Happy Reading.
Maudy menatap pantulan wajahnya di depan cermin, dia tidak memakai make up tebal, hanya memakai bedak tipis dan liptint. Gaunnya juga tidak mencolok, hanya memakai dress bawah lutut berwarna hitam, di bagian dadanya ada renda cantik. Gaun itu ibunya yang memilihkan.
Malam ini dia harus bertemu dengan Adrian, secara terpaksa. Tentu saja Maudy tidak ingin mengecewakan ibunya lagi. Meskipun terasa berat, tetapi Maudy harus melakukannya. Dia sudah jadi anak pembangkang akhir-akhir ini, sekarang saatnya Maudy pasrah meskipun hatinya menolak.
"Huhf, cuma bertemu, kan? Nggak harus dilanjutkan kalau nggak cocok," gumam Maudy kemudian mengambil tasnya yang ada di atas ranjang.
"Tapi sepertinya tetap nggak cocok, hatiku udah berlabuh," lanjutnya dalam hati.
Dengan langkah lemah, Maudy menuruni tangga dan melihat ibunya yang sudah menunggu di bawah dengan senyum merekah. Senyum sang ibu membuat hatinya merasa tenang, selama beberapa waktu ini Maudy memang selalu membuat ibunya kepikiran. Dia yang tidak mau untuk segera menikah dan sang ibu yang selalu menuntutnya.
Menurut Ratna, putrinya itu sudah terlalu dewasa dengan usia yang hampir mendekati tiga puluh tahun, tetapi masih belum juga ingin menikah. Padahal teman-temannya banyak yang sudah punya cucu.
"Cantik sekali, Nak. Adrian pasti langsung menyukaimu," ujar ibunya. Maudy hanya senyum kaku. Senyum yang dipaksakan, jadi sebenarnya dia malas senyum tapi harus terpaksa. Ya seperti itulah, terkesan kaku.
"Bu, misal Adrian atau Maudy tidak mau melanjutkan—"
"Sstt, yang penting ketemu dulu, nanti kalian ngobrol pelan-pelan. Pastinya kalau sudah saling mengenal kamu bisa membuka diri kepada Adrian, dia itu pria yang baik." Maudy hanya bisa menghela napas, entah kenapa suasana hatinya tidak begitu nyaman.
"Baiklah Bu, Maudy pamit dulu, Assalamualaikum." Maudy mengambil tangan sang ibu untuk salim.
"Waalaikumsalam."
Maudy masuk ke dalam mobil, melambaikan tangan ke arah ibunya yang sudah semangat melambai tinggi sekali, seakan sedang menyemangati anaknya yang sedang ikut lomba. Maudy langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Dalam perjalanan menuju restoran, Maudy mendapatkan panggilan video call dari Kenan, tetapi Maudy tidak mengangkatnya. Bahkan malam ini Maudy tidak mengatakan kepada Kenan jika dia akan bertemu dengan Adrian. Padahal kemarin malam dia sudah banyak cerita pada Kenan kalau dia di suruh kencan buta oleh ibunya. Kenan bahkan mengatakan jika dia ingin bertemu dengan Ibunya dan mengatakan jika dia kekasih Maudy.
Intinya, membatalkan acara perjodohan itu dan Kenan serius dengan ucapannya. Meskipun di sisi lain, Raya terus saja menekannya dengan ancaman, Kenan tidak peduli.
"Kok nggak diangkat?" Di tempat lain, di sebuah kamar nan megah, Kenan merasa kacau karena sejak sore pesannya tidak dibalas oleh Maudy.
Padahal sebelumnya, Maudy masih membalas bahkan mengangkat panggilannya.
"Sibuk, ya?" Kenan bicara dengan ponselnya tetapi memandang foto Maudy di profil kontak.
"Aarrggk! Aku kan kangen, kenapa kamu nggak angkat teleponku, sayang!"
Kenan masih berusaha menghubungi Maudy, tetapi tiba-tiba layarnya penuh dengan nama Raya. Ya, wanita itu menelpon Kenan.
"Ck, ternyata susah ya buat lepas dari kamu!"
***
Maudy melihat layar ponselnya meredup. Wanita itu menghela napas panjang.
"Kenan, maafkan aku. Sungguh semuanya jadi makin rumit," gumam wanita itu.
Sebenarnya dia sudah sangat semangat untuk memperkenalkan Kenan pada ibunya. Akan tetapi, ibunya tidak terima saat tadi pagi Maudy mengatakan jika dia sudah punya kekasih. Ibunya malah bilang kalau Maudy hanya mencari orang untuk dibayar agar terhindar dari perjodohan itu. Lebih parahnya lagi saat Maudy mengatakan jika kekasihnya itu seorang pilot. Tambah murka deh.
"Kalau suamimu pilot dan kamu pramugarinya, kalian berdua nggak akan pernah pulang, pokoknya Ibu nggak setuju kalau kamu sampai pacaran sama pilot, profesi kalian itu sama aja nggak ada bedanya, bisa-bisa rumah Ibu sepi dan kalian liburnya juga nggak bisa lama. Kalau nyari suami itu profesinya nggak usah yang kerjanya pergi selama berminggu-minggu. Kalau bisa tuh ya dia yang kerja, kamu di rumah aja, temenin ibu dan adik kamu!"
Maudy masih ingat jelas perdebatan pagi tadi dengan sang ibu yang akhirnya berujung dia mengi-iyakan permintaan ibunya untuk bertemu dengan Adrian malam ini.
Ya, inilah akhirnya. Maudy berada di sebuah restoran mewah, duduk berhadapan dengan seorang pria yang tidak lain adalah Adrian. Pria itu tampak sempurna—dengan setelan mahal, senyuman ramah, dan pembawaan yang percaya diri. Tapi bagi Maudy, Adrian itu biasa saja.
Dia lebih sering bertemu dengan pria yang lebih sempurna dari laki-laki yang duduk di hadapannya saat ini. Masih lebih tampan Kenan dari segi apapun. Eh, kok jadi membanding-bandingkan.
“Jadi, Maudy,” Adrian memulai dengan nada santai, “aku dengar kamu suka traveling? Itu cocok banget dengan pekerjaanku. Aku juga sering keliling dunia untuk urusan bisnis.”
Maudy tersenyum tipis, dia sudah beberapa kali ketemu dengan Adrian dulu di masa kuliah, jadi bisa dikatakan ini bukan pertemuan pertama mereka.
"Ya, aku memang suka travelling, maka dari itu aku suka dengan pekerjaanku yang sekarang sebagai seorang pramugari," jawab Maudy menatap gelas berisi jus jeruknya yang sudah berkurang.
Tubuhnya di sini, tetapi pikirannya melayang pada Kenan. Ia tahu seharusnya ia mendengarkan Adrian, tetapi perasaan bersalah kepada Kenan yang tidak mengatakan jika dia malam ini bertemu dengan Adrian membuat perasaan Maudy terus gelisah.
"Maudy."
"Eh, iya." Maudy tersadar dari lamunannya. Dia menatap Adrian dengan tetapan tidak enak.
"Kamu melamun?"
"Nggak kok, cuma tadi ada sedikit kepikiran sesuatu, gimana-gimana?"
Adrian tersenyum, sepertinya dia semakin terpesona dengan Maudy yang menurutnya terlihat semakin cantik itu, jika beberapa tahun yang lalu saja Adrian sudah sangat terobsesi pada wanita di depannya ini, bagaimana dengan sekarang yang melihat Maudy bekali-kali dilipat lebih cantik.
“Maudy, aku tahu ini mungkin mendadak,” lanjut Adrian, “tapi aku serius ingin mengenalmu lebih dekat. Kita bisa saling mengenal lebih dulu, jika waktu kuliah kamu pasti masih serius dengan pelajaran, sekarang kamu bisa lebih membuka hati.”
Maudy menghela napas. Ia merasa semakin terpojok dengan pernyataan Adrian yang sepertinya sudah semakin menjurus itu. Tapi sebelum ia sempat menjawab, ponselnya bergetar. Ada pesan dari Kenan.
"Aku di depan rumahmu sekarang. Aku ingin ketemu."
Maudy terkejut membaca pesan itu, hatinya berdebar. Kenan benar-benar datang ke rumahnya, rumah ibunya lebih tepatnya karena Kenan mengirimkan foto rumah sang ibu seakan menegaskan jika dia berada di sana. Dari mana Kenan tahu alamat sang ibu.
Maudy tahu, bertemu Kenan di rumah ibunya berarti melawan semua aturan yang telah ditetapkan oleh sang ibu. Tetapi ia juga tahu, ia tidak bisa mengabaikan perasaannya dan juga Kenan.
“Maudy?” Adrian menatapnya dengan bingung.
Maudy mendongak saat mendengar panggilan pria di depannya ini dengan raut wajah khawatir.
"Apa ada masalah? siapa yang mengirimkan pesan?"
“Maaf, Adrian,” ucap Maudy akhirnya. “Aku harus pergi.”
"Tunggu, memangnya ada masalah apa? Kamu bisa cerita sama aku dan barangkali aku bisa membantumu," ujar Adrian menahan lengan Maudy.
"Ada masalah darurat, makasih buat malam ini ya, maaf aku harus pergi," setelah mengatakan itu, Maudy langsung berlari keluar menuju perkiraan.
Dia tidak ingin Kenan bertemu dengan ibunya dulu, takutnya nanti Kenan malah diusir dan pria itu tahu jika ibunya tidak menyukai dirinya.
***
"Halo, aku lagi di luar. Bisa ketemu di cafe xx saja."
"Oh, kamu kenapa nggak bilang dari tadi, ini aku udah mau ketok pintu, loh." Kenan terkekeh di sebrang.
"Maaf, tadi hp ku ke-silent. Jadi gimana? Kamu ke sini?"
"Oke siap, sharelok ya, aku otw ke sana."
"Oke!" Maudy langsung mematikan panggilannya dan mengirimkan sharelok kepada Kenan.
"Huft, Untung aja belum ketemu sama ibu. Sepertinya ini akan semakin rumit," gumam wanita itu.
Maudy langsung kabur ke cafe yang jaraknya sedikit jauh dari restoran tempat dia dan Adrian tadi bertemu. Mengamankan Kenan lebih utama dan dia merasa lega setelah tahu Kenan belum bertemu ibunya.
"Hai, kamu Maudy, kan?"
Bersambung.