Di dalam kamar, Jessica akhirnya sudah bisa merasa lega setelah kedua orang tuanya pulang. Sebenarnya, sejak tadi dia tidak sabar menunggu orang tuanya pulang dari rumah mertuanya karena ingin langsung istirahat bersama suaminya di kamar. Jessica tidak sabar lagi menikmati malam pertamanya.
Jessica pun senyum-senyum melihat Raymond meraih handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Terbayang-bayang di pelupuk matanya tubuh Raymond tanpa busana yang tak lama lagi bisa dia dekap.
“Aku tunggu di sini ya, Ray!” seru Jessica saat Raymond baru saja hendak membuka pintu kamar mandi.
Raymond menoleh ke arahnya sebentar.
“Oh. Ok,” balas Raymond pendek.
Jessica merentangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat rapi dan wangi. Dia tatap langit-langit kamar sambil membayangkan tubuhnya bersatupadu dengan tubuh indah menggiurkan Raymond malam ini. Jessica benar-benar sangat lega dan bahagia, merasa penantiannya berbuah manis. Dia terus saja mengingat-ingat sikap manis Raymond sedari menjelang pernikahan hingga malam ini. Sungguh sangat dia tidak sangka. Sikap Raymond yang penuh kehangatan. Tidak seangkuh saat masih duduk di bangku sekolah dulu, di mana Raymond sangat angkuh dan jarang tersenyum bila disapa.
Tapi entah kenapa tiba-tiba Jessica mengingat saat-saat Raymond berjalan bersama Bianca. Senyumnya langsung surut.
“Seberapa jauh hubungannya dengan Bianca ya?” gumam Jessica sambil berusaha mengusir ingatan itu. Tidak tahu kenapa senyum Bianca mengacaukan pikirannya. Sentuhan tangan Raymond ke pinggang ramping Bianca meresahkannya. Dia ingat pula saat-saat merekam keduanya beberapa tahun lalu. Jessica terus saja merekam gerak gerik keduanya, sampai pada akhirnya dia harus menyaksikan keduanya berciuman hebat di dalam sebuah mobil merah.
Jessica menghempaskan napasnya. Kenapa sekarang dia mengingatnya kembali? Padahal waktu itu dia langsung menghapus rekaman yang menujukkan keintiman keduanya dan berusaha mensugesti dirinya bahwa tidak pernah ada bagian ciuman itu dalam pikirannya.
Bunyi pintu kamar mandi yang terbuka membuyarkan lamunan Jessica.
“Mau mandi?” tanya Raymond dengan tatapan hangatnya.
Jessica terlihat gugup. Dia mengangguk.
"Apa Raymond udah enggak sabar ya mau malam pertama sama aku?" batin Jessica yang perlahan bangkit dari posisi tidurnya sambil melihat Raymond yang sudah berpiyama lengkap, seolah ingin segera tidur. Namun, wanita itu merasa semakin bingung saat melihat Raymond malah meraih sebuah buku dari rak dan mulai duduk di sofa yang menghadap ke televisi.
"Lho, kenapa Raymond malah baca buku? Ah, mungkin dia bosan karena menungguku mandi." Dengan cepat, Jessica pun menepis rasa bingungnya, lalu bergegas menuju kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, tepatnya setelah Jessica selesai mandi, wanita yang sudah berlingeri itu dibuat semakin kebingungan sambil melihat suaminya. "Kenapa Raymond malah tidur ya?" Jessica menatap heran. Melihat sosok Raymond yang saat ini tengah tertidur di atas sofa dengan selimut dan buku yang tergeletak di atas d**a. Dia pun melirik sejenak ranjang tidur yang sama sekali tidak disentuh oleh pria yang sekarang telah menjadi suaminya itu.
Jessica pun duduk bersimpuh mendekatkan wajahnya dengan wajah Raymond hendak mengecup bibir pria itu. Namun, tubuh Raymond langsung bergerak menghadap ke arah lain.
“Ray.” Jessica memegang lengan pria itu. Akan tetapi, Raymond malah menepis genggaman tangannya hingga membuatnya terkejut.
***
Tidak terasa sudah hampir tiga bulan usia pernikahan Jessica dengan Raymond. Ternyata pernikahannya tidaklah seindah yang Jessica bayangkan. Hidup dengan segala kepura-puraan. Dia tidak menyangka Raymond ternyata bersikap sangat dingin di kala berduaan. Raymond hanya menunjukkan kemesraan di depan orang lain atau di depan keduaorangtuanya. Ingin Jessica ungkapkan perasaan yang dia tanggung, tapi tidak tahu kepada siapa. Akhirnya dia hanya bisa membiarkan sikap Raymond yang acuh tak acuh kepadanya saat berada di dalam kamar. Berharap suatu waktu dia akan luluh dengan sendirinya.
Jessica pernah mencoba mencari tahu apa yang tengah disembunyikan Raymond darinya. Dari mengecek ponsel, memeriksa semua isi media sosial hingga mengikuti segala kegiatannya sehari-hari, baik di kantor maupun di rumah. Jessica juga sudah sering mengajak bicara dari hati ke hati, tetapi Raymond tidak mau menanggapinya.
Setelah mengikuti kegiatan syuting iklan jam tangan koleksi terbaru perusahaan Raymond pagi ini, Jessica lalu singgah sebentar di ruang kantor suaminya. Raymond pun menyambutnya dengan pelukan dan ciuman hangat karena ada Papinya yang kebetulan sedang mengunjunginya.
“Sudah selesai syutingnya, Sayang?” tanya Raymond dengan senyum hangatnya.
“Sudah, Ray,” jawab Jessica. Dia lalu memeluk Papi mertuanya yang duduk di atas sofa empuk, juga mencium pipinya.
“Cantik sekali menantuku ini. Mana jam terbarunya,” decak Justino bangga.
Jessica tunjukkan tangan kanannya seraya menunjukkan jam tangan mewah koleksi terbaru perusahaan keluarga suaminya itu kepada Justino. Justino kecup-kecup jam tangan itu dengan semangat. Sudah hampir tiga tahun perusahaannya belum mengeluarkan koleksi terbaru. Beberapa bulan Raymond mengambil alih perusahaan, barulah perusahaannya rilis model jam tangan terbaru.
“Kamu tahu berapa harga jam tangan ini, Jessica?” tanya Justino kepada Jessica.
Jessica tertawa renyah. Dia lirik Raymond yang tersenyum simpul melihat keakraban papinya dan dirinya.
“Lima ratus juta … dan aku punya tiga, Papi,” jawab Jessica malu-malu disertai pekik tertahan saking bahagianya.
“Kamu suka yang mana?”
“Gold, Papi.”
“Oke, pilihan yang tepat.”
Justino berdiri dari duduknya setelah dua orang bertubuh tegap datang menjemputnya.
“Papi pulang dulu,” pamit Justino.
“Iya, Papi. Istirahat yang cukup,” ucap Raymond. Dia ikut mengantar papinya hingga ke pintu kantornya.
“Sudah, Cello, sampai di sini aja,” ujar Justino ke Raymond. Dia tidak ingin putranya
menemaninya hingga ke luar.
Raymond mengangguk patuh. Dia pun membiarkan papinya pulang bersama dua pengawalnya. Setelahnya dia kembali masuk ke kantornya. Lalu seperti biasa, dia bersikap seperti biasa lagi. Dingin tak berekspresi di depan Jessica.
Jessica menghela kecewa. “Aku ingin bicara, Ray,” ujar Jessica sambil memainkan jam tangan barunya.
“Katakan saja, aku pasti mendengarkan,” jawab Raymond sambil duduk menghadap komputer besarnya dengan gaya duduk santainya.
“Aku tahu aku sangat menginginkan pernikahan ini. Ini adalah impianku, menikah denganmu,”
“Good,” decak Raymond.
Jessica tatap Raymond yang matanya tertuju ke layar komputer.
Jessica lagi-lagi menghela napas panjang. Ini yang dia tidak sukai dari diri Raymond, bersikap acuh tak acuh di hadapannya.
“Kalau memang kamu enggak mau nikah sama aku, kenapa kamu tetap menikahiku?”
“Kamu yang bisa jawab pertanyaan itu ... kenapa kamu suruh aku yang menjawabnya?”
“Maksud kamu?”
Raymond terkekeh sinis. “Bukannya kamu yang memaksa agar mami-papiku memilih kamu?”
“Memaksa?”
“Siapa suruh menyodorkan diri di hadapan mami-papiku?”
Jessica menggeleng.
“Jangan mengira aku enggak tahu kelakuan kamu dari sekolah dulu. Meneror Bethany tanpa alasan jelas,” cecar Raymond panas.
Jessica memejamkan matanya. “Aku tidak menerornya."
Raymond mencebik. “Jangan harap kamu bisa bertahan lama dengan Raymond, Raymond adalah milikku selama-lamanya. Kamu bukan sainganku. Enyah kamu. Aku masih ingat kata-kata itu,” ujarnya meniru kata-kata Jessica.
Jessica menggigit bibirnya. Sejak tahu Raymond berpacaran dengan Bethany, Jessica memang kerap mengirim pesan misterius ke ponsel Bethany. Bethany pun lalu menceritakannya ke Raymond. Belum lagi kelakuan Jessica yang pernah kedapatan memasukkan bubuk merica yang banyak ke dalam makanan Beth dengan menyogok penjual kantin. Untung Bethany cukup sabar dan tidak mau ambil pusing. Dia tetap ‘berpacaran’ dengan Raymond waktu itu.
“Kamu masih mempermasalahkannya sekarang?”
“Kamu juga yang telah memberi tahu mamiku tentang hubungan aku dan Bianca.”
Jessica terhenyak. Raymond ternyata mengetahui apa yang sudah dia perbuat.
“Nori ...” Jessica menduga Nori yang melaporkan ke Raymond tentang aduannya. Nori adalah jelaskan di sini ya El.
“Bukan dia yang memberi tahuku."
“Siapa, Ray?”
“Kamu enggak perlu tahu.”
Jessica tatap Raymond yang matanya masih tertuju ke layar komputer.
“Siapa yang dekat denganku, kamu selalu mengusiknya, termasuk Nori."
“Karena aku sangat menyukaimu, Ray,” lirih Jessica.
“Dan, kamu sudah berani memasuki duniaku. Sekarang kamu sudah berhasil. Selamat. Sungguh aku sangat berterima kasih. Kamu juga sudah menyenangkan hati kedua orang tuaku,”
Jessica diam tak berkutik. Di satu sisi dia memang sudah berhasil menjadi istri Raymond, tetapi di sisi lain ternyata Raymond mengetahui semua yang telah dia lakukan demi memiliki pria itu.
“Puas, kan? Apa yang sudah kamu perbuat, hampir membunuh orang. Papiku sudah berencana membunuh Bianca dan Haikal karena aduan kamu. Kamu memang sangat cocok jadi menantu Justino Marco dan Anita Britania Hamdan.”
Jessica menggeram. Dia lepaskan jam tangan dari tangannya dan melemparnya begitu saja di atas lantai. Ternyata jam tangan produk terbaru perusahaan Raymond sangatlah kuat. Tidak pecah saat terhempas. Raymond tersenyum sinis saat melihat reaksi Jessica yang hampir hendak mengambilnya kembali.
“Makanya, aku bersedia menikahimu agar kamu enggak lagi berbuat konyol,” ucap Raymond.
Jessica yang kesal akhirnya pergi meninggalkan Raymond.
Amarah dan kekesalan yang memuncak dirasakan Jessica sekarang. Dia akhirnya nekad membeli racikan perangsang yang akan dia campurkan ke dalam makanan dan minuman suaminya malam ini. Dia benar-benar tersinggung dengan ucapan suaminya yang ternyata mempermainkan pernikahan.
“Dia tidak tahu dengan siapa dia berhadapan. Aku istrinya. Aku berhak melakukan ini. Aku berhak mendapat sentuhannya,” gumam Jessica setelah berhasil melakukan misinya.
Bersambung