Sang Pewaris-8

1010 Words
Pagi ini meski kondisi tubuhnya tidak seberapa baik, akan tetapi Andaru tetap memaksakan dirinya untuk pergi bekerja. Ia tidak ingin jika dikatakan tidak bertanggungjawab akan tugas baru yang diemban jika baru beberapa hari saja sudah tidak masuk bekerja. Toh, dia masih bisa berjalan meski tidak normal seperti biasanya. Sedikit pincang akibat kaki yang sakit. Semalam tubuh Andaru sempat demam. Untung saja dengan sigap Arimbi segera memberikan obat penurun panas sehingga saat pagi membuka mata, tubuh Andaru sedikit membaik. "Selamat pagi, Bu." Andaru menyapa ketika pagi ini memasuki ruang makan dan mendapati ibunya sedang menyiapkan teh hangat di atas meja makan. "Pagi. Ayo kita sarapan." Ajakan Arimbi pada putranya. Dengan sigap menggeser kursi agar Andaru tidak kesulitan untuk menududukkan diri. "Bagaimana rasanya tubuhmu, Ndaru?" Arimbi meletakkan punggung tangannya di dahi Andaru untuk mengecek suhu tubuh putranya. "Sudah lebih baik." Arimbi menghela napas, lalu ikut duduk di sebelah putranya. "Kenapa tidak ijin saja? Jika memang tidak enak badan, jangan dipaksakan. Nanti sakitmu semakin parah." "Aku tidak apa-apa, Bu. Lagipula pekerjaanku tidak bisa ditinggal. Dan juga hari ini aku harus ke bengkel untuk melihat motor yang sedang diperbaiki." "Baiklah jika begitu. Tapi kamu harus janji pada Ibu. Jaga diri baik-baik. Jujur, Ibu khawatir sekali padamu. Ini baru juga kamu pindah divisi, tapi sudah celaka seperti ini. Entahlah, Ndaru. Ibu rasa mungkin saja ada temanmu yang iri dan berniat berbuat jahat padamu." Sekalipun Andaru tidak pernah bercerita yang macam-macam tentang teman kerjanya pada sang Ibu, hanya saja perasaan Arimbi selalu tidak enak saja jika akan ada sesuatu yang terjadi pada putranya. Seperti kepindahan Andaru ke divisi yang lebih baik, Arimbi selalu berpikir jika pasti ada salah satu rekan putranya itu yang merasa iri. "Ibu jangan berpikiran buruk begitu. Tidak ada yang ingin mencelakaiku, Bu." Arimbi diam berusaha menenagkan dirinya sendiri. Benar kata Andaru jika tidak boleh berpikiran buruk pada orang lain. Jatuhnya malah akan timbul fitnah. Sementara itu, Andaru sendiri berusaha menormalkan ekspresi wajahnya. Dia tidak mau membuat ibunya semkain resah saja. Jujur Andaru katakan, apa yang dia rasakan kini sama dengan apa yang ada di pikiran ibunya. Dari rentetan kejadian semalam Andaru merasa memang ada seseorang yang berniat buruk kepadanya. Namun, berusaha Andaru tepis sebelum ada bukti yang nyata. Mencoba berpikiran positif agar hidupnya kembali tenang. Tak lagi mau membahas mengenai hal itu, Andaru meraih piring dab mulai menyantap sarapannya. Pub demikian dengan Arimbi yang juga melakukan hal yang sama. Menemani Andaru makan pagi dengan pikiran berkecamuk juga tidak tenang, membuat nafsu makan Arimbi menurun. "Pagi ini kamu berangkat ke kantor naik apa?" "Taksi online, Bu." "Jangan naik ojek dulu karena kondisi tubuhmu belum membaik." "Iya, Bu." Selesai dengan makan pagi juga meminum obat anti nyeri, Andaru membuka ponsel untuk memesan taksi online via aplikasi. Takut kesiangan sampai di kantor nanti. Tak lama berselang, suara klakson dari depan rumah membuat Andaru gegas beranjak dari duduknya "Bu ... Aku berangkat dulu. Taksinya sudah sampai." "Hati-hati di jalan. Jaga diri baik-baik." Dengan sopan Andaru mencium punggung tangan Arimbi. Lalu menuju pintu depan untuk menghampiri taksi yang telah menunggunya. Tak lupa membawa tas ransel miliknya. Arimbi memperhatikan sampai mobil yang membawa Andaru meninggalkan halaman rumah. Berdoa agar Andaru selalu baik-baik saja di mana pun putranya itu berada. *** Beberapa pasang mata jelas memperhatikan Andaru yang pagi ini memasuki lobi dengan kepala menunduk. Cara jalan Andaru yang sedikit terseok menjadi perhatian mereka. Wajah Andaru tak terlihat ada luka. Mungkin hanya goresan sedikit. Sementara di kulit tangan juga kaki, luka tersebut tertutupi oleh baju serba panjang yang Andaru pakai. Di dalam lift yang penuh sesak pagi ini, ternyata tak lantas menyelamatkan Andaru dari hinaan juga omongan pedas karyawan yang tidak menyukai akan kepindahannya. Bisikan dari belakang tubuhnya membuat tubuh Andaru menegang. "Dasar penjilat!" Hanya ucapan singkat, tapi mampu membuat Andaru mengepalkan kedua tangannya. Namun, ia bisa apa selain hanya diam menahan semuanya. Sampai pintu lift yang terbuka satu per satu orang mulai keluar secara bergantian. Andaru yang berjalan tertatih menyeret kakinya ikut keluar dari dalam lift. Baru beberapa langkah, Andaru sudah jatuh tersungkur di atas lantai tepat depan lift. Tertawaan dari beberapa orang yang melihat bukannya menolong justru merasa puas melihat Andaru tak berdaya dan jadi bahan tertawaan. Sejujurnya ingin sekali dia melawan, tapi mengingat semua hanya akan memperburuk keadaan, lagi-lagi Andaru menahan diri agar tidak sampai emosi. Mendongakkan kepalanya menatap punggung-punggung yang menjauhinya. Merekam dengan sangat jelas di dalam memori otaknya siapa-siapa saja orang-orang yang selama ini tega memperlakukanya dengan sangat burukk. "Mas Ndaru!" Andaru terkesiap masih dengan posisinya duduk di atas lantai. Berusaha menegakkan badannya dan mencoba untuk bangun. "Ya, Tuhan! Mas Ndaru kenapa?" Tergopoh-gopoh Aisya menghampiri Andaru, setelah sebelumnya meletakkan sapu dan alat kebersihan yang ia bawa. Aisya tadi sebenarnya akan turun ke lobi untuk bersih-bersih seperti biasa. Namun, tiba-tiba saja mata gadis itu menatap Andaru yang tersungkur karena jegalan kaki seseorang. Ya, Asiya melihat dan karena kagetnya gadis itu hanya memperhatikan dari jauh ketika suara gelak tawa memenuhi indera pendengarannya. Dengan kedua tangan Aisya membantu Andaru untuk berdiri. Kedua mata Aisya menelisik kondisi Andaru yang tampak sedang tidan baik-baik saja. Terlebih ketika melihat berdirinya Andaru tidak setegak biasanya juga ringisan yang terlihat di bibir pria itu, semakin menguatkam dugaan-dugaan Aisya. "Terima kasih, Ais," ucap Andaru yang memang tidak menolak pertolongan juga bantuan gadis itu. Andaru terkadang juga heran, kenapa selalu ada dewi penyelamat di saat dia sedang butuh pertolongan. Dan Aisya satu-satunya orang yang patut ia balas semua kebaikannya. "Sama-sama, Mas. Eum ... Mas Ndaru tidak apa-apa? Mas Ndaru baik-baik saja, kan?" Aisya masih enggan melepas tangan yang memegangi lengan pria itu. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir." "Mas Ndaru bohong, kan?" Aisya memicing menatap dalam pada manik mata Andaru. Mencari kejujuran dari ucapan pria itu. Andaru yang gugup mencoba melepaskan lengannya. Laku ia naikkan kacamatanya dengan kikuk menjawab. "D-dari mana kamu tahu?" Aisya tersenyum. "Mas Ndaru tak akan mungkin bisa berbohong padaku. Mungkin mulut Mas bisa mengatakan tidak. Tapi tubuh Mas Ndaru tak bisa berbohong. Semua terlihat jelas di mataku jika ada sesuatu yang terjadi. Apa ... karena jegalan orang tadi dan Mas Ndaru jatuh sampai kaki Mas Ndaru tak bisa berdiri tegak begitu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD