HAPPY READING
***
Tepat jam lima pagi Ova menyempatkan diri untuk berolah raga keliling komplek. Ia ingin menghirup udara segar sambil melihat kanal komplek. Ia harus tahu track recod komplek ini, komplek elit ini sangat bagus untuk berolah raga, sangat disayangkan jika ia tidak memanfaatkannya untuk berolah raga. Padahal fasilitasnya sangat lengkap mulai dari area bermain anak, kanal untuk mencuci mata dan keamanan yang baik.
Komplek yang asri penuh dengan pohon rindang merupakan impian semua orang tinggal di sini. Hanya orang-orang menengah ke atas yang mampu membeli satu kapling rumah. Ia yakin satu rumah saja dihargai dengan fantastis. Lihat saja bangunan rumah-rumah megah berjejer dan saling berhadapan satu sama lain. Mobil-mobil mewah terparkir di halaman rumah.
Jogging seperti ini merupakan salah satu aktifitas olah raga yang ia sukai. Aktifitas lari santai bermanfaat bagi kesehatan tubuhnya, meski terlihat sederhana namun dapat membakar lemak dan menjaga kesehatan jantungnya. Rute komplek ini sangat nyaman untuk berolahraga sayang disayangkan jika ibu-ibu komplek tidak melakukannya.
“Selamat pagi pak,” ucap Ova melewati depan pos security.
Security itu tersenyum kepada Ova, “Selama juga mba. Warga baru sini ya mba?” Ucapnya, soalnya ia baru melihat wanita itu.
“Iya, saya tinggalnya di rumahnya pak Victor,” ucap Ova enggak enak rasanya jika mengabaikan ucapan security.
“Pak Victor, yang punya pabrik furniture itu ya mba.”
“Iya,” ucap Ova tersenyum ramah sambil berlari kecil, namun security itu mengejarnya berlari kecil.
“Mba kapan pindah ke sini?”
“Kemarin lusa sih pak.”
“Istrinya pak Victor ya mba?” Ucapnya to the point.
“Enggak, bukan maksud saya, saya kerja sama pak Victor.”
“Mba becanda ya,” ucap security itu tertawa.
“Udah lapor belum mba, sama pak RT?”
“Belum pak. Mungkin nanti saya lapor.”
“Semangat mba olah raganya, saya ke rumah pak Utama dulu” ucap security berbelok ke arah rumah berpagar tinggi itu.
Ova menghentikan langkahnya. Ia melihat ibu-ibu komplek keluar dari rumah, karena ada pedagang sayur yang berjualan di dekat rumahnya. Awalnya satu orang muncul membeli sayur dan dilanjutkan dengan beberapa ibu lainnya.
Ova melangkah mendekat dan tersenyum, tidak enak rasanya jika ia membuang muka. Ia tahu bagaimana adab sopan santun. Ibu-ibu itu membalas senyuman Ova.
“Warga baru ya bu?” ucap ibu-ibu mengenakan pakaian tidur berbahan satin, dia terlihat masih muda dan wajahnya terawat. Ia mencoba berpikir, wajahnya sangat tidak asing, mengingatkannya pada wajah salah satu artis Indonesia yang pernah ia tonton.
“Iya, saya tinggal di rumah pak Victor,” ucap Ova ramah.
“Pak Victor yang punya pabrik itu, yang sering bolak-balik New York. Istri pak Victor ya bu?” ucapnya to the point.
“Kenalin saya, Feli yang punya Scarley whitening,” ucapnya mengulurkan tangan kepada Ova.
Ova tidak menyangka bahwa ia bisa berkenalan dengan wanita bernama Feli, pemilik dari Scarley whitening.
“Saya Jovanka, panggil saja Ova,” ucap Ova, ia membalas uluran tangan itu.
Ia tahu betul bahwa Feli adalah pendiri produk skincare. Namanya tidak asing, pemeran di salah satu sinetron dunia jungkir balik. Ia tidak menyangka bahwa gadis muda itu tinggal di sini. Ia ingat betul pernikahan mereka disiarkan di TV dengan meriahnya.
“Ah ya, saya kenal artis itu ya,” ucap Ova.
“Iya,” ucapnya tersenyum memilah wortel yang gemuk-gemuk.
Ova memandang ada beberapa ibu-ibu berdatangan ke gerobak sayur. Mereka tersenyum kepada Ova.
“Wah ada warga baru ya?” ucap ibu-ibu mengenakan daster kuning, rambut panjangnya tergulung ke atas, wajah-wajah wanita di sini sangat terawatt dan cantik-cantik menurutnya.
“Iya bu. Ini istrinya pak Victor, yang punya furniture itu,” ucap Feli tertawa.
“Owh, istri pak Victor. Saya Jesi, istri pak Anis.”
Ova memandang Jesi mengulurkan tangan kepadanya dan ia membalas uluran tangan itu.
“Ibu Jesi itu yang suaminya pemain bola terkanal itu bu Ova. Ibu anis punya bisnis tas branded itu.”
“Salam kenal ibu Jesi,” ucap Ova.
“Denger-denger pak Victor dan ibu nikahnya di New York ya bu. Karena sering bolak balik Jakarta - New York.”
“Gimana pak Victor, udah balik ke Jakarta ya bu Ova?” Tanya ibu satunya.
“Udah bu,” ucap Ova tenang.
“Ternyata cantik banget ya istri pak Victor.”
“Iya cantik banget, keturuan arab ya bu?”
“Oiya bu, kita ada buka arisan baru. Ibu Ova mau ikut nggak?”
Ova menarik nafas, ia bingung ngomong mulai dari mana, bahwa tanggapan mereka salah. Ia bukan istrinya Victor.
“Saya tanya pak Victor dulu bu, enggak enak soalnya kalau nggak ditanya.”
“Ikut aja bu Ova, hitung-hitung nabung, ivestasi gitu dapatnya lumayan bu,” ucap bu Feli lagi.
“Arisan apa bu?”
“Kita arisan uang bu, baru buka. Kebetulan pembukaanya besok di rumah bu Feli.”
“Berapaan bu arisannya?” Tanya Ova penasaran.
“200 an bu, jumlahnya 10 orang. Ditambah ibu Ova ikut jadi 11 orang, jadi lumayan dapatnya, kan pas dapatnya 2M jadi genep gitu.”
“Iya nih, biar dapatnya 2 M. Nanggung juga kemarin hitung dapat 1,8 M. Nggak lama kok bu cuma 11 bulan, kita juga ada uang iuran arisan 20 juta, jadi siapa yang dapat arisan nanti dapatnya double dapat uang arisan 2 M dan iuran buat makan 200 juta.” ucap Feli terkekeh.
Ova nyaris menganga mendengar kata 2 M, berarti satu orang arisan 200 juta, terus uang iuran 20 juta. Seketika kepala Ova pusing tujuh keliling saking shocknya mendengar arisan seharga fantastis. Uang segitu bisa beli mobil Avanza satu.
“Ayo bu Ova, ikut aja.”
“Eh, ada ibu RT, belanja bu,” ucap bu Jesi.
“Iya nih, mau beli timun bu.”
Bu RT memandang Ova, wanita itu mengenakan legging elastis berharna hitam dan tang top berwarna senada, “Warga baru ya bu.”
“Iya bu, ini namanya bu Ova, istrinya pak Victor,” sahut bu Jesi.
“Istrinya pak Victor yang punya pabrik furniture itu.”
“Iya bu, tetangga kita, yang sering bolak-balik New York. Ini istrinya,” ucap bu Feli, sambil mengelus perutnya.
“Ayo, Ibu Ova ikut arisan kita, besok,” sahut bu RT.
“Ayo bu Ova, ikut aja. Hitung-hitung cari temen. Pak Victor pasti setujulah kalau ibu Ova ikut arisan.”
“Baik bu, saya bilang dulu sama pak Victor. Mari bu saya tinggal,” ucap Ova meninggalkan ibu-ibu itu.
Ova lalu berlari meninggalkan ibu-ibu yang sedang berbelanja itu, sebelum seluruh ibu-ibu komplek ini keluar dari rumahnya. Oh, God, sebenarnya ini komplek apa, kenapa arisan gila-gilaan seperti ini. 200 juta? Apa 200 juta sekarang nggak ada artinya lagi. Mereka pikir 200 juta itu gampang nyarinya. Gila aja ! Dapat arisan harganya 2 M, ya ampun uang segitu gimana nyarinya?. Sumpah gokil banget nih komplek. Ia masih shock hingga tidak bisa berkata-kata.
Ova masuk ke dalam rumah, ia lewat dari pintu samping dan meletakan sepatu ketsnya di rak sepatu. Ia menuju dapur lalu mengambil air mineral. Ia meneguk air mineral untuk melepas dahaga. Ova melirik jam di dinding menunjukan pukul 06.11 menit. Ia menyapu rumah setalah itu ia pel dengan pewangi lantai. Tidak lupa ia membuka pintu ruang tengah di dekat kolam, agar rumah ini dapat sirkulasi udara yang baik.
Setelah menyapu dan mengepel, Ova lalu naik ke atas menuju kamar Victor. Ia masih kepikiran tentang arisan 200 juta. Siapa yang punya ide gila itu? Apa motivasi mereka mengadakan arisan sebanyak itu? Sumpah parah banget, bisa gila lama-lama kalau ngumpulnya sama ibu-ibu di komplek ini.
Ova membuka pintu kamar, ia memandang Victor di sana, pria itu tidur bertelanjang d**a dengan posisi terlentang dan bedcover menutupi pinggangnya. Ova masuk ke walk in closet, ia akan mempersiapkan pakaian Victor. Ia memandang ke arah rak baju. Ia mengambil kemeja putih dan celana abu-abu. Ia melihat dasi. Apa Victor kerja menggunakan dasi? Ia pikir nggak, karena hanya ke Pabrik. Ova mengambil blezer semi formal berwarna senada dengan celana. Jika hanya pergi ke pabrik, ya seharusnya tidak usah terlalu formal.
Ova menggantung pakaian itu di bagian luar, Victor pasti tau bahwa outfit itu lah yang dia pakek hari ini. Ova melangkah keluar ia memandang Victor masih tertidur. Ova membuka gorden jendela, agar cahaya masuk ke dalam. Ia mengambil pakaian kotor di keranjang. Setelah itu ia melangkah keluar kamar.
Ova lalu turun ke bawah, ia memasukan pakaiaan kotor Victor dan dirinya ke mesin cuci dan ia lalu segera mandi sebelum pemilik rumah ini bangun. Beberapa menit kemudian, Ova memandang penampilannya. Ia mengenakan mini dress floral dengan leher berbentuk V berwarna hitam. Ia berdandan dan mengoles lipstick berwarna nude. Tidak lupa ia blow sebentar rambutnya.
Setelah selesai, ia keluar dari kamar. Jam sudah menunjukan pukul 07.00. Ia mengambil pakaian kotor dan menjemurnya di lantai atas, tempat khusus menjemur pakaian.
Ia warga baru di komplek ini, ia akan inisiatif akan membuat brownies untuk tetangganya di samping dan depan rumah. Meminta maaf, ia tidak bisa ikut arisan super fantastis itu. Ova mengeluarkan bahan-bahan makanan, ia akan membuat brownies.
Ova menarik nafas panjang, ternyata perkumpulan ibu-ibu perumahan elit itu benar adanya. Ia baru tahu tenyata komplek di sini di huni oleh ibu-ibu sosialita, nggak hanya artis saja yang mengadakan arisan dollar, berlian namun ibu-ibu sosialita di komplek elit juga melakukan hal yang sama. Enggak kalah gilanya. 200 juta itu sepuluh bulan gajinya di sini.
Ova menaruh adonan brownies ke dalam loyang dan memasukan ke dalam oven. Breakfast kali ini Ova akan membuat banana pancake. Ova mengocok satu telur, tepung terigu, s**u dan ia kecok hingga mengembang. Lalu ia memanaskan teflon yang di olesi oleh butter. Ia akan menyajikannya dengan toping madu dan blueberry.
***
Victor memandang penampilannya di cermin, kemeja putih dipadukan dengan celana slim fit dan blezer terlihat menarik menurutnya. Selera fashion Ova memang baik, Ia menyisi rambut dan tidak la menyemprot minyak wangi di leher.
Setelah itu ia turun ke bawah. Victor mencium aroma kue yang dipanggang. Victor melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 08.10 menit. Ia memandang Ova di sana, wanita itu mengenakan mini dress floral. Lihatlah betapa cantiknya Ova. Dia sangat cekatan mengeluarkan kue dari loyangnya. Ia memandang ke arah meja makan, pancake dan kopi sudah tersedia.
Ova menyadari kehadirannya dan dia tersenyum. Ia membalas senyuman cantik itu.
“Selamat pagi Ova,” ucap Victor tenang.
“Selamat pagi juga pak.”
“Kamu buat apa?” tanya Victor ia melangkah mendekati Ova di kitchen.
“Saya buat brownies pak, untuk tetangga depan dan samping rumah, soalnya saya warga baru di komplek ini,” ucap Ova tenang.
Victor mengangguk paham, ia mendengar suara bell dari luar. Victor menoleh ke arah sumber suara, “Biar saya yang buka, kamu lanjutin saja pekerjaan kamu.”
“Baik pak.”
Victor melangkah menuju pintu depan, ia membuka hendel pintu. Victor melihat pak RT dan ibu RT tepat di depan daun pintu. Victor memberikan senyuman kepada pak RT. Jujur baru kali ini ia menerima kedatangan tamu pak RT ke, kecuali beberapa tahun lalu ketika ia pertama kali ia pindah di sini.
Pak RT mengenakan kemeja yang di tumpuk dengan dasi dan jas berwarna hitam. Beliau bekerja sebagai HRM di salah satu hotel bintang lima katanya dia memiliki bisnis kontrakan dan kost-kostan di daerah Slipi.
Victor tersenyum, “Pagi pak Utama dan ibu Ani.”
“Pagi juga pak Victor, maaf ganggu pagi-pagi gini,” ucap pak Utama tenang.
“Ah, saya nggak ganggu kok pak,” ucap Victor.
“Ayo pak masuk,” Victor memperlebar daun pintu.
Pak Utama dan ibu Ani masuk ke dalam dan duduk di sofa. Victor lalu duduk di hadapan pak Utama. Ia tidak tahu prihal pak RT datang ke rumahnya.
“Maaf pak sebelumnya, katanya di komplek kita ada warga baru ya? Namanya ibu Jovanka.”
“Ah iya benar pak,” ucap Victor.
“Siapa tamunya,” ucap Ova pelan ia memandang Victor yang menoleh ke arahnya.
“Selamat pagi bu Ova,” ucap bu RT menyadari kehadiran Ova.
Ova mencoba mengingat siapa wanita itu. Ova lalu teringat bahwa dia adalah bu RT, “Selamat pagi juga bu RT,” Ova menyungging senyum.
“Kita di sini minta KTP ibu Ova pak, buat masukin ke data saya.”
“Owh, iya pak, tentu boleh pak. Saya yang belum sempet antar KTP Ova ke rumah bapak. Jadi ngerepotin bapak datang ke sini. Maklum baru pulang dari New York kemarin. Bentar ya pak, saya ambil ke dalam.”
Ova dan Victor masuk ke dalam membiarkan pak RT dan bu RT yang di ruang tamu. Victor memandang Ova dan Ova menatapnya balik.
“Mau dibuatin teh nggak pak?” Tanya Ova.
“Iya buatin aja,” ucap Victor.
Victor mengambil foto kopi KTP Ova yang ia letakan di lemari kamarnya. Lalu ia turun kembali memandang Ova yang sedang menyeduh teh di cangkir. Ia kembali ke ruang tamu, dan duduk ke tempat semula. Ia menatap pak RT dan bu RT.
“Ini pak KTP nya Ova,” ucap Victor menyerahkan kepada pak RT.
“Terima kasih pak. Saya seneng akhirnya bapak sudah menikah dengan ibu Ova.”
Alis Victor terangkat, ia melirik Ova yang membawa nampan berisi dua cangkir teh.
“Aduh, ibu Ova repot-repot banget nyeduhin segala. Kita cuma sebentar di sini.”
“Ah, enggak apa-apa bu.”
“Saya berdoa, semoga pak Victor segera diberi momongan,” ucap pak Utama.
“Saya kaget, kata ibu-ibu komplek, bapak sudah nikah di New York. Katanya istri bapak cantik banget.”
Victor dan Ova saling berpandangan satu sama lain, mereka tidak bisa berkata-kata. Ova yang tadinya berdiri kini duduk di samping Victor.
“Tapi pak … saya,” Ova mencoba menjelaskan. Namun Victor memandangnya dan Ova lalu terdiam.
“Begini pak, kitakan bentar lagi mau mengerayain tujuh belas Agustus. Nah, rencananya kita akan buat rencana untuk outing satu komplek ke Puncak hitung-hitung silatuhrahmi.”
“Kita juga ngadain penggalangan dana buat panti asuhan dan baksos. Saya mengundang bapak Victor dan ibu Ova turut hadir di acara yang kita buat.”
Jujur selama ia tinggal di komplek ini, ia sama sekali tidak pernah ikut dalam kegiatan komplek. Apalagi perayaan tujuh belas Agustus bersama. Ia datang ke rumah ini hanya untuk istirahat.
“Ke Puncaknya tanggal berapa pak?” Tanya Victor.
“Tanggal 18 pak, kita ngadain di Puncak sambil BBQ an. Maklum kalau nggak ada acara gini, kita satu komplek nggak ada yang kenal.”
“Iya bener sih pak.”
“Iurannya berapa pak?” Tanya Victor lagi.
“Kalau untuk outing ini rinciannya pak, rencananya kita sewa Vila puncak pelataran di Cisarua. Satu kepala keluarga lima juta pak, kita rencananya booking satu gedung pelataran isinya 10 kamar. Satu kamarnya 4.2 juta, terus sisanya buat kita beli daging buat BBQ, biar ibu-ibu saja yang atur.”
“Tanggal 18 sabtu ini ya pak?”
“Iya pak. Berhubung bapak udah nikah jadi kita ajak juga.”
“Baik pak, nanti saya transfer aja ya,” ucap Victor ia memandang rincian acara gathering komplek perumahan ini.
“Iya boleh pak, nanti saya kasih nomor rekeningnya.”
“Mari pak di minum teh nya,” ucap Victor.
“Terima kasih pak.”
Ova menyelipkan rambutnya di telinga, memandang Victor membaca brosur acara gethring.
“Ibu Ova saya ajakin ikut arisan juga loh pak,” ucap bu RT.
Alis Victor terangkat memandang Ova, “Owh ya, arisan apa ya bu?” Tanya Victor.
“Itu ikut arisan ibu-ibu komplek. Kita kan satu komplek 10 orang, sama bapak 11 orang. Ibu-ibu sini ngadain arisan 200 an gitu pak. Ibu Feli yang ngadainn. Kalau di tambah ibu Ova kita genep dapatnya jadi 2 M. Lumayan pak dapetnya, uang iurannya 20 juta. Nanti dapatnya double jadi 2,2 M.”
“Ibu Feli yang artis itu?”
“Iya yang punya Scarley skin care itu pak, yang baru nikah kemarin.”
“Hemmm… Iya sih bu lumayan dapatnya.”
“Tenang aja pak, kita semua amanah. Emang dicari orang yang bener-bener mampu.”
Victor memandang Ova, “Kamu ikut aja ya,” ucap Victor lagi.
“Tuh kan bu Ova, bapak aja setuju ibu ikut arisan. Nanti kita masukin ibu ke group ya.”
Ova menelan ludah, ia tidak tahu kenapa semua menjadi kacau seperti ini.
Pak Utama melirik jam melingkar di tangannya, “Mari pak Victor, ibu Ova. Saya buru-buru mau ke kantor, takut telat.”
“Iya pak, saya juga mau ke kantor,” ucap Victor tersenyum.
Victor dan Ova melihat Pak Utama dan ibu Ani keluar dari pintu pagar. Ova menarik nafas panjang dan masuk ke dalam. Ia tidak mengerti dengan komplek perumahan ini yang mengatakan bahwa dirinya adalah istrinya Victor.
“Mereka nyangkanya saya istri kamu loh,” dengus Ova, ia menaungkan air mineral ke dalam gelas.
“Saya juga masih shock denger mereka bilang bahwa kamu istri saya.”
“Jadi gimana nih pak?”
“Udahlah biarin aja.”
***