuman kejadian dulu itu ngebuat aku engan buat balik lagi. Aku takut, jadi kita lebih baik gini aja nggak usah ngelanjutin penikahan ini."
Dellia sudah lelah bicara sendirian sejak tadi, Adam tidak kunjung bangun padahal kata Dokter Adam sudah membaik dan akan segera bangun.
"Kok nggak bangun-bangun?" tanya Dellia yang sudah capek menunggu Adam. "Aku keluar dulu ya bentar ke taman bosan, nanti aku balik lagi," Dellia hendak pergi keluar sebentar, dan langkahnya langsung terhenti saat Adam menahan lengannnya. Sebenarnya Adam sudah bangun sejak tadi hanya saja ia engan membuka mata. Dan tentu Adam juga mendengar curhatan Dellia.
"Mas udah bangun?" Dellia kembali mendekat ke arah berangkar. Ia menatap Adam yang juga menatap ke arahnya.
"Hiks, maaf Mas. Ini salah aku, tadi maunya aku langsung narik tangan kalau nggak pasti kamu nggak bakalan begini," balas Dellia sambil terisak-isak ia mengeluas rambut tabal Adam yang tampak sudah memanjangan.
"Mas ngomong dong," sambung Dellia lagi saat Adam malah diam saja tidak membalas perkataannya.
"Kalau nggak ngomong aku pulang aja," sambung Dellia yang sudah kesal dengan Adam, kan ini semua juga bukan kesalahannha saja.
Dellia memegang perutnya yang tiba-tiba sedikit nyeri.
"Kenapa?" tanya Adam yang ikut memegang perut Dellia.
"Nggak papa. Mas masih marah sama aku? Emang ini salah aku ya," Dellia menatap Adam dengan mata yang berkaca-kaca.
"Nggak, leher aku sakit jadi malas ngomong."
"Makanya ngapain kek gitu," Dellia memberengut, ia mengambil nasi yang berada di atas nakas. "Sekarang makan."
Adam mengangguk, ia makan dengan pelan. Istrinya itu mengerti jika Adam belum bisa makan dengan cepat. Adam terus memandang wajah yang semakin cantik itu apalagi dengan pipi yang sudah tanpak berisi. Hal itu membuat Dellia tampak sangat imut.
"Aku dengar semua," Dellia menatap Adam dengan mengerutnya keningnya.
"Dengar apa?" tanya Dellia yang panik, apa Adam mendengar curhatan alaynya tadi.
"Yang pas aku tidur tadi."
Pipi Dellia langsung memerah, rasanya ia ingin menghilang saja. Malu rasanya.
"Kamu cinta kan sama aku?" ulang Adam lagi. "cinta kan?" sambung Adam lagi dan dengan pelan Dellia mengangguk, tidak ada gunanya lagi Dellia berbohong, Adam juga sudah mendengar semua curhatannya tadi.
"Kalau gitu nggak perlu ada cerai, aku coba buat relain kamu tapi nggak bisa De," sambung Adam lagi yang sekarang menarik tangan Dellia untuk ia genggam erat. "jangan ya, nggak usah pisah ya."
Dellia terdiam untuk beberapa saat. Kemudian ia menggelang.
Adam melepaskan pegangannya dari tangan Dellia, Adam membalikkan badannya membelakangi Dellia.
Dellia menatap Adam yang bahunya sedikit bergetar. Apa Adam menangis lagi?
"Mas," Dellia hendak memegang pipi Adam, tapi pria itu menghempaskan tangannya dengan pelan.
"Keluad dulh De, nanti masuk lagi ya," sambung Adam lagi yang dengan nada terbata-bata. Ia malu menangis di depan Dellia.
"Mas jangan nangis," Dellia lebih mendekatkan wajahnya ke arah wajah Adam, laly ia menarik pelan bahu Adam, setelah tubuh Adam sudah tidak membelakangi Dellia lagi ia langsung menunduk dan memeluk Adam. Sedangkan Adam ikut menenggelamkan wajahnya di d**a Dellia.
Adam jarang menangis bahkan ia tidak mengingat kapan terakhir menangis setelah menangis tadi malam. Tapi sekarang ia malah menangis diwaktu yang tidak tepat. Adam malu menangis di depan Dellia, mau menahan tangis pun susah rasanya.
"Hiks nggak mau cerai," ucap Adam yang terendam di pelukkan Dellia.
"Boleh, tapi ada syaratnya," balas Dellia pada akhirnya. Ini emang terlalu mudah untuk memaafkan Adam kembali, tapi Dellia terlalu lemah untuk mempertahankan pendiriannya untuk bercerai. Apa lagi ada anak diantara mereka, dan Dellia lihat juga Adam sudah tampak sangat menyesal.
"Jadi aku tu Mas coba maafin kedua orang tua Mas."
Adam terdiam, mencoba mencerna permintaan Dellia, Ini sungguh permintaan yang sulit.
*kamu disuruh sama orangtua aku bilang begini?" Adam menatap Dellia dengan tatapan yang sulit Dellia tebak.
"Nggak, mereka cuman cerita. Bukan aku bela mereka Mas, kamu tau nggak sih kenapa hidup kita nggak tenang. Itu karena kita nggak mencoba memaafkan orang lain. Dellia yakin setelah Mas memaafkan mereka, semua kehidupan Mas akan lebih indah. Apa lagi nanti Baby kita lahir, dia pasti akan heran dong liat Ayah sama Nenek dan Kakeknya yang nggak kompak."
"Tapi mereka jahat sama aku," sambung Adam lagi dengan pelan.
Dellia mengecup kedua mata Adam pelan, ia gemas melihat wajah Adam yang memerah habis menangis.
"Iya, jadi kamu mau nggak?" tanya Dellia lagi.
"Akan aku usahakan," jawab Adam.
Adam terdiam beberapa saat mencoba mencerna semuanya. Ini sungguh permintaan yang sulit.
"Aku tanya mau apa nggak?"
"Iya mau mau," sambung Adam lagi.
"Aku nggak bakalan ngelakuin hal yang bisa nyakitin kamu lagi De, kalau aku ada salah tegur aja kalau perlu kamu pukul aja aku ya," sambung Adam lagi.
"Hm iya," jawab Dellia lagi. Walau sedikit ragu, Dellia berusaha kembali mencoba mempercayai Adam lagi. Ia akan berusaha untuk membuka lembaran baru.
"Jadi kita nggak jadi pisah kan?" tanya Adam memastikan. Adam menatap wajah Dellia dalam, ia tidak sabar menunggu balasan. Dan pada akhirnya Dellia hanya membalas dengan anggukan singkat.
Adam mengecup bibir Dellia pelan. Adam juga tidak percaya bahwa Dellia mau nerimanya lagi, tapi kenyataanya Dellia mau. Rasa bahagia membuat Adam merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia.
Adam kembali memeluk Dellia dengan erat. Ia senang bisa kembali memeluk tubuh hangat yang selalu ia rindukan ini.
****
"Aku cinta sama kamu," Adam menahan tubuh Dellia yang hendak beranjak dari pelukkannya.
Dellia mengangguk, ia memenamkan wajahnya ke d**a bidang Adam. "Mas tau, Dellia juga cinta sama Mas. Padahal aku udah berusaha untuk melupakan semua perasaan ini, tapi sangat susah banget."
Adam senang mendengar ucapan Dellia barusan.
"Tidur di sini, mau peluk," sambung Adam sambil menepuk ranjang di sebelahnya.
"Kan udah tadi peluknya," lanjut Dellia sambil terkekeh pelan.
"Belum puas," Dellia hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan Adam. Ranjang rumah sakit ini cukup besar jika ditiduri oleh Adam sendiri, ya ini juga pasti karena kamar yang ditepati Adam adalah kamar paling bagus.
Tiba Dellia sudah berada di samping Adam, langsung saja Adam memeluk Dellia erat dengan tangan yang mengelus perut Dellia.