"Adam, maafin Mama," ucap wanita itu lagi.
"Maaf karena udah ngebuang aku?" dapat diliat wanita itu menatapnya dengan kesedihan. Adam tau jika ia di buang karena kawannya yang berumur sepuluh tahun bilang jika anak yang menjadi pengamen adalah anak buangan.
"Dan lagi nama aku bukan Adam," tepat sekali Adam sebelumnya tidak memiliki nama yang jelas. Orang-orang biasanya akan memanggilnya dengan tidak jelas, jika dia memakai baju putih maka orang akan memanggilnya dengan "hai anak yang berbaju putih."
"Sekarang nama kamu Muhammad Adam."
"Ada duit seratur ribu nggak? Kalau ada boleh deh nama saya Muhammad Adam," ucap Adam kecil lagi sambil kembali mengulurkan tangannya. Dan wanita itu dengan terpaksa memberikan uang ke tangan Adam.
Di situlah Adam paham jika kehidupannya berubah 180 derajat. Ia tinggal di sebuah rumah yang besar dan lagi ia mendapatkan semua yang dulu ia inginkan seperti mainan. Dan lagi dia di sekolahkan. Bukan hanya itu yang ia dapatkan tapi juga dua orang adik kembar yang berjenis kelamin perempuan yang berumur tiga tahun. Adam tidak perduli dengan mereka berdua bahkan sampai ia berumur 28 tahun, ia masih tidak perduli dengan mereka. Jika ditanya alasan, maka adam akan menjawab, "karena mereka sudah hidup enak sejak kecil," Adam akui ia iri melihat adiknya yang sudah punya tempat tinggal sejak kecil. Tidak seperti Adam yang tinggal di bawah kolong jembatan.
Adam mengusap wajahnya kasar, saat kilasan masa lalu menghampirinya. Apalagi dengan kenyataan masa lalu yang sempat ia dengar dari Tantenya bahwa ia di buang karena orang taunya tidak sanggup membiayai hidupnya saat itu.
Adam memasuki sebuah markas dengan nama "Black Death," di sana sudah banyak pria yang tidak kalah gagah darinya. Pria itu semua adalah temannya saat kecil dahulu.
"Kenapa muka lo begitu Bos?" tanya Haikal, pria yang berlusung pipi itu.
"Gara-gara si Tian," jawab Adam menyebutkan pria yang berantam dengannya di Bus tadi.
"Wah, cari gara-gara dia Bos, apa perlu kira habisi dia?" tanya Khalid.
"Perlu, tapi jangan sekarang. Kita harus menyiapkan dahulu strategi agar mereka bisa menyerah sebelum perang," balas Adam sambil menatap dua puluh pria dewasa yang berada di ruangan ini.
Semua para bawahan Adam hanya diam, mereka hanya melirik satu sama lain.
"Saya mau ke kantor dulu," Adam langsung berdiri meninggalkan markas mereka. Ia sadar baru sebentar duduk di kursi penguasa markas itu. Tapi Adam harus segera menuju kantor untuk menjalankan misinya yang lebih wow dari masalahnya dengan Tian.
Adam bekerja di perusahan ternama dengan jabatan CEO. Kehidupannya di sana membuat ia jenggah karena jujur tugas di kantor itu tidak cocok dengan selera Adam. Tapi Adam tetap menahan semua rasa muaknya saat melihat berkas-berkas itu.
Setelah menempuh hampir satu jam, akhirnya ia sampai ke kantornya. Dengan langkah pelan, Adam menongakkan bahunya ke depan tanpa melirik ke kanan atau pun kiri. Tatapan Adam fokus ke depan, orang yang awalnya berada di depan Adan langsung minggir saat melihat Adam.
Adam terkenal dengan CEO yang sangat berpegang teguh pada peraturan. Jika saja ada yang membuat salah ia tidak akan segan-segan memecat orang itu. Adam juga akan sangat marah jika ada karyawan yang bersikap murahan padanya.
Pesona Adam emang tidak bisa dielakkan, tingginya yang mencapai 181 cm, wajah yang sangat pas dengan tubuh tegap yang membuat para wanita semakin memujanya.
Ia memeriksan semua berkas dengan tekun. Walaupun pekerjaan ini bukanlah typenya, tapi ia tetap melakukan tugas dengan benar. Tujuannya adalah membuat perusahaan ini samakin sukses, dan tentu setelah itu ia akan mengambil posisi direktur mengantikan posisi Ayahnya. Dan tentu setelahlah itu ia akan meninggalkan kedua orangtaunya di jalan, persis seperti yang mereka lakukan terhadap Adam saat ia masih kecil. Balas dendam yang membuat Adam tidak pernah memikirkan perasaan orang lain.
Tok tok tok.
"Masuk," sahut Adam. Tidak lama kemudian secretaris barunya masuk dengan keringat dingin yang membasahi pelipis pria itu. Bahkan tangan pria itu juga bergetar, Adam tersenyum tipis, ia senang jika bawahannya takut dengannya. Mungkin Sekretaris yang baru bekerja dengannya selama sebulan ini sudah mendengar rumor bahkan Adam sangat menjunjung peraturan.
Pegawai di kantor ini tidak ada yang berani berhadapan langsung dengan Adam. Jadi mereka menyerahkan apa yang ingin mereka serahkan melalui sekretaris barunya ini.
"Ini Pak, perlu di tanda tanggani," pria itu menaruh berkas itu ke atas meja dengan mata yang tidak menatap Adam.
"Hm," Adam menandatangani berkas itu, setelahnya sekretaris itu menunduk hormat dan meninggalkan Adam sendirian di ruang kerja ini.
Suara deringan ponsel membuat Adam mengangkat telepon itu dengan pandangan malas, pria tua itu selalu menganggunya.
"Ada apa?" tanya Adam.
"Pulang sekarang," perintah Alva- Ayah Adam dengan nada seolah-olah Adam tidak boleh membantah.
"Saya sibuk," balas Adam lagi.
"Sekarang pulang!" Alva tidak membalas ucapan Adam, ia malas kembali menegaskan apa ucapannya. Ketika Adam ingin membantah pria itu lagi sambungan telepon sudah diputus oleh Alva.
Adam terkekeh kecil, lihat saja setelah ini pria tua ini tidak akan pernah bisa menyuruhnya seperti ini bahkan untuk berbicara dengan Adam saja pria itu akan segan.
***
Tak berselang lama, Adam sampai di rumah yang sangat megah ini. Adam sudah lama tidak menginjakkan kakinya di sini, mungkin terakhir kali saat dua bulan yang lalu.
Adam sudah tinggal berpisah sejak ia tamat SMA, tentu ia melakukan ini karena tidak sanggup berada di tengah-tengah keluarga bahagia itu.
"Ada apa?" tanya Adam tanpa basa-basi dan duduk di sebuah sofa besar yang berada di ruang tenggah. Tampak sekali jika pria ini menunggunya tiba.
"Apa seperti itu ucapannya mu saat bertemu dengan Ayahmu?" Alva menatap anaknya malas, entah sampai kapan Alva harus bisa besabar dengan tingkah putranya yang tidak punya sopan santun.
"Hm," Adam berdehem malas, apalagi saat melihat Aya dan Ayi yang berjalan mendekat ke arahnya. Sangkin bencinya dengan keluarga ini, Adam ingin membakar rumah ini sehingga orang-orang yang berada di rumah ini musnah.
"Abang," teriak mereka bersamaan, Aya duduk di sebelah kiri sedangkan Ayi duduk disebelah kanan, sehingga sekarang Adam berada di tenggah-tenggah. Adam bergeretu kesal.
"Lepas," ketus Adam menghempaskan tangan Aya dan Ayi dari badannya.
Aya dan Ayi yang sudah berumur dua puluh tiga tahun hanya menampilakan wajah sedih mereka. Selalu seperti itu bahkan sejak kecil Adam tidak pernah mau memeluknya, padahal Aya dan Ayi berusaha untuk tidak membuat Adam marah. Aya dan Ayi iri saat melihat teman-temannya sangat akrab dengan Kakak mereka.