Bab 10. Keputusan Kenan

1707 Words
Happy Reading. Kenan duduk di kursi bar di apartemennya, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya melayang pada percakapannya dengan Maudy beberapa hari yang lalu, saat dia meminta Maudy menjadi pacarnya. "Kenan, aku nggak bisa. Aku beneran nggak mau apalagi kamu masih punya cewek. Mending kita sedikit menjauh deh. Aku juga lagi mau fokus sama keluargaku." Maudy meminta mereka menjaga jarak, maksudnya mereka tidak boleh saling berkabar apalagi bertemu. Maudy juga masih meminta Kenan untuk memikirkan matang-matang perasaannya terhadap Raya, takutnya nanti Kenan menyesal setelah memutuskan hubungan dengan wanita itu. Kan, Maudy juga tidak mau berhubungan dengan pria yang belum selesai dengan masa lalunya. Jeda waktu ini hanya menambah kebingungan di hati Kenan. Namun, semakin ia berusaha fokus pada hubungannya dengan Raya, semakin terasa bahwa hatinya sudah tak berada di sana. "Aku harus gimana, Maudy," lirih Kenan. Sementara itu, di tempat lain, Raya sedang duduk di sofa ruang tamunya dengan ponsel di tangan. Sudah beberapa hari ia merasakan sikap Kenan yang berubah. Hubungan mereka yang dulu hangat dan penuh perhatian kini terasa jauh. Kenan tak lagi antusias setiap kali mereka bicara, sering kali bahkan tidak menatap matanya. Ada sesuatu yang berbeda, dan Raya mulai merasakannya dengan jelas. Rasa penasaran Raya semakin tumbuh, mendorongnya untuk menyelidiki lebih dalam. Di benaknya, mulai terlintas sosok pramugari yang ia pernah lihat bersama Kenan. Meski ia tak ingin berpikir negatif, ada dorongan kuat yang membuatnya merasa bahwa wanita itu adalah penyebab sikap Kenan berubah. Darimana Raya tahu? Dia mendapatkan gambar Kenan dan Maudy saat di Bali beberapa waktu lalu. Raya bertanya dan saat itu Kenan mengatakan jika dia adalah temannya di maskapai alias pramugarinya. "Apa benar kalau Kenan selingkuh sama pramugari itu?" Raya menatap foto perempuan di mana dia berdiri di samping Kenan dan Kenan menatapnya dengan mata berbinar. Ini foto yang diunggah oleh Tita–istrinya Heru, dan foto itu memang tidak hanya berdua, ada Heru dan Tita juga di sana. Dengan tangan gemetar, Raya membuka ponselnya dan mencari kontak salah satu temannya, Nina, yang juga pramugari di maskapai yang sama dengan Kenan. Setelah menunggu beberapa detik, telepon diangkat, dan suara ramah Nina terdengar di ujung sana. "Hai, Raya! Ada apa?" sapa Nina. Raya berusaha terdengar santai meski hatinya berdebar. “Nin, kamu kenal Maudy, kan? Yang pramugari di maskapai kamu.” Ya, Raya tahu jika perempuan yang bersama Kenan itu namanya Maudy karena Tita meng-tag akunnya saat mengunggah dan Raya juga sudah melihat profil Maudy yang sayangnya di kunci. Nina tertawa kecil. “Iya, tahu. Maudy teman aku juga. Kenapa emangnya?” Raya terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Aku cuma… penasaran aja. Kenan kayaknya sering kerja bareng sama dia belakangan ini. Terus liburannya juga bisa bareng. Aku cuma pengen tahu… Maudy gimana orangnya?” Suara Nina terdengar antusias. “Oh, Maudy orangnya baik, kok. Seru, ceria, dan banyak yang suka sama dia di Maskapai. Tapi kenapa kamu tiba-tiba tanya tentang Maudy?” Raya terdiam. Ada rasa sakit di hatinya saat mendengar deskripsi itu, seakan makin menguatkan kecurigaannya. “Nggak apa-apa, Nin. Aku cuma penasaran aja, ya udah ya, aku masih ada pekerjaan," ucapnya sambil memutuskan panggilan dengan cepat, tak ingin menunjukkan emosinya yang mulai meletup. Setelah telepon ditutup, Raya merasakan gelombang perasaan aneh menyelimutinya. Ada keinginan untuk mencari tahu lebih jauh. Ia membuka media sosial, menelusuri unggahan teman-teman Kenan, mulai dari Ferry, Ilham dan juga Nina sendiri. Hingga akhirnya ia menemukan beberapa unggahan foto kebersamaan mereka, maksudnya orang-orang itu berfoto bersama, meski terlihat formal, tapi tatapan Kenan dan Maudy satu sama lain tampak lebih dalam dari sekadar rekan kerja. Raya menutup ponselnya, tangannya bergetar. Seketika itu juga, kepalanya penuh dengan dugaan-dugaan yang memicu amarah. Ia sadar bahwa mungkin kecurigaannya selama ini bukan hanya sekadar dugaan kosong. *** Malam itu, Kenan sedang berada di apartemennya, menunggu Raya yang mengatakan ingin mampir untuk berbicara. Perasaan cemas menyelimuti dirinya. Ia merasa hubungan mereka semakin renggang, dan hal ini hanya menambah beban di pikirannya. Pintu diketuk, dan Kenan berjalan membukanya. Di balik pintu, Raya berdiri dengan tatapan tajam yang berbeda dari biasanya. Kenan menyadari ada sesuatu yang berbeda pada ekspresi wajahnya, sebuah keseriusan yang membuat hatinya berdebar tak menentu. “Masuklah,” ucap Kenan dengan suara pelan, mencoba tetap tenang. Raya melangkah masuk tanpa bicara, matanya tetap tertuju pada Kenan. Begitu mereka duduk, Raya langsung menyandarkan tubuhnya ke sofa, tatapannya tak beranjak dari wajah Kenan. “Aku mau tanya sesuatu, dan aku harap kamu jujur sama aku,” ucap Raya tiba-tiba. Kenan terdiam, merasakan suasana semakin tegang. “Tentu, ada apa?” tanyanya, mencoba terdengar wajar meski di dalam hatinya, ia merasa gelisah. Raya menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. Ia membuka layar dan menunjukkan beberapa foto kepada Kenan. “Apa ini?” tanyanya dengan suara dingin. Kenan menatap foto-foto itu, beberapa momen yang diambil secara tak sadar saat ia bersama Maudy di bandara, di lounge, bahkan ketika mereka sekadar berbincang ringan di sela-sela waktu istirahat. Tatapan kedekatan mereka di foto-foto itu sulit disangkal. Yang paling terlihat jelas saat di Bali, ada foto keduanya yang terlihat "agak" mesra. "Darimana kamu dapat itu? Kamu menyelidiki ku?" tanya Kenan dengan suara menggeram. Entah kenapa hal itu membuat Raya semakin merasa jika semua dugaannya benar. "Aku lihat di postingan Heru, dan entah kenapa aku liat foto kalian itu terasa aneh. Ada yang beda dengan tatapan kalian." Kenan terdiam, tak tahu harus mulai dari mana. Ia tahu bahwa tak ada kata-kata yang bisa menjelaskan kedekatannya dengan Maudy tanpa terdengar seperti alasan. Jadi, apakah ini saatnya dia membuat keputusan. Rasanya Kenan juga sudah tidak memiliki perasaan apapun pada Raya. Raya menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Kenan, aku cuma mau tahu… Apa kamu selingkuh dengan wanita itu?” Kenan menghela napas panjang, berusaha menyusun kalimat yang bisa meredam kemarahan Raya. “Aku… aku dan Maudy memang dekat, tapi kami nggak pernah ada hubungan apa-apa.” Selain cinta satu malam itu dan juga ciuman beberapa kali. Selebihnya memang mereka profesional. Batin Kenan, tidak mungkin kan dia mengatakan ini pada Raya. Raya mengangguk, meski jelas dari sorot matanya bahwa penjelasan itu tidak cukup. “Tapi kamu nyaman sama dia, kan? Kenapa kamu lebih milih ngobrol sama dia daripada aku? Apa yang salah dengan hubungan kita, Kenan?” Yang dimaksud Raya, saat Kenan ada di Bali. Saat itu Raya menelepon, tetapi Kenan mengatakan jika dia bertemu dengan teman-temannya saat di pesta Heru. Tentunya itu yang dimaksud oleh Raya, mengira Kenan lebih memilih mengobrol dengan temannya daripada Raya dengan menutup teleponnya. Kenan terdiam, merasa tersudut. Ia tahu bahwa yang diucapkan Raya ada benarnya, dan ini bukan soal siapa yang benar atau salah. Hubungan mereka sudah lama mengalami keretakan, dan kehadiran Maudy mungkin hanya membuka mata hatinya lebih lebar. “Raya, mungkin kita berdua sudah terlalu lama menutup mata. Hubungan kita… aku nggak tahu apa kita masih bisa meneruskannya,” ucap Kenan lirih, suara yang keluar terasa berat di hatinya. Tetapi dia harus segera mengatakannya. "Kenapa Kenan? Apa aku ada salah?" "Ya, kamu salah. Kamu berselingkuh di belakangku. Kamu kira aku nggak tahu?" "What? Siapa yang selingkuh? Aku udah kasih penjelasan, bukan? Saat itu aku cuma bantu teman!" Kenan tertawa getir. "Katanya sepupu, sekarang teman. Mana yang benar?" Raya membulatkan matanya, terkejut dengan ucapannya sendiri. "Dia sepupuku udah seperti teman sendiri," jawaban lirih. "Oke, misal kalau cuma bantu teman dan nge-prank, seharusnya nggak perlu pakai rangkul mesra atau pegangan tangan saat target belum bisa melihat, Right?" Maksudnya saat Raya dan Melvin masuk hotel, saat check in seharusnya tidak ada adegan mesra, bukan? Raya menggeleng, air mata mulai jatuh di pipinya. “Jadi ini semua salah aku? Kamu nyalahin aku karena foto itu? Kamu selingkuh sama pramugari itu juga karena cuma dengar kabar burung yang sebenarnya nggak jelas itu?" Kenan menggeleng cepat. “Bukan begitu, Raya. Aku nggak pernah punya niat buat selingkuh. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Maudy, ini beneran. Tapi aku juga nggak bisa bohong sama perasaanku.” Raya terisak, menyeka air matanya dengan tangan. “Kenan, aku nggak ngerti… kenapa ini harus terjadi. Aku sayang sama kamu, tapi kenapa kamu justru menganggap aku sebagai tersangka? Kamu berubah karena liat aku sama Melvin, kan? Padahal aku juga udah jujur, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Melvin, dia udah punya pacar!” Kata-kata Raya menusuk hati Kenan. Ia tahu bahwa Raya terluka, dan ini bukan hal yang mudah. Kenan menarik napas dalam, mencoba meredam perasaan bersalahnya. Tetapi dia harus berhenti untuk bisa berjuang demi Maudy. “Maaf, Raya. Mungkin aku memang nggak cukup baik buat kamu.” Raya bangkit dari duduknya, pandangannya penuh kecewa. “Kenan, aku nggak paham! Kamu itu pria yang paling baik! Maaf kalau sikap ku telah menyakitimu, aku nggak bermaksud!" Kenan mengangguk pelan. “Mungkin ini waktunya kita jujur satu sama lain, Raya. Aku nggak ingin terus seperti ini. Aku ingin kita berdua bahagia, dan kalau itu berarti kita harus mengakhiri hubungan ini…” Raya menatap Kenan tajam, kemudian menggelengkan kepala dengan getir. “Jadi ini akhirnya, ya? Setelah semua yang kita lalui, kamu memilih Maudy?” Kenan menunduk, tak mampu menjawab. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan bisa menghapus rasa sakit di hati Raya. Raya melangkah mundur, menghapus air matanya dengan kasar. “Baiklah, Kenan. Kalau itu yang kamu mau. Tapi jangan berharap aku akan merelakan ini begitu saja.” Raya berbalik dan keluar dari apartemen Kenan dengan langkah tegas, meninggalkan Kenan yang tenggelam dalam perasaan bersalah. Ia tahu bahwa ini bukan akhir yang mudah bagi mereka berdua, dan mungkin, keputusan ini akan menjadi bekas luka yang tak akan hilang. Setelah kepergian Raya, Kenan duduk diam, tenggelam dalam pikirannya. Ada rasa lega yang samar, namun juga kehampaan yang tak terbantahkan. Ia telah membuat keputusan yang sulit, tetapi hati kecilnya tahu bahwa inilah yang harus ia lakukan. Namun, di tengah-tengah keheningan malam itu, ponselnya tiba-tiba berdering. Kenan meraih ponsel, melihat nama Maudy terpampang di layar. Pria itu sumringah, jantungnya berdebar-debar. Setelah beberapa hari Maudy tidak mau dihubungi, malam ini wanita itu malah berinisiatif menghubunginya sendiri. Akhirnya, dengan suara yang bergetar karena saking senangnya, ia menekan tombol jawab. “Halo, Maudy?” Suara Maudy terdengar lembut di seberang sana, namun ada nada cemas yang tak bisa disembunyikan. “Kenan, aku barusan di telepon Nina, dia cerita kalau Raya menghubunginya dan menanyakan aku. Memangnya ada apa? Apa kamu ngomong sama Raya tentang aku?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD