Awal Pedekate

1306 Words
Raymond parkirkan mobilnya di parkiran khusus di sekolah. Anak pemilik perusahaan jam tangan mewah di berbagai negara ini terkenal dengan wajahnya yang blasteran. Maklum, Papinya, Justino Marco, berasal dari Italia, dan maminya, Anita Britania Hamdan, berasal dari Bandung. Tidak hanya memiliki wajah tampan, Raymond dikenal sangat pandai. Sejak sekolah dasar, dia selalu mendapat rangking teratas. Hal ini tentu membuat banyak murid perempuan tergila-gila kepadanya. Entah berapa gadis yang sudah menyatakan ingin menjalin kasih dengannya, bahkan mereka bersedia berbagi cinta dengan gadis lain, termasuk gadis yang bernama Jessica Gunawan. Raymond memang penuh pesona. *** Haikal terperangah dengan Raymond yang tiba-tiba duduk di samping kirinya. "Itu bangku Nori, Ray," cegah Haikal. Nori biasanya duduk di sebelahnya. "Gue udah ngomong ama dia. Dia duduk dekat Beth di depan. Dia mau kok. Soalnya kasihan, dia kan nggak bisa liat papan tulis kalo duduk agak di belakang," jelas Raymond dengan gaya cueknya. Haikal mendengus kasar. Penjelasan yang beralasan, tapi kenapa baru sekarang? Perasaan Nori tidak masalah duduk di bangku yang posisinya agak di belakang. Tak lama kemudian, muncul Irfan, Abi dan Farel. Mereka langsung duduk di posisi masing-masing. Abi di sisi kanan Haikal, Farel di belakangnya, dan Irfan di depannya. Ketiganya terlihat saling pandang saat melihat Haikal yang sekarang berdekatan dengan Raymond. Raymond menyapa tiga sahabat Haikal tersebut. "Hai," sapanya seraya melihat wajah Abi, Farel dan Irfan secara bergantian. Ketiganya membalasnya dengan wajah bingung sekaligus takjub. Terutama Abi, dia amati wajah mulus Raymond tanpa berkedip. "Jadi kapan kita mulai bekerjasama. Di rumah siapa?" tanya Raymond sembari menatap wajah Haikal dan tiga sahabatnya bergantian. "Biasanya sih rumah Haikal. Lu mau? Atau di rumah lu aja, Mon. Pengen tau isi rumah lu yang konon katanya bisa buat gajah main golf," sindir Irfan cuek. Raymond terkekeh. Dia tidak tersinggung dengan ucapan Irfan. Irfan memang dikenal suka berseloroh. "Boleh. Kapan?" Raymond memperbaiki posisi duduknya seakan serius menanggapi usulan Irfan yang bernada sindiran. "Udah. Di rumah gue aja. Jumat sore gimana? Kan deadline bulan depan tuh. Lebih cepat kita kerjakan, lebih baik," usul Haikal. "Lu kirim alamat lu ke gue, Kal," decak Raymond santai. Haikal mengangguk pelan. *** Sikap Raymond yang tiba-tiba mendekati Haikal tentu mengundang tanya sahabat-sahabat Haikal. Tidak biasanya siswa tampan itu mau bekerja sama dengan mereka. Padahal sebelumnya Raymond hanya mau bekerja di kelompok yang terdiri dari siswa-siswa pilihan. "Kena sambit apaan dia? Kok tiba-tiba deketin lu?" gumam Farel di kantin sekolah pada jam istirahat. "Iya, Kal. Aneh menurut gue. Biasanya dia dan teman-temannya kan mana mau deket-deket kita. Gengnya kan beda," tambah Irfan. "Iya sih ya? Tapi Raymond ganteng banget, Coy. Gue aja laki jadi demen liatin dia," timpal Abi tiba-tiba. "Busyeeet. Parah lu ah," umpat Irfan. Haikal tersenyum simpul akan sikap teman-temannya. "Mudah-mudahan hanya sebatas kerja kelompok aja nih. Setelah itu dia nggak perlu deket-deket. Masa Papa tiri lu nambah, Kal? Repot Mama lu," sungut Farel. Dia yang terlihat paling curiga dengan gerak gerik Raymond yang mendekati Haikal. Sejak berhasil meminta izin kepada guru Biologi untuk menjadi bagian dari kelompok Haikal, Raymond langsung memburu Haikal dan terkesan ingin lebih dekat. "Eh ... harus seizin gue dong, sebagai Papa tiri Haikal yang pertama," decak Irfan. Dia adalah pencetus sebutan Papa tiri sebagai istilah sahabat-sahabat Haikal. "Izinkan dong, Fan. Ganteng ini. Kokay lagi. Why not? Bisa dibujuk-bujuk traktir makan-makan enak," usul Abi dengan gaya centilnya. Abi memang doyan makan. Badannya lebih berisi dibanding yang lainnya. Farel dan Irfan tergelak mendengar gaya bicaranya. Apalagi Abi berbicara sambil memegang-megang perut gendutnya. Namun tiba-tiba pandangan mereka tertuju ke arah gerbang kantin di mana Raymond sedang berjalan beriringan dengan Bethany. "Wah. Ternyata beneran mereka pacaran," gumam Haikal. Tiga sahabatnya memandangnya tak percaya. "Masa sih, Kal? Lu tau darimana?" tanya Irfan terheran-heran. "Dari Norilah … siapa lagi," jawab Haikal. Irfan menelan ludahnya mendengar nama Nori, gadis yang tergila-gila dengannya. "Kok bisa sih? Bethany mah biasa-biasa aja. Gue aja nggak kepikiran mau jalan ma dia. Lah Raymond?" Farel ikut terheran-heran. "O jadi ini yang digosipin anak-anak. Raymond udah punya pacar. Gue kira sama Jessica. Trus Jessica deketin lu dan nolak lu? Hm ... Raymond dengan Beth? Aaah bingung gue," gerutu Farel sambil mengacak rambutnya sendiri. Haikal mengangkat bahunya dengan bibir mencebik. Dan mereka terdiam manakala melihat Raymond melangkah cepat menuju posisi duduk mereka. "Gue yang traktir makan siang. Perayaan hari jadi gue ma Beth," ucap Raymond yang langsung duduk di samping Haikal setelah berhasil menggeser posisi duduk Abi. Wajah Haikal cs pun berubah sumringah. *** Di sebuah café mewah SCBD Sudirman Tawa Bianca terdengar sangat renyah mendengar cerita-cerita nakal sahabat-sahabatnya. "Bian. Kamu kenapa sih selalu nolak laki-laki yang mau menikah sama kamu? Kamu tuh masih muda loh, cantik lagi. Anak-anak muda aja suka sama kamu. Nih, kulit kamu haluuus banget," ujar Kimi, salah satu sahabat Bianca. "Iya. Jovan kok ditolak. Kalo aku jadi kamu ya terima dong. Duda kaya satu anak lo. Umur juga malah mudaan dia," sela Mita, juga sahabat Bianca. Bianca mengaduk-aduk teh panasnya. Dia tersenyum saja. "Aku udah males bayangin ngurus suami. Capek. Riweh. Senang aja begini. Fokus Haikal sama teman-temannya tuh. Malah lebih asyik," tanggap Bianca santai. "Hahaha. Bener juga, Bi. Aku terkadang sampe mikir lebih baik cerai aja deh daripada punya suami yang manja dan males bantu-bantu ngurus anak. Capek," sambung Tika setelah menghembuskan asap rokoknya. "Enakan kayak Bianca. Bebas … nggak perlu bangun pagi-pagi nyiapin sarapan dan keperluan suami. Nggak ada beban," lanjutnya tanpa merasa bersalah. Semua mata sinis tertuju ke Tika. Bianca sampai melotot mendengar ucapan Tika. "Tapi yaaa ... nggak ada tempat untuk merasakan kasih sayang di ranjang. Ah," keluh Tika yang tiba-tiba berubah pikiran. Semua tertawa mendengar keluhan Tika. "Kamu apa nggak ada rasa-rasa kepingin gitu, Bi?" sentil Mita tiba-tiba. "Kepingin apaan?" Bianca balik bertanya. Dia pura-pura tidak mengerti arah pertanyaan Mita. "Yah, kepingin ditusuk-tusuk. Nggak rindu dibelai. Udah delapan belas tahun. Betah amat?" decak Mita dengan bibir mencebik. Bianca terkekeh. "Duh, Mita, pake alat lebih kerasa daripada sama suami," potong Kimi cepat. "Ya nggak, Bian?" Bianca menggelengkan kepalanya. "Mana yang enak? Dildo, yang bergetar, atau yang berlidah ... atau yang pake remot tinggal pencet sana sini, rrrr, rrr, mmm ... mmmm...." Bianca tertawa melihat Kimi yang memancing-mancingnya. "Jawab dong. Jangan ketawa aja," decak Kimmy dengan lirik sinisnya. Bianca menghela napas kasar. "Udah deh. Jangan bahas gituan ah," decaknya yang mulai merasa kurang nyaman. "Yah. Walau pake alat, pastinya kebayang-bayang sama suami," sela Tika. "Bener banget, Tika. Aku aja kadang dibantu alat di depan suami," timpal Mita. "Ha? Suami kamu apa nggak ngerasa down, lebih yahud alat itu ketimbang tongkatnya sendiri?" tanya Kimi heran. "Nggak. Malah senang aku lebih terbuka. Soalnya make alat sambil bayangin dia dong," tanggap Mita. "Duuuh. Romantisnyaaaa," seru Tika yang menyudahi rokoknya. "Iya ... pas puas sambil nyebut-nyebut namanya," pungkas Mita lagi. Bianca geleng-geleng kepala mendengar ocehan m***m sahabat-sahabatnya. Ini yang membuat Bianca tidak terlalu mau sering-sering berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, selalu membahas kegiatan ranjang di depannya. Bianca paham mereka hanya memanas-manasinya saja agar dia segera mengakhiri status jandanya. Tidak bisa Bianca pungkiri, keinginan untuk disayang-sayang lawan jenis seringkali menghampirinya di saat-saat tertentu. Delapan belas tahun bukan masa singkat menjanda. Pernah beberapa kali menjalin hubungan dan ketika hendak serius, Bianca malah mundur. Entah kenapa juga dia tidak tahu. Sepertinya trauma dan luka di hati akibat perbuatan mendiang mantan suami dan keluarganya sudah terlalu dalam. Sampai sekarang, dia masih saja teringat-ingat akan perjuangannya mempertahankan nama baiknya dan juga jati diri Haikal. Yang menyesakkan, keluarganya sempat pula ikut-ikutan membencinya, menganggap apa yang dia lakukan mencemarkan nama baik keluarga besar. Meskipun pada akhirnya mereka kembali berbaikan. Itupun setelah mengetahui Bianca yang mendapatkan warisan sangat besar dari mendiang mantan suaminya. Bagaimanapun, Bianca tidak dapat membohongi hati kecilnya, bahwa dirinya sangat mencintai mendiang mantan suaminya tersebut. Kini Bianca sangat bahagia dengan kehidupannya yang penuh canda tawa. Lelucon konyol sahabat-sahabat Haikal menghiasi hari-harinya. Rasanya dia tidak mau menikah lagi karena tidak mau kehilangan keceriaan mereka berempat, keceriaan yang terjalin sejak SMP. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD