07. DEV, DI MANA?

1224 Words
"Ribuan tanya dan harapan terjawab akan sangat sulit. Kala, kesempatan yang diberikan telah disia-siakan hingga meninggalkan bekas, sebuah penyesalan." Mencari seseorang di tempat yang baru kita singgahi itu tak gampang. Bagaimana semua komunikasi terputus tanpa ada alasan. Acha masih bingung dengan semua skenario setelah kepergian orang paling dekat dengannya. Mengapa harus pergi tanpa memberi jejak? Sampai nomor ponsel Dinda pun sama-sama tak bisa dihubungi. Namun, Acha tetap berpikir positif, mungkin keluarga kecil itu memang akan memulai hidup baru tanpa masa lalu. Sekejap, Acha berpikir. Apakah mereka akan menerimanya? Setelah lama tak jumpa, bisa saja dirinya berpengaruh akan masa lalu yang tak diharapkan itu? Jangan lupakan, bagaimana soal tabrakan. Di mana, ia tak menemani Dinda saat berada di rumah sakit. Wujudnya hilang, padahal selama hidup Devid akan selalu ada di sampingnya. Mungkinkah memancing kecurigaan? Ketakutan mulai menyelimuti, jika seseorang tahu maka kebencian akan ia rasakan nanti. Di bawah pohon rindang, semilir angin pagi terasa menyegarkan. Hari ini, perempuan dengan rambut sebahu menunduk—menunggu harapan yang dinantikan. Layar laptop sudah menyala, apakah e-mail masuk jawaban penolakan atau penerimaan? Jantung berdebar menjadi teman karena selama di kosan, Acha tak pernah bergaul dengan penghuni lain. Maka, sendirian adalah konsekuensi. Jam tangan yang melingkar sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Takkan lama lagi, sampai suara notifikasi datang membuat Acha semangat membuka. Di sanalah, deretan huruf terangkai, berakhir coretan besar menjelaskan. Bahwa Acha benar-benar lolos masuk Universitas Indonesia. Tak ada orang yang harus ia peluk karena rasa syukur, lagi-lagi ia hanya memejamkan mata berterima kasih kepada Tuhan telah mengabulkan permintaan. Sinta? Ia takkan tahu segala tentang anaknya, lebih baik bekerja dan menerima uang adalah hidupnya. Kini, tujuan pertama sudah terpenuhi, sisanya tinggal menunggu nanti akankah Devid berada di sana pula? Acha yakin, lelaki itu pasti lolos, bulir air mata menetes begitu saja. Apakah Acha siap menatap wajah paling ia rindukan? Apakah ia siap memendam rahasia tentang keberadaannya waktu di TKP bersama hujan? Hanya bisa diam, menyaksikan Reina menjerit histeris karenanya. Rasa penyesalan harus kembali menyiksa, siapa pun manusia yang memiliki rahasia, hidupnya terasa diintai, ditunggu angkat bicara tentang kebenaran. Karena tak ada lagi alasan untuk diam di sana, Acha kembali melangkahkan kaki menapaki jalan beraspal. Menatap sepasang kekasih tertawa ceria di bawah guyuran air mancur, saling menyuapkan secuil makanan ringan, sampai berlarian. Ya, semua bisa dirasakan jika ada Devid di sampingnya, tetapi itu dulu. Sekarang, ia sendiri harus mencari lelaki itu. Anehnya, mengapa selama ini Devid enggan menemuinya? Apa mungkin sudah tahu tentang dirinya waktu kecelakaan dan memilih diam? Dipastikan Devid pasti benci lalu tak ingin bertemu lagi? Mengapa dan mengapa. Otak Acha bertanya, harus ke mana ia mencari? Tidak, semua akan terjawab kala masuk kampus nanti. Sampai di depan gerbang kosan, bayangan Devid segera hilang tergantikan oleh keberadaan Sinta yang mencoba menghindari terik matahari pagi. Tak ingin bertemu adalah jawabannya. Namun, bagaiamna? Ibu paling tak diharapkan sudah ada di depan. Acha mendekat, dengan wajah ditekuk tak enak. Sinta pun menyunggingkan seulas senyum, pastilah dibuat-buat, terlihat rautnya sangat terpaksa. "Dari mana, Cha?" Pertanyaan biasa, tetapi Acha sangat malas menjawabnya. "Taman, mau ngapain ke sini?" Tentu saja langsung ke inti karena seorang Acha takkan berbasa-basi hanya untuk memperpanjang waktu pertemuan. Sinta sedikit mengedikkan bahu. "Mama punya teman tak jauh dari kampus kamu, katanya dia udah lama di Jakarta. Cuma ... mama baru tahu sekarang." Jadi? Acha tahu kesimpulannya. "Gak usah, di sini juga aman enak kok," tolak Acha. "Bukan soal enak menurut kamu, tapi mama khawatir kenapa-napa. Kalo di sana, pasti temen mama ngabarin keadaan kamu terus," balas Sinta, terus memancing Acha agar mau pindah. Acha mengembuskan napas kasar, harusnya setelah umur dewasanya ini Sinta dipersilakan diam saja. Jangan mengurusi hidupnya, apalagi tentang tempat tinggal. Untung bukan di kolong jembatan, ini masih di tempat layak huni. Sekali lagi, Acha menolak ajakan 'Menghuni' rumah teman. Intinya nebeng, mau jadi apa dia? Lebih baik bersusah payah di sini, dibanding menahan malu tak ada ikatan kerabat. Oh, itu sangat bukan Acha namanya. Tanpa mendengar kata-kata mutiara mamanya, Acha segera naik ke atas, menutup pintu diam di baliknya. Dari gelagat yang diberikan. Bukan khawatir kepada anak semata wayang, tetapi sulit mengikhlaskan uang sebagai pembayaran kosan. Benarkah? Itu yang ditangkap Acha selama mamanya memang tak mengizinkan, terasa sulit ia tak mungkin bekerja, sedangkan tugas kuliah pasti akan banyak dan itu adalah jalan masa depannya. Ia memilih membaringkan tubuh di ranjang kecil, menatap langit-langit kamar yang coraknya tak sama dengan kamar di rumah sana. Entah ke berapa kali. Rasanya Devid berada di samping, suara dan gelak tawa itu masih terngiang, terekam jelas bahwa semua takkan lupa begitu saja. Acha menyalakn ponselnya, mendapati potretan lalu. Di mana semua memori masa lalu masih tersimpan aman. Tanpa sadar, Acha memilih foto paling ia ingat waktunya, 'Party SMP' menjadi walpaper layar depan. Jas hitam dan rambut hijaunya. Sungguh, lelucon Devid memang aneh, sedangkan dirinya terlihat beda karena polesan make up di wajah, tak lupa kebaya hijau tua pula. Tiba-tiba, layar ponsel menampilkan sebuah foto di saat Reina dan Richard ada bersamanya. Kedua bola mata Acha terasa panas, mengingat tatapan Richard waktu lalu, saat kenyataan mengatakan bahwa ia menyukai lelaki itu. Tatapan enggan berdekatan, tatapan jijik karena seolah dirinya yang mengekori. Sampai, tatapan pasrah Reina dengan semuanya. Mereka telah hilang menjauh, pergi tanpa mendengar maaf atas segala kesalahan. Kecewa adalah perwakilan dari kepergian. Semua berakhir, kala nama Devid pula dianggap mati oleh orang-orang. "Gua cinta ama lo, Cha." Ungkapan yang tak pernah diharapkan. Ungkapan, menjadi akhir dari perrtemuan dan rasa menyesal. Bodoh, kenapa Acha harus mendorong lelaki itu? Dan kenapa Acha tak pernah sadar bahwa Devid sakit? Acha menjambak rambutnya kesal, kepalanya mulai pusing saat ingatan mengharuskan kembali kepada ungkapan itu. Dadanya terasa sesak, seolah palu memukul d**a untuk menyadarkan seorang pendosa. Ucapan apa yang akan mengawali pertemuan mereka nanti? Apakah permintaan maaf lalu menjelaskan, bahwa dirinya tak salah? Semua karena merasa dibohongi dan jangan lupakan. Mengapan ada cinta? Kita sahabat, nggak lebih Devid. Lagi, Acha ragu. Jika, dirinya memang tak cinta. Rasa apa selama ini? Enggan ditinggalkan, tak mudah untuk melupakan. Mungkinkah hanya perasaan sang sahabat? Merindu akan semua kehidupan lama? Bukan berarti ia juga sama mencinta? Hari ini. Terlalu berat untuknya, beribu pertanyaan datang, tetapi tak satu pun memiliki jawaban. Karena lelah, Acha memilih memejamkan mata, lelah mengingat kejadian, lelah memikirkam bagaimana awal pertemuan. Aneh, saat dinyatakan lolos ketakutan semakin mencekam. Tatapan mata tajam, kilatan amarah, atau melupa akan segala tentang dirinya? Tak mungkin, mereka terlalu lama hidup bersama, mustahil bisa terlupa begitu saja. Catatan harian Acha, besok waktu paling tepat, semua mahasiswa akan berkumpul dalam satu tempat. Tak sulit menemukan lelaki pemilik wajah unik. Yang, katanya mirip Ari Irham tapi diralat menjadi Zeyn Malik. "Hahaha! Dasar changcuterss, sini foto ama Zeyn Malik!" seru Devid mengalungkan lengan kirinya menarik pundak Acha. Harusnya ia meminta tangkapan layar di ponsel Devid, tetapi tak ada waktu. Hingga berakhir pasrah akan keadaan. Diiringi bayangan tentang lelaki itu, Acha terlelap dengan napas teratur. Di luar sana, celotehan bayi dan penggosip di pagi hari menjadi satu. Kesatuan yang mempertemukan penggosip lainnya. Jauh di balik bangunan tua. Lelaki pemilik alis tebal sedang tertawa lepas, bersama perempuan yang memiliki bibir mungil kemerahan. Memetik gitar dan bersenandung di sebuah ruangan kecil, yang selama dua tahun ini menjadi ruang favorit mereka. "Bukan ... kuingin merebutmu dari sahabatku .... Namun, kau tahu ...." "Cinta tak bisa, tak bisa kau salahkan ...." Siapa yang nyanyi, guys
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD