21. NGEKANG, YA?

1282 Words
"Buang waktu ngurusin perasaan orang. Apalagi akhirnya yang nggak diinginkan, di luar dugaan." Devid Jadi, persaingan dalam diam sudah ditegakkan. Siapa pun berhak memperjuangkan rasa suka, selagi orang yang menjadi objek belum menentukan pilihannya. Kata Bram, Devid itu sering berganti pacar, tetapi hanya sesaat karena Devita selalu memberikan tatapan sinis tidak terima, sampai memusuhi semua perempuan yang mendekati temannya. Namun, Devid biasa saja menanggapi sikap Devita, mungkin itu hanya sifat jail saja. Tidak dipikir matang-matang atau bahkan curiga teman juga tetangga menyukainya. Semenjak sama-sama menyukai seni, Devid sudah menganggap Devita sebagai adiknya sendiri. Di mana, kedua orang tuanya selalu menitipkan anak gadisnya itu. Jadi, apa pun yang menyiratkan kekecewaan, hal biasa bagi adik tercinta. Perjalanan terasa memanas, Devita yang duduk di samping jendela menekuk wajahnya tidak suka. Beraninya Acha berbicara di luar batas kepadanya, baru kali ini ada yang seberani seperti itu. Diliriknya Devid, sedang memainkan ponselnya, biasa masih dengan game yang entah kapan selesainya. Dari bangku Acha dan Bram duduk, mereka menahan tawa melihat beberapa tangkapan momen di gunung yang konyol. Di antaranya, Acha tidak menemukan Devid, mungkin selama di puncak memang lelaki itu ingin menyendiri? Setelahnya, Bram mengirimkan potretan Acha dan mereka berdua ke w******p. Sekejap, ia terdiam mendapati foto profil Bram di mana tangkapan mereka berdua, kala di puncak. Maksudnya apa? Buat apa coba? Acha bertanya-tanya, sampai Bram berkata fotonya sudah dikirimkan semua. Nanti saja memikirkan hal yang tidak diinginkan, lutut Acha masih terasa berdenyut mengingat robekannya bisa dibilang lebar dan dalam, lukanya tertutupi celana panjang yang ketat juga seolah menekan dan menyakitkan. Sampai waktu menunjukkan pukul sebelas malam, semua penumpang bus mulai memejamkan matanya karena mengantuk. Acha yang masih tersadar melirik penghuni di samping, Devita menyandarkan kepalanya ke bahu Devid. Oh ... untuk memanasi? Batin Acha, lalu memalingkan wajahnya tidak suka. Karena wajah Devid masih santai saja diperlakukan perempuan itu. "Mohon bersiap, sepuluh menit lagi kita sampai di Sekretariat MAPALA." Informasi dari pak Santo membuat beberapa anggota yang terlanjur tidur terjaga dengan cepat, hari semakin gelap dan dinginnya pula menambah membekukan tubuh lemah. Bram terjaga, lalu membawa ransel kecilnya bersiap keluar dari dalam bus. Acha pun demikian, ia melirik ke bawah, takut ada barang yang terjatuh dari dalam ranselnya. Selanjutnya, bus berhenti tepat di depan gerbang yang terbuka lebar, Bram mengajak Acha untuk keluar, sedangkan Devid dengan pelan membangunkan Devita. "Bangun, udah sampe," suruhnya, seraya menegakkan tubuh Devita agar terbangun. "Emm." Devita melenguh, meregangkan kedua tangannya lalu mencari-cari seseorang dan mendapati Acha yang siap beranjak. "Ngantuk!" Detik itu pula, Devita memeluk pinggang Devid dengan manja. Devid mendengkus. "Bangun, Bangke! Lu mau gua tinggalin, ha?" Di belakangnya, Acha mencibir tidak suka, dasar cewek kegatelan udah tahu Devid risi, dengan cepat Bram mengajak Acha untuk beranjak. Ia juga melihat kepolosan Devita, lebih tepatnya mereka memang bisa dibilang adik kakak. Sebelum Acha benar-benar keluar dari dalam bus, ia melirik sekali lagi kepada Devid. Tangan lelaki itu mengelus sayang puncak kepala Devita yang tidak mau bangun, sialan memang sok ngantuk, batin Acha lalu melangkah pergi. Devita bersorak dalam hatinya, ia berhasil membuat Acha terbengong-bengong. Salah siapa berani bersaing dengannya? Perempuan yang sudah mendarah daging bersama dengan Devid. Tidak akan dipastikan, siapa pun orangnya pasti akan berhenti mengejar pada waktunya. Karena, Devid adalah milik dirinya, titik. Dirasa Acha sudah hilang dari pandangan, barulah Devita pura-pura kesal dan menggerutu harus bangun, tidak lama sebuah jitakan keras mendarat di puncak kepalanya. "Devid!" pekik Devita, sambil memegang puncak kepalanya. "Lama, t***l! Pake acara ngantuk tingkat dewa lagi," maki Devid lalu menjinjing kantung keresek berisi sisa makanan mereka. Devita mencebik, tidak membiarkan Devid keluar sendiri dari bus. Maka, ia pun dengan cepat menyusulnya. Toh, jika Acha melihatnya, bisa dipastikan terbongkar bahwa Devita ditinggalkan, bukan ditunggu oleh pangeran. Sesampainya di depan parkiran, Devid memasuki mobil berwarna abu miliknya, keluar dari beberapa motor yang terparkir juga. Devita mencari sosok Acha yang menjadi musuhnya sekarang. Hingga, didapatinya Bram membukakan pintu untuk perempuan itu. Acha terlihat menahan tawa karena perlakuan Bram sangat berlebihan. Tubuh mungil itu pun menghilang masuk ke dalam, lalu Bram segera menyusul mengemudikan. Mereka bersama lagi ternyata, batin Devita. Tidak lama mobil Bram melaju cepat dan milik Devid mendekatinya. Tidak ada acara dibukakan pintu oleh temannya. Jadi, Devita sendiri berjalan malas duduk di bangku sebelah Devid. Sebelumnya, Devid membawa carrier mereka yang disimpan di bagasi bus, tadinya ia berniat melanjutkan pembicaraan dengan Acha. Sayang, yang membawa carrier perempuan itu adalah Bram. "Gua suka loh, si Bram sama Acha mereka cocok banget!" seru Devita, sangat berlebihan sekali. Devid mengedikkan bahu. "Ya, terus? Gua harus maksa jodohin mereka?" Diliriknya sinis Devid. "Gak gitu juga kali, ya ... menurut lo gimana?" "Gak, ah! Bram kurang romantis, kocak, sama ganteng," balas Devid dengan santai, ia membandingkan Bram dengan kesempurnaan yang ada di dirinya sendiri. "Elu lagi membanggakan diri, ha? Jangan bilang lu suka sama si Acha?" Pertanyaan itu hanya memancing saja, bukan berarti Devita ingin benar-benar Devid menjawab menyukai perempuan kurang ajar itu. Namun, siapa sangka, Devid tertawa keras lalu mengacak rambut Devita dengan polosnya. "Maksudnya apaan berantakin rambut gua, Devid!" teriak Devita kesal. Masih menyisakan tawa, Devid berkata, "Lucu aja gitu, ngapain lo ngurusin perasaan gua? Mau suka sama siapa kek itu urusan gua, Devita ... lagian gua juga nggak pernah ngekang lo, 'kan?" Devita terdiam, ada benarnya juga. Ia sadar, hanya sebatas teman bersama Devid selama ini. Namun, tidak sadarkah lelaki itu? bagaimana sikapnya? Ah, Devita enggan memikirkan sesuatu yang pasti membuatnya stres. Ia hanya menggeleng lemah, lalu menatap jalanan di luar yang lenggang, sedangkan di dalam mobil Bram, Acha menimang keberatannya karena foto profil yang dipasang Bram. Bukan masalah besar memang, tetapi bisa kalian bayangkan, orang-orang pasti menganggap mereka berpacaran, bukan? Sampai, jalan menuju kosan sudah mulai mendekat. Oke, Acha memberanikan diri berkata, "Ini bukan masalah besar, sih, Bram, tapi gua kepikiran mulu." Bram melirik Acha sekejap lalu kembali ke depan. "Ngomong aja, apaan emangnya?" Kedua jemari Acha seperti biasa, memilin apa pun yang ada di sekitarnya. "Kenapa foto profil WA lo pake foto kita berdua?" Lama, Bram menyerap pertanyaan Acha untuk ia jawab. "Oh, itu ... cuma buat ngetes si Devid aja, dia bereaksi kayak apa nantinya, gitu," jelasnya, tampang Bram terlihat kaku dan tidak meyakinkan. Acha mengangguk saja. "Oke, kalo emang niatnya kek gitu, tapi lo pernah mikir lagi, gak? Nanti, semua orang nganggap kita emang pacaran, padah—" "Percaya, Cha," sela Bram. Mobilnya sudah menepi tepat di depan gerbang kosan. "Itu cuma buat mancing reaksi Devid," ulangnya. "Memancing? Percuma, Bram, dia belum tahu siapa gua. Kalo, dia memang inget pasti raut wajahnya kayak nahan emosi sama kek dipura-purain gak kenal, dia belum tahu gua siapa. Jadi, gua butuh pertolongan lo cuma bisa mengingatkan Devid kembali ke masa lalu." Acha menjeda. "Bukan ngetes, dia bakal cemburu atau enggak." Percakapan itu menjadi akhir, Acha menolak Bram untuk membantunya berjalan sampai gerbang, mengingat lututnya yang cedera. Sampai di ambang pintu gerbang, kaca mobil Bram menurun terbuka, lalu melambaikan tangannya siap melaju kencang. Wajahnya kentara memikirkan percakapan barusan, hingga mobil itu melaju hilang tidak terlihat lagi, dengan hati-hati Acha melangkahkan kaki. Carrier yang sangat berat, membuat lututnya semakin terasa sakit. "Ganteng doang, nganterin cewek depan gerbang!" Acha mendongak, mendapati Ardila menahan tawa. Jadi, tadi dia sempat melihat Bram mengantarkannya? Ah, biarlah memang kenyataannya demikian. "Terus dia harus nganter gua sampe kamar?" balas Acha, seraya membanting carrier beratnya. "Ambilin, berat tuh! Kaki gua cedera," titah Acha dengan polosnya. "Dih, nyuruh," protes Ardila. Namun, ia menurut saja. Toh, cara berjalan Acha memang terlihat aneh. "Lucu aja gitu, ngapain lo ngurusin perasaan gua? Mau suka sama siapa kek itu urusan gua, Devita ... lagian gua juga nggak pernah ngekang lo, 'kan?" Rasanya, kek pengen hujat si Devitaaa. Ya ampun mimin sampe ngulang² nih ucapan si Ayang wkwk
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD