When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Febi tampak tegang, wajahnya pias saat mendapat tatapan bingung dari pria yang masih berbaring sakit tersebut. "Sejak kapan mama dan papa panggil aku Andra?" tanya pria itu kemudian sambil menatap ayah dan ibu, bergantian. Elia dan Ilyasa saling menatap satu sama lain. "Ka-kamu siapa?" tanya Elia, ambigu. "Hah? Mama lupa? Aku Zean lah. Anak mama," jawab Zean sambil berusaha untuk bangkit. "Akh!" tubuhnya terasa sakit ternyata. Ilyasa segera mendekat. "Tidur saja, Nak. Kamu baru siuman." Mengatur tempat tidur agar anaknya bisa duduk bersandar. "Pa, mama bukannya udah sehat? Makanya Papa dan mama pulang. Kenapa mama malah tanya siapa aku? Apa dia gak kenal aku sekarang?" tanya Zean pada sang ayah. "Mama kamu udah sehat kok." Ilyasa mengangguk. Zean kemudian meraih tangan ibunya. "Aku