20. STRATEGI MENIKUNG

1257 Words
"Kadang, jiwa pendiam ini harus terpaksa berubah, menjadi tidak waras, demi meluruskan yang salah dan menjauhkan sampah." Acha Dentuman musik DJ memulai perjalanan pulang, ditemani guyuran air hujan yang semakin menjadi-jadi lebatnya. Semua tanaman petani hijau segar, tidak lagi gersang. Sepanjang jalan, sepi dan lenggang, dinikmati Acha. Kedua tangannya mendekap cemilan, normalnya perjalanan kurang lebih membutuhkan waktu tiga jam. Untung saja mereka tidak kemalaman di track pulang. Jaket satu-satunya juga sudah basah, terpaksa tubuh Acha hanya terbalut kemeja kotak hitam yang tipis. Melihat keadaan Acha yang menahan dingin, Bram kala itu memakai jaket army yang tidak dipakai waktu turun dari gunung, tanpa berpikir ulang dibukanya jaket itu lalu diserahkan kepada Acha. Ia masih canggung, jika tiba-tiba memakaikan sendiri lewat bahu Acha. Awalnya menolak, tetapi Bram dengan cepat meyakinkan kondisinya yang takut masuk angin. Toh, tubuh lelaki tahan banting, angin pun tidak mampu mengalahkan. Diam-diam, sudut mata Devid memantau. Acha memakai jaket Bram, wah ... keromantisan macam apa itu? Hingga ia tersadar, permintaannya belum tercapai. Bukankah tadi Acha bertanya? Tetapi ia malah lupa menjawabnya. Biarkan nanti saja di saat orang sekitar mulai gila dengan aktivitas masing-masing. Tidak lama, kumandang Adan Magrib terdengar dari beberapa penjuru masjid. Pak Santo pun memerintah sopir agar menepi ke tempat ibadah yang berada di pinggir jalan. Satu per satu antre keluar bus. Langit telah menghitam, sedangkan hujan lebat telah hilang berubah menjadi rintikan. Di sanalah, sebuah kesempatan harus dipakai dengan cepat. Bram terlihat mendahului Acha, sedangkan Devita masih duduk santai dengan ponsel di tangannya. Jadi, bagaimana rencana Devid detik itu pula? "Cina! Solat ...." Kebiasaan, Devid selalu memanggil Devita dengan sebutan Cina. Karena menurutnya, wajah temannya itu memang seperti orang Cina. Walaupun kenyataannya hanya mirip dari mata saja, tidak dengan bentuk wajah yang blasteran orang Indonesia. Devita mendelik sebal, seraya bangkit dari duduknya lalu berjalan malas sampai tidak terlihat wujudnya. Devid terkikik, ia menyadari tinggal dirinya, Acha dan anggota MAPALA lain di belakang. "Nyari apaan?" tanya Devid, melihat Acha yang seperti mencari-cari ke dalam tas kecil miliknya. Acha mendongak, dengan wajah pasrah. "Pencuci wajah." "Oh, padahal udah cantik juga kali, masih aja dicuci ...." "Apa?" Devid menegaskan, "Ucapan gua gak bisa diulang dua kali, cepet! Nanti aja sampe di rumah nyucinya, sekarang solat dulu." Baiklah, Acha tidak lagi melihat Devita di sekitar, tidak mungkin juga ia berlama-lama hanya mencari pembersih wajahnya. Ia pun bangkit, menurut saja melihat ke belakang, sudah tidak ada lagi anggota MAPALA yang duduk di bangku bus. Sesampainya di depan sebuah masjid dengan seni Islami yang kental, Devid menarik Acha menuju kamar mandi yang banyak antrean. Sekaranglah, waktunya meminta hak sebagai penolong, batin Devid. "Jangan sampe lupa lo masih punya utang ke gua!" "Utang apaan!" balas Acha, matanya mencari-cari Bram. "Masa makasih doang, nggak cukup, Bray ...." Tangannya membentuk tanda silang ke depan wajah Acha, beruntungnya Acha yang memiliki tinggi badan di bawahnya. "Ya udah maunya apa, Kucrut!" Ups, Acha menutup mulutnya dengan cepat, menyadari makiannya barusan. Begitu pula Devid, ia terdiam sembari mengerutkan keningnya dalam. Kucrut? Dia seperti pernah mendengar, tetapi kapan dan di mana? Pikiran mereka berdua sama-sama melayang entah ke mana. Sampai, Bram meneriaki Acha untuk menghampirinya. Maka, permintaan Devid kembali harus dikubur lagi. Masih berada di desa Majalengka, Jawa Barat. Terasa sekali masakan khas Sunda dan senandung lagu dari radionya. Malam itu, semua rombongan MAPALA menghabiskan waktu di sebuah warung, tepat masjid yang mereka singgahi. Setelah salat berjamaah yang diimami langsung oleh sesepuh di sana. Katanya, sering para pendaki singgah untuk menunaikan ibadah. Sampai, ada catatan berapa kali salatnya tertinggal saat perjalanan menuju puncak juga pulangnya. Tersentuh hati anggota MAPALA. Harusnya, dalam keadaan apa pun mereka menyempatkan kewajiban. Walaupun ada niat, akan dilaksanakan setelah keadaan memungkinkan. Padahal, siapa yang tahu datangnya ajal? Mampukah kalian dalam keadaan meninggalkan kewajiban sebagai seorang Muslim, lalu Tuhan cabut nyawa titipan-Nya? Naudzubillah, semoga kita dihindarkan. Sedikit ceramah dari sesepuh itu. Di luar masjid, sambil menyuapkan mie seduh dengan malas, Acha melihat beberapa potretan di gunung tadi. Gunung Ciremai atau Cereme berdiri di atas 3 kabupaten yaitu Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Jadi, keindahannya itu memang tidak bisa diragukan lagi. Mengingat, puncaknya adalah atap Jawa Barat. Ada rasa bangga dan lega. Meskipun kakinya memberikan bekas ketidaksempurnaan selama pendakain, sedangkan Bram sedang membakar jagung bersama anggota MAPALA lain di samping warung. Cuaca malam ini indah. Tidak ada lagi gerimis yang mendinginkan, jaket hangat Bram masih Acha gunakan, semerbak parfum lelaki itu juga dapat diciumnya dengan damai. Devita menghampirinya, membawa jagung bakar yang mengeluarkan aroma khas menggugah, tetapi Acha malas untuk memakannya. Ia ingin rebahan, sambil mendengarkan musik. Namun, tidak bisa mengingat mereka masih berada di luar masjid mengistirahatkan diri. "Lo pacaran sama, Bram, ya?" tanya Devita, tanpa memandang Acha langsung. "Enggak, gua cuma temenan doang," balas Acha, memang benar, siapa juga yang pacaran? Devita mengangguk tidak yakin atas jawaban Acha. "Padahal pantes kok, kalian cocok banget." Terus kalo cocok harus tetep pacaran? Batin Acha. Ia juga mulai tidak menyukai Devita. bagaimana tidak, padahal Devid dan Devita nyatanya tidak berpacaran. Namun, seolah perempuan itu memaksa, bahwa mereka memiliki status lebih dari sebagai teman. Maka, di sini pula Acha mulai merancang strategi, bodoamat dengan diam-diam menghanyutkan atau teman makan teman. Toh, Devid yang ia temui adalah sahabat kecilnya, tetapi masih ada rahasia mengapa bisa tidak mengingatnya. "Gua gak suka sama, Bram, terlanjur suka sama orang yang sok kegantengan dan kayaknya seru." "Siapa? Devid?" tanya Devita, terlalu cepat. Acha mencebikkan bibirnya. "Kayaknya, tapi gua suka doang kok bukan suka banget. Eh, elo, kan, cuma temennya, ya?" Wajah Devita berubah sinis. "Iya, udahlah, gua mau minta minum, haus!" ketusnya, seraya meninggalkan Acha begitu saja. Dalam hati, Acha bersorak kemenangan. Jadi, ia sudah terlihat seperti teman pengkhianat? Ah, biarlah, bukankah Devita hanya teman biasa Devid? Kalaupun bukan, sahabat dekatlah. Tanpa diduga, nama lelaki yang barusan menjadi masalah datang menghampiri. Duduk di samping bekas Devita. Dari kejauhan, Devita meremas jagung bakarnya yang panas dan menjerit, tetapi Devid tidak mendengarnya. "Eh, ngapain lo ke sini!" Entah mengapa, Acha menjadi enggan berdekatan. Kepala Devid pelan berbalik. "Emang ini masjid punya nenek moyang, lo?" Tangan Acha bergerak-gerak memilin jaket yang dipakainya, kentara menahan gugup. "Sana, semua cowok pada bakar jagung!" usir Acha. "Lo sendiri kagak, si Devita aja di sana." Ya ampun mengapa serba salah seperti ini? Batin Acha. Ia memilih memainkan ponselnya saja dan membatu, mengingat wallpaper yang terpasang adalah potret dirinya dan Devid di masa lalu, dengan cepat ia menjauh sampai jarak mereka dipastikan sangat-sangat jauh. Devid mengerutkan keningnya, emang cewek aneh, batinnya lalu membuka ponsel miliknya. "Tadi, lu manggil gua Kucrut, ya." Acha mendengar ucapan Devid yang sedikit berbisik, tetapi pura-pura tidak mendengar dan memilih diam. Devid melirik, Acha masih memainkan ponselnya dengan asik. "Kucrut ... gua pernah denger dan gak asing, tapi lupa, kenapa lo bisa manggil gua jek gitu?" Sekarang, barulah Acha mendongak dengan ragu. Menatap mata penuh tanya di depannya. Lalu, Devita menghampiri mereka, ia tahu Acha menyukai Devid dan itu jangan sampai terjadi. Devid hanya miliknya. Bahkan orang lain tidak berani mendekati, sedangkan Acha yang bisa dibilang anak baru, sampai berani jujur kepadanya. "Masuk bus, yuk! Bentar lagi berangkat," ajak Devita, cara berjalannya sudah tidak lagi terseok-seok. Jadi, ia bebas menarik Devid dengan cepat. "Ha? Bentar," tolak Devid. Namun, penolakan itu takkan bertahan dengan lama karena Devita sudah menarik paksa dengan brutalnya. Acha hanya memandang sekilas mereka berdua. Ia tidak salah telah mengungkapkan kepada Devita, bahwa ia menyukai Devid. Detik itu pula, ia berhasil mengungkap bahwa Devita juga menyukai sahabatnya. Mantap ya si Acha, jadi cewek barbar aja sekalian wkwk
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD