06. NABRAK DOSEN

1252 Words
"Gagal sekali bukan berarti arti berhenti. Akan ada harapan lagi, nanti dan esok hari." Acha Ruangan bernuansa putih itu terlihat bersih dan harum wangi menyegarkan dari arah pendingin ruangan. Bukan hanya omongan saja, memang kampus favorit penuh otak cerdas, disiplin, juga memiliki ruang nyaman untuk berpikir. Beberapa bangku berjejeran rapi, ditempati oleh calon mahasiswa yang telah bersiap mengikuti sleksi sekarang. Dari arah depan, Acha berjalan mantap mengedarkan pandangan menatap satu per satu orang di sana, sampai memutuskan duduk di bangku paling pojok. Seorang perempuan tepat berada di depan membalikam tubuhnya, tersenyum simpul lalu berkata, "Udah ngasih formulir pendaftaran?" Acha mendongak, mengernyit kebingungan. "Belum, ke mana ngasihnya?" tanyanya. "Lah, tadi dosen ... kalian tabrakan di ambang pintu!" balas perempuan bermata sipit itu. "Oh, itu. Jadi, gua harus ngapain nih?" "Ke kantor aja, soalnya sekarang sleksi mau dimulai takutnya elo enggak kehitung kan belum ngasih formulir," jelasnya seraya menyodorkan tangan. "Gua Wirda, salam kenal, ya." "Acha, makasih infonya." Mereka pun berjabat tangan, tak lama Acha memutuskan keluar dari ruangan mencari kantor yang pastinya harus ada dosen tadi. Di luar, suasana masih sama penuh beberapa calon mahasiswa. Ada juga mahasiswa yang sibuk dengan tugas, terlihat dari jas almamaternya. Keren, pikir Acha. Ia berharap bisa diterima, selain ada kesempatan mencari keberadaan Devid di sekitar, memilih berlama-lama adalah kesempatan. Sampai, tubuh mungilnya menghadap sebuah papan peta, di mana keseluruhan sudut ruangan berada di sana beserta nama ruangannya. Acha segera mengeluarkan ponsel, menangkap peta itu dengan kamera. Setelahnya, mengikuti arahan akan menuju kantor para dosen berada. Sepanjang perjalanan, kebanyakan sedang menundukkan kepala, entah itu menulis ataupun memainkan ponsel. Sampai di depan pintu yang dituju, Acha melongok ke dalam. Penuh dengan orang-orang pintar, kebanyakan sudah tua. Mengenakan setelah kemeja putih dan bawahan hitam. Tak perlu banyak waktu, orang yang dicari tiba-tiba datang menghampiri, tetapi melewati Acha begitu saja, dengan cepat dikejarnya lelaki berkacamata itu. "Maaf, Pak!" seru Acha, berusaha menghentikan langkah lelaki di depan. Seketika, tubuh tegap itu memutar, menyipitkan matanya. "Ada yang bisa saya bantu?" "S—saya mau memberikan formulir pendaftaran. Dari Sastra Indonesia," jawab Acha. "Sebentar, kamu yang tadi saya tabrak, ya?" tebak Arga, mengingat kejadian tadi, tiba-tiba ia tertawa. "Haha! Kamu pendaftar terakhir, berikan formulirnya." Raut wajah Acha sudah tak bisa diartikan lagi, ia merasa aneh dan entahlah mengapa harus tertawa? Pikirnya, setelah diserahkan formulir itu Arga membacanya sekejap, hanya deretan nama gadis di depannya saja. "Saya Arga, yang akan mengajar khusus Sastra Indonesia." Arga memperkenalkan dirinya. "Kamu telat datang. Jadi, beberapa penuturan singkat tertinggal." "Maaf, Pak, padahal saya sudah masuk dengan jam yang tepat. Apa jadwalnya dirubah, ya?" Arga mengedikkan bahu. "Kamu kesiangan, ya memang kampus kita selalu menerapkan di jam awal, bukan yang telah ditentukan. Karena jika sudah pada datang dan hanya satu orang telat, untuk apa menunggu? Lebih baik ia ditinggalkan." Acha merasa lelaki di depannya itu memang menyindir dirinya, ia pun undur diri pamit, tetapi Arga segera mencegah agar mengikutinya ke sebuah ruangan. Sebagai hukuman karena telat datang, Acha tak bisa menolak biarkan menjadi pelajaran di mana sebagai mahasiswa di sana jangan tepat waktu, tapi awal sebelum waktu ditentukan. Pintu bercat putih itu terbuka, memberikan jalan untuk mereka, masuk ke dalam langsung disambut berjejeran buku-buku rapi. Arga menghampiri sebuah lemari kayu, mengeluarkan beberapa lembar kertas sleksi. Dirasa Acha tak berada di sisinya, ia pun berbalik benar saja, Acha sudah membuka sebuah n****+ mencium dalam-dalam harumnya dan tertawa kecil. Lelaki itu sedikit mengernyit. Ia pun menghiraukan kelakuan calon mahasiswanya, sampai lembar sleksi sudah berada di tangan. "Tolong bawakan laptop saya," titah Arga sambil melangkah melewati Acha. Seketika, Acha berbalik mendapati Arga yang membawa beberapa lembar entah apa isinya. Ia pun dengan cepat menurut, untung saja laptop milik lelaki itu berada di dekatnya. Mereka segera keluar, menghirup udara segar, melewati beberapa mahasiswa. Tak pernah disangka oleh Acha, ternyata Arga sangat digandrungi para perempuan di sana, mulai hanya berbasa-basi sampai Acha merasa bosan, tak lupa mengajak makan siang bareng. Dilihat dari wajahnya, memang Arga tak dapat berbohong. Darah muda lelaki itu terpancar, dari kedua pipi memiliki lekukan seperti Afgan. Jangan lupakan kacamatanya pula, hingga memang tubuh atletis itu membuktikan juga. Mungkin selalu berolahraga? Tak ada jawaban tentunya karena Acha tak berani bertanya, baru disadari ia menilai dosennya sendiri. Selanjutnya, ruangan yang tadi ditinggalkan sudah Acha masuki lagi. Ia siap berkutat di belakang, mengerjakan ulangan—penentu keberhasilan. "Terima kasih atas bantuannya." Seperti biasa, Arga yang ramah bisa menyamankan orang di dekatnya. "Sama-sama, Pak." Acha segera berlari kecil, melewati beberapa bangku lalu duduk bersiap, mengeluarkan pensil dan papan sebagai teman berpikirnya nanti. Diberikan waktu untuk menghapal materi sekitar sepuluh menit. Selanjutnya, kertas yang tadi Arga bawa sudah tersebar sampai di tangan Acha juga. Ruangan kembali sunyi, terlebih dahulu doa dipanjatkan. Mengharap sleksi berjalan lancar. Sudut mata Arga bersiap, mencatat calon anak yang menyontek atau bertukar jawaban. Tak bisa terhindarkan, wajah mungil Acha menjadi pendaratan paling sempurna. Matanya tak bisa berpaling lagi, ada apa dengannya? Arga menunduk, mengacak rambut belakangnya, merasa konyol. Satu jam dua puluh menit sudah berlalu. Kini kertas sleksi harus dikumpulkan, ternyata semua peserta aman tanpa ada yang bisa membangkitkan emosi. Walaupun terlihat muda dengan usia menginjak 22 tahun Arga tetap sebagai dosen, patut keras kepada siapa pun pelanggar di sana. Dikenal paling muda di antara dosen lainnya, jangan lupakan meskipun banyak wanita mendekati sampai mahasiswa, ia masih mempertahankan kesendiriannya. Karena belum menemukan perempuan yang tepat. Entah kapan berakhirnya. Pengumuman tentang kelolosan akan dikonformasi lewat e-mail masing-masing, termasuk mengikuti sleksi langsung. Acha mengangguk mantap. Jadi, ia harus siap membaca lewat ponselnya. Penghuni ruangan pun keluar, beberapa mulai mengajak ngobrol Arga berbasa-basi. Seperti yang lain, dosen Sastra itu masih muda, sendiri lagi. Jangan disia-siakan. Tentu saja Acha tahu rumor itu, tetapi masuk ke Sastra Indonesia tujuannya hanya satu menggapai mimpi dan harus mrunemukan Devid di UI. Setelah berpamitan kepada Wirda yang baru dikenal, Acha mulai menjalankan misinya. Menghampiri fakultas di mana Devid akan menjadi reporter nantinya. Tak butuh waktu lama, Acha sekarang bisa melihat kerumunan yang menuruni anak tangga. Ya, di atas adalah kelas Devid berapa, sesuai peta. Acha tersenyum senang, segeralah berlarian mendekati jalur yang akan semua orang lewati setelah turun dari sana. Terdapat beberapa bangku yang biasa digunakan makasiswa bersantai, sedangkan tak jauh dari sana sebuah kolam ikan berbagai macam warna hidup aman. Tak sabar, wajah yang akan ditemukan pasti berada di barisan sana. Harap-harap cemas, sampai barisan para lelaki sudah tak lagi ada. Acha mengerutkan kening, mungkinkah Devid pulang terlebih dahulu? Atau masih di kelas? Lebih baik menanti saja, Acha tak mengalihkan pandangannya selain ke arah tangga di depan. Pasti, nanti akan ada suara sepatu terakhir manusia yang dinantikan. Benar saja, suaranya terdengar menggema, Acha sudah berdiri tak sabar. Sampai, tubuh gempal seorang lelaki berkemeja putih kotak, menatapnya heran dan berakhir tersenyum kecil. "Sedang menunggu seseorang?" tanyanya. Acha mengangguk kaku. "I—iya, Pak." Lelaki berjenggot itu mengangguk, lalu menatap ke arah tangga. "Di atas sudah kosong, tak ada calon mahasiswa lagi," ucapnya menerangkan. "Begitu, ya, Pak." Baru awal, Acha percaya Devid sudah pulang sebelum dirinya datang. Acha segera berpamitan, tak lupa mencium punggung tangan lelaki itu. Sampai di luar area kampus, ia memicingkan mata, di mana Devid? Pertanyaan yang sama, di saat hidup tanpa lelaki itu lagi. Menghirup udara panjang, pasrah dengan awal pencarian yang gagal total. Seketika Acha menghentikan langkahnya, ia menertawakan dirinya. Bodoh, seorang Devid takkan menyia-nyiakan pendaftaran online. Jadi, sudah dipastikan Devid takkan datang. Kembali semangat menemukan Devid, Acha pun bersenandung ria bersiap menanti kabar kelolosannya. Tak lupa manusia paling konyol yang ada di kehidupannya. Next, guys ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD