Bab 19. Harus Memilih

1266 Words
Happy Reading. Maudy gelisah, sungguh hatinya dilema. "Ck, kenapa sih nasib percintaan gue seperti ini!" Kenan bilang jika dia udah ada di Singapura dan akan ke apartemennya. Maudy yakin pasti Kenan mencari tahu di mana apartemennya. Sebenarnya apa sih yang dia rasakan untuk pria itu? Apakah benar kalau dia jatuh cinta? Ataukah hanya karena Kenan itu tampan. Tetapi di sisi lain, ada rasa takut yang begitu besar—rasa takut bahwa jika ia kembali pada Kenan, ia akan terluka lebih dalam lagi. Jadi, bukankah itu artinya dia sudah jatuh cinta pada Kenan? “Maudy, kamu harus berhenti melarikan diri.” "Sampai kapan kamu bersikap kekanak-kanakan!" "Pokoknya kali ini kamu harus nurut sama Mama, titik nggak pakai koma!" Suara ibunya kembali menghantui pikirannya, membuatnya sangat terganggu. Dengan segenap kekuatan, Maudy berdiri, mengambil tasnya, dan pergi keluar dari kamar. Ia tak ingin lagi berlarut-larut dalam kebingungannya. Maudy akan jalan-jalan saja, menghabiskan waktu liburan yang tinggal beberapa hari lagi. Namun, saat dia membuka pintu apartemennya, ada seseorang berdiri di sana. “Maudy...” Suara Kenan bergetar. “Aku udah di sini.” Maudy berdiri mematung di depan pintu apartemennya, wajahnya pucat seolah tak ada darah yang mengalir. Kenan ada di depannya, dengan sorot mata penuh harap. Tapi ia hanya bisa merasakan badai di dadanya yang terus mengguncang. Bagaimana mungkin seseorang yang ia cintai ini hadir di tengah keputusasaannya, saat segalanya terasa begitu rumit? “Kenan...” suara Maudy bergetar, hampir tak terdengar. Tiba-tiba matanya memanas, Kenan benar-benar datang. Akhirnya satu tetes air mata lolos, tangisnya tak mampu ia tahan lagi. Dari kemarin Maudy menahan segala sesak di dadanya. Kenan melangkah mendekat, suaranya rendah, matanya terlihat memohon. "Maudy, jangan pergi. Aku nggak tahu apa yang Raya bicarakan padamu, aku tahu pasti dia sudah mengirimkan pesan yang tidak-tidak, tapi tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan.” Maudy memalingkan wajah, menatap lantai yang dingin. Kata-kata Kenan seperti duri yang menusuk hatinya. Ia ingin percaya, ingin sekali memercayai pria ini. Tetapi kata-kata Raya masih terngiang-ngiang di dalam kepalanya. “Aku lelah, Kenan,” bisiknya akhirnya. “Aku lelah dengan semua ini." Kenan meraih tangan Maudy, menggenggamnya dengan lembut, seolah takut ia akan pergi lagi. “Maudy, aku meninggalkan Raya karena aku sudah tidak mencintainya lagi, hatiku sepenuhnya untukmu. Kamu bukan pelarian, aku benar-benar jatuh cinta padamu." Kalimat itu menghantam Maudy seperti gelombang besar. Ia menatap Kenan dengan mata penuh air mata. “Lalu, setelah ini apa? Kamu pikir aku bisa begitu saja mempercayainya? Yang kamu cintai itu Raya, Kenan. Kalian bersama udah lama, bertahun-tahun. Tidak mungkin kalau kamu begitu cepat melupakannya!" Kenan menghela napas panjang, tatapannya melembut. “Aku tidak minta kamu untuk langsung percaya, Maudy. Aku hanya minta kamu memberi aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku tahu pasti sulit untukmu percaya kalau aku memang mencintaimu. Tapi aku akan buktikan. Kita nikah, aku nggak peduli bagaimanapun tanggapan ibumu, tapi aku akan menjadikanmu milikku dengan ikatan yang sah." Maudy menggeleng pelan, menarik tangannya dari genggaman Kenan. “Aku ngga tahu, Kenan. Aku benar-benar nggak tahu.” *** Di Jakarta, suasana di apartemen Raya terasa mencekam. Wanita itu berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun merah menyala yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas menghiasi bibirnya, tapi sorot matanya penuh dengan rencana licik. “Kenan benar-benar berpikir dia bisa meninggalkanku begitu saja?” gumamnya sambil memoles lipstik merah di bibirnya. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.” Andre, yang duduk di sofa sambil memutar segelas anggur, menatapnya dengan malas. “Raya, kenapa kamu tidak biarkan saja dia pergi? Bukankah kamu sudah punya aku?” Raya berbalik, menatap Andre dengan dingin. “Kamu tidak mengerti, Andre. Citra itu penting. Aku adalah pasangan pilot tampan dan sukses. Apa jadinya kalau orang tahu aku ditinggalkan?” Andre mendengus, meletakkan gelasnya. “Raya, kamu terlalu terobsesi dengan apa yang orang lain pikirkan. Kenan sudah tidak peduli padamu lagi.” Raya tersenyum sinis, mendekat ke arah Andre. “Dia akan peduli, Andre. Aku akan memastikan dia kembali padaku. Atau aku akan membuat hidupnya hancur.” Andre mengangkat alis, sedikit tertarik. “Oh, ya?” Raya berjalan ke meja, mengambil selembar kertas yang ia siapkan sebelumnya. “Aku tahu beberapa pelanggaran etika yang pernah Kenan lakukan di maskapai. Jika dia terus mendekati Maudy, aku akan melaporkannya.” Andre terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Kamu benar-benar tidak kenal belas kasihan, ya?” Raya mendekat, menyentuh wajah Andre dengan ujung jarinya. “Belas kasihan hanya untuk orang yang lemah, Andre. Aku tidak akan kalah. Tidak dari Maudy, dan tidak dari siapa pun.” *** Di bandara, Kenan duduk di ruang tunggu, wajahnya terlihat lelah. Pesawatnya menuju Jakarta akan berangkat dalam satu jam, tapi pikirannya terus melayang pada Maudy. Ia merasa seperti sedang kehilangan segalanya, meskipun ia belum benar-benar mencoba merebutnya kembali. Maudy tidak mau memberikannya kesempatan. Maudy mengatakan kalau dia tidak mau terseret dalam permainan cinta itu. Katanya cinta itu luka, bukan bahagia. Kenan benar-benar frustasi, tetapi dia tidak bisa terus berada di Singapura saat dia mendapatkan telepon dari perusahannya. Saat sedang memikirkan Maudy, ponselnya bergetar, menampilkan nama Raya di layar. Kenan menghela napas berat sebelum akhirnya mengangkatnya. “Ada apa, Raya?” suaranya dingin, penuh ketegangan. “Kenan, aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa aku masih punya banyak hal yang bisa menghancurkanmu,” kata Raya dengan nada santai, tetapi penuh ancaman. “Jangan pikir kamu bisa lari begitu saja.” “Apa maksudmu?” Kenan bertanya tajam. “Aku tahu tentang pelanggaran etika yang kamu lakukan di maskapai. Jika kamu terus mendekati Maudy, aku tidak akan ragu untuk melaporkannya.” Kenan mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Raya, kamu tidak punya hak untuk mengatur hidupku.” “Oh, aku punya lebih banyak hak daripada yang kamu kira, Kenan,” balas Raya. “Jadi, putuskan sekarang. Kembali padaku, atau aku akan memastikan kariermu berakhir.” Kenan terdiam, pikirannya berputar. Ancaman Raya bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng. Tapi ia juga tahu bahwa menyerah pada Raya berarti mengkhianati dirinya sendiri dan perasaannya pada Maudy. “Aku tidak akan kembali padamu, Raya,” katanya akhirnya. “Lakukan apa yang kamu mau. Aku tidak peduli.” Raya tertawa kecil, dingin dan penuh kebencian. “Baiklah, Kenan. Kita lihat siapa yang akan menang.” Kenan menutup telepon, merasa seperti baru saja memasuki medan perang. Tapi kali ini, ia bertekad untuk berjuang. Untuk Maudy, untuk dirinya sendiri. *** Di apartemen Maudy, suasana sunyi. Maudy duduk di kursi dekat jendela, menatap malam yang perlahan menyelimuti Singapura. Pikirannya penuh dengan semua yang terjadi, semua yang harus ia hadapi. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maudy bangkit dengan ragu, berjalan ke arah pintu. Saat ia membukanya, wajah Adrian muncul di depannya. “Adrian?” tanyanya, suaranya penuh kejutan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Maudy benar-benar tidak menyangka jika Adrian sampai ke Singapura. Pasti Mamanya yang memberikan alamatnya di sini. Adrian tersenyum kecil, tapi tatapannya tajam. “Aku hanya ingin memastikan kamu tahu apa yang sedang dipertaruhkan, Maudy. Ini bukan hanya tentang kamu atau aku. Ini tentang keluargamu.” Maudy menatapnya dengan tegas. “Kamu tidak bisa memaksaku seperti ini, Adrian.” “Oh, aku tidak memaksa, Maudy. Aku hanya memberi kamu pilihan,” balas Adrian dengan tenang, tapi penuh ancaman. “Pilih aku, atau lihat keluargamu hancur.” Maudy mengepalkan tangan, hatinya penuh dengan kemarahan dan ketakutan. Ia tahu Adrian tidak main-main, dan itu membuatnya merasa semakin terpojok. Saat Adrian berbalik untuk pergi, ia berkata, “Aku akan menunggumu, Maudy. Jangan terlalu lama berpikir.” Pintu tertutup, meninggalkan Maudy yang berdiri dalam kebingungan. Air matanya mengalir, tapi kali ini ia tidak membiarkannya menguasai. Ia harus membuat keputusan. Dan ia tahu, keputusannya akan menentukan segalanya. Kenan atau Adrian? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD