Syara terus berusaha menggulirkan rodanya hingga kini ia sudah berada didepan pintu kamarnya. Setelah berhasil membukanya, Syara mulai mengedarkan pandangannya dan berharap jika keadaan disana akan aman dan sepi. Sehingga tak akan ada yang melihatnya saat ini dan rencananya akan berjalan dengan baik. Kini waktu menunjukan pukul delapan malam. Sehingga sudah tak lagi banyak aktifitas yang mereka lalukan disana. Dengan segera Syara lanjutkan mendorong kursi rodanya menuju lift. Dan Reynald pun kembali mengikutinya dengan teramat hati-hati. Hingga kini Syara sudah berada tepat didepan pintu lift. Dengan segera ia menekan tombol yang mengarahkan dirinya menuju roof top. Yang lagi-lagi hal itu semakin membuat Reynald merasa semakin janggal dengan langkah apa yang akan Syara ambil saat ini.
'Roof top? Kenapa dia pergi ke roof top? Atau jangan-jangan Syara akan ... No no no no! Aku gak boleh biarkan hal buruk itu terjadi kepada Syara!' gumam Reynald dalam hati. Dengan segala kecemasan yang kini tengah ia rasakan.
Sedangkan Syara. Jantungnya semakin berdebar kencang menunggu pintu lift yang hingga kini tak kunjung terbuka. Sebab kekhawatirannya jika ia akan ketahuan seorang perawat penjaga atau satpam disana, maka setiap rencananya sudah pasti akan gagal.
Syara terus saja bedoa didalam hatinya agar senantiasa diberikan kelancaran atas jalan yang telah ia pilih. Walau Syara sadar betul jika apa yang ia pilih saat ini memanglah salah. Tak seharusnya ia menyerah dan menyudahi segala perjuangannya disini. Namun kini, ia rasa sudah tak ada lagi pilihan terbaik yang dapat ia ambil. Dan lagi, hanya sebuah keputus asaan lah yang kini mendera dirinya. Yang membuatnya tak lagi dapat berpikir jernih agar tetap berada dijalan lurus-Nya. Syara terus saja pejamkan kedua matanya dengan airmata yang terus menganak sungai dikedua pipinya. Hingga kini lif itu mulai berbunyi dan pintunya mulai terbuka.
Dengan segera Syara pun kembali mendorong kursi rodanya untuk segera memasuki liftnya. Setelah pintu lift itu tertutup dengan segera Reynald pun menyusulnya. Ia segera menekan tombol roof top. Turut menunggu didepan pintu lift itu dengan jantung yang berdebar hebat saat ini. Karena sungguh ia sedang sangat mengkhawatirkan Syara yang bisa saja akan segera melakukan hal nekat itu. Sedangkan kini Syara kembali merasakan keraguan juga ketakutan tersendiri atas jalan yang telah ia pilih. Atas jalan terburuk yang akan segera ia ambil. Hingga kini lagi dan lagi jantungnya semakin berpacu kencang.
Reynald terus menunggu dengan satu tangan mengepal yang ia pukulkan kearah pintu lift. Rasanya akan teramat menyakitkan jika ia biarkan Syara mengambil jalan yang salah. Hingga kini pintu lift Syara sudah kembali terbuka. Dengan segera kembali ia dorong kursi rodanya. Angin mulai kembali berhembus kencang menerpa sekujur tubuhnya. Malam yang dingin nun sepi tanpa bulan juga bintang yang menghiasi saat ini seakan menggambarkan perasaan juga hatinya yang tengah merasakan hal yang sama. Kosong, hampa dan gelap gulita. Dengan penuh keraguan kembali Syara dorong kursi rodanya menuju sudut bangunan. Sebab memang kini, Syara tengah berusaha melawan phobianya terhadap ketinggian. Kedua tangannya mulai bergetar hebat sehingga mulai ia hentikan putarannya.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh... Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh... Aaaaaaaaaaaaaaaargh...
Kembali Syara memekik frustrasi meluapkan setiap rasa sesak didadanya. Berusaha membuang jauh setiap kepedihan yang kini mendera dirinya. Sehingga kini ia cukup merasa lega. Namun ia juga kembali mengingat jika kelegaannya itu hanyalah sementara. Sehingga kembali ia yakinkan dirinya untuk kembali mendorong kursi rodanya. Hingga kini ia sudah berada disudut bangunan. Yang membuat angin semakin berhembus kencang menerpa dirinya. Hingga tubuhnya merasakan dinginnya malam yang menusuk hingga belulang. Saat tanpa sengaja netranya kembali melihat hingga kedasar membuat degup jantung itu semakin tak beraturan. Namun Syara tak urung menghentikan niatnya.
"Ya Allah ya Rabb... apa memang benar inilah akhir hidupku? Apakah memang aku harus mengakhirinya saat ini juga? Apa memang sudah tak lagi ada sebuah pilihan lain untukku? Hiks..hiks..hiks.. Mama, sudah tak lagi menganggapku ada! Dan, Adiku, sendiri pun, dia yang selalu teramat menyakiti aku! Dia yang selalu saja membuat aku enggan untuk tetap berada didunia yang fana ini! Hingga aku berada pada titik serendah ini dimalammu yang dingin!
"Ampuni aku ya Allah. Aku mohon ampunilah hamba-Mu yang terlalu lemah untuk menghadapi hidup ini. Aku sadar betul jika ini adalah suatu jalan yang salah. Tapi mungkin memang akan lebih baik jika kuambil jalan ini. Agar tak lagi ada orang yang tersakiti karenaku, agar tak lagi ada seseorang yang terbebani karena keberadaanku diantara mereka. Maka kumohon ridhailah jalanku yang salah ini," doa Syara yang memang ia tahu jika setiap perkataannya itu mengandung sebuah dosa yang teramat besar.
Kembali Syara genggam erat kedua roda itu dengan kedua tangan yang gemetar. Kedua netranya pun merapat sempurna untuk mengurangi setiap rasa takut yang kini ia rasakan. Bersamaan dengan Lift yang Reynald naiki pun kini tiba disana. Melihat keberadaan Syara yang semakin berada disudut bangunan membuat kedua netranya membulat sempurna. Hingga tanpa aba-aba Reynald berlarian cukup kencang untuk segera menyelamatkannya. Reynald tarik dengan kasar kursi roda itu hingga hampir saja tubuh Syara terjatuh dari atasnya. Namun lebih dulu Reynald tarik satu tangannya hingga kini Syara berada didalam dekapan hangatnya yang sempat Syara kira jika saat ini ia telah berada didalam nirwana.
Namun Syara pun kembali tersadar jika perbuatan bodohnya itu tak akan pernah membawanya menuju surga-Nya. Melainkan mengantarkannya menuju penyiksaan tiada akhir. Hingga dikala ia buka kedua netranya, amarah itu pun kembali mendera dirinya. Yang ternyata saat ini ia masih berada didunia yang sama. Yang artinya kenyataan pahit itu akan kembali terus menggerusnya tanpa ampun. Karena amarahnya itu, refleks Syara pukuli d**a bidang Reynald untuk dapat ia ungkapkan kekesalannya.
"Kenapa kamu selamatkan saya! Kenapa anda gak biarkan saya mati saja! Anda jahat! Anda sudah buat saya semakin sakit berada disini! Karena memang sudah tak ada lagi gunanya saya berada didunia ini! Why you do it, hah? Whyyyyyyy!!" maki Syara yang masih terus saja memukuli d**a Reynald. Namun tak ada perlawanan sedikit pun kepadanya sebab ia tahu betul hal apa yang saat ini memang sedang Syara rasakan. Yang membuatnya justru semakin iba padanya. Dan ingin semakin dapat melindunginya.
"Please be calm! Don't you try to choose a wrong way! Cause I think you know, if what you wanna do it's wrong! Jangan konyol! Karena apa yang akan kamu lakukan itu hanya akan menghancurkan dirimu sendiri! Do you understand it!" ucap Reynald yang berusaha untuk meyakinkan Syara agar tetap berada dijalan-Nya. Namun justru hal itu semakin menyakiti hati Syara yang memang saat ini sedang kalut.
"Lepaskan saya sekarang juga! Lepaskaaaan! Anda gak pernah tahu seperti apa perasaan saya saat ini! Anda gak pernah tahu seperti apa pahitnya kehidupan yang sedang saya jalani! Dan anda gak pernah tahu apa akibatnya jika aku tetap berada di dunia ini! Lepaskan saya sekarang juga... Lepaskaaaaan! Tolong biarkan saya matiiiiii!!!" maki Syara lagi dengan segenap kefrustrasian yang kini tengah ia rasakan.
"Saya gak akan pernah melepaskan kamu! Karena saya juga gak akan pernah membiarkan kamu melakukan hal itu! Sebab saya yakin jika akan ada jalan penyelesaian masalah kamu itu!" ucap Reynald yang justru kini semakin mengeratkan pelukannya.
"Anda bisa bicara seperti itu karena kamu gak pernah tahu kebenarannya! Saya tahu jalan yang saya ambil ini salah! Saya tahu jika cara saya memang akan menghancurkan hidup saya! Tapi setidaknya mereka yang sudah tak lagi menginginkan saya akan bahagia dengan sebuah pilihan yang telah saya ambil!" ucap Syara yang terdengar begitu pasrah dengan keadaannya saat ini. Sebab sudah tak ada lagi gunanya ia melawan takdir hidupnya.
Reynald lepaskan pelukannya dengan perlahan seraya ia rengkuh kedua bahu Syara. “Saya yang akan menjamin kamu jika kehidupan kamu setelah ini akan jauh lebih baik. Saya yang akan tanggung semua biaya rumah sakit kamu. Siapa yang bilang saya gak tahu masalah kamu? Saya tahu semuanya. Nama kamu Indira Syara Atmaja, kan?” Reynald berusaha meyakinkan Syara dengan setiap perkataannya yang begitu lembut.
Syara pun tersenyum miring seraya ia tundukan kepalanya. “Saya bukan seorang benalu yang gemar menyusahkan orang lain. Lebih baik saya sudahi semua ini ketimbang saya harus menjadi beban. And ones again, anda bisa mengetahui nama saya, itu karena anda yang menangani saya sejak awal. Jadi jangan pernah anda berusaha untuk menghalangi saya. Karena anda tidak punya hak apapun dalam hal itu!” Maki Syara seraya dengan kasar ia lepaskan rengkuhan Reynald dari kedua bahunya.
“Saya belum selesai bicara, Syara. Siapa yang bilang jika semua bantuan yang akan saya berikan itu gratis? Dan saya sudah mengetahui kamu itu jauh sebelum saya menjadi seorang, dokter, untuk kamu. Kamu, akan saya pekerjakan di kafe milik teman saya. Dari sana, kamu akan bisa mencicil setiap hutang-hutang kamu kepada saya. Dan bagaimana saya bisa mengenal kamu, itu karena kamu adalah salah satu mahasiswi dari Papa saya, Profesor Raymon Sugiharto.
“Sebelum, Papa, sakit. Papa, sempat bercerita jika kamu menghilang dari kampus tanpa kabar. Hingga ada rumor dikampus jika kamu dan Almarhum Papa, kamu meninggal karena kecelakaan itu. Tapi karena, Papa, gak percaya, Papa, sempat mencari tahu sendiri sehingga, Papa, ketahui jika kamu koma dirumah sakit. Sebenarnya, Papa, masih ingin memperjuangkan beasiswa kamu. tapi karena, Papa, jatuh sakit akhirnya, Papa, gagal.
“Papa, yang memang kagum sama kamu, sering menceritakan kepada anak dan istrinya untuk menjadikan kamu sebagai panutan. Karena seorang, Syara, yang kami kenal memanglah seorang Syara yang ulet, pintar, baik hati, dan tak mudah pasrah. Tapi sungguh saya kecewa ketika saya menjumpai seorang, Syara, yang ternyata memilih menyerah dengan cara yang sungguh menyedihkan. Walau saya yakin jika masih banyak jalan untuk kamu tetap bertahan,” jelas Reynald panjang lebar. Yang cukup membuat Syara tercengang juga merasa teramat malu kepada Tuhan-Nya, Profesor Raymond, Reynald juga dirinya sendiri atas tindakan bodoh yang akan ia ambil.
‘Jadi, dokter, ini adalah putra dari Prof Raymond? Dan ternyata, Prof Raymond, jatuh sakit. Pantas aku sudah tak lagi melihatnya dikampus. Dan egoisnya aku tidak pernah mencari tahu akan hal itu. Padahal, Prof Raymond telah menjenguku, juga telah mengusahakan kembali beasiswaku. Astaghfirullahhalladzim. Bodohnya aku! Mengapa aku sampai selemah ini karena kembali diterpa masalah. Ampuni aku, ya Rabb,” gumam Syara dalam hati.
“Apa kamu masih ingin menyerah Syar? Setelah kamu tahu jika masih banyak orang yang memedulikan kamu selain temanmu? Karena saya yakin. Sepelik apapun masalah kamu dengan Ibu dan Adikmu, sudah pasti masih ada cinta dihati mereka yang terpendam dalam karena masalah itu. So, sekarang waktunya kamu untuk membuktikan kepada mereka jika memang kamu mampu. Dan kamu, bukanlah seorang yang bersalah. Melainkan semua terjadi karena sebuah takdir, Tuhan,” bujuk Reynald lagi yang berusaha untuk meyakinkan.
“Lalu bagaimana kabar, Prof Raymond, sekarang? Beliau sakit apa? Apa beliau dirawat disini? Jika, dokter, ijinkan. Saya ingin bisa menemui, Pak Raymond, saat ini juga. Karena sungguh saya telah berdosa. Setelah saya sadar dari koma, saya sudah mulai lupa jika saya memiliki, dosen, yang begitu baik juga peduli terhadap saya. Yang selalu saja menganggap saya bagai anak kandungnya sendiri,” ucap Syara dengan airmata yang terus berlinang. Dan karenanya Reynald cukup merasa lega. Sebab saat ini, Syara mulai terlihat memiliki sebuah semangat dalam hidupnya.
“Alhamdulillah. Kabar, Papa,
sudah membaik. Papa, memiliki riwayat jantung yang cukup buruk. Dan, Papa, orang yang cukup sulit untuk pantangan. Terlebih, beberapa bulan kemarin ada masalah didalam keluarga kami, sehingga hal itu membuat, Papa, sering absen mengajar dan, Papa, berulang kali masuk rumah sakit. Ya, Papa, dirawat dirumah sakit ini. And sure, Papa, akan sangat bahagia jika mahasiswi kesayangannya akan menjenguknya,” jelas Reynald lagi yang cukup membuat Syara tersadar jika setiap orang hidup memang memiliki jalan hidup juga masalahnya masing-masing. Bukan hanya dirinya satu-satunya yang menderita.
“Alhamdulillah. Saya mohon maaf atas setiap sikap tak sopan kepada, dokter. Karena sungguh, saya benar-benar sedang kalut. Jika, dokter, ijinkan, saya mohon sama, dokter, untuk antarkan saya keruangan, Prof Raymond. Apa bisa?” pinta Syara lagi dengan sopan.
Dan Reynald pun mengangguk pasti seraya ia tersenyum manis. “Tentu saja bisa, Syara. Mari,” ajak Reynald yang kini mulai membantu Syara untuk kembali menduduki kursi rodanya. Dan kini Reynald mulai mendorongnya memasuki lift. Yang entah mengapa, meski sekedar hanya berada didekat Syara seperti saat ini saja, sudah membuatnya merasa teramat bahagia. Juga semakin merasa jika memang ia harus selalu menjaga Syara disetiap harinya.
Syara pun kembali merasakan hal yang sama. Degup jantungnya terasa tak bermelodi dikala kini ia rasakan jika mereka tengah saling berdekatan. Masih tak menyangka jika seorang dokter yang menanganinya yang menjadi sebuah penolong dalam hidupnya. Bagai malaikat yang Tuhan ciptakan dan dikirimkan khusus untuknya. Namun Syara masih tak yakin jika dokter Reynald adalah seorang lelaki single yang suatu hari nanti akan menjadikannya kekasihnya. Hingga kini mereka baru saja tiba didepan ruangan Pak Raymond. Namun Syara yang masih saja larut didalam lamunannya tak menyadari akan hal itu. Satu hal yang membuat Reynald bahagia saat ini, yaitu dikala Reynald melihat senyuman manis Syara yang tengah terukir indah dibibir mungilnya. Yang membuatnya semakin yakin jika Syara sudah mulai merasa bahagia saat ini.
Reynald goyang goyangkan tangannya didepan didepan wajah Syara yang masih saja melamun dengan senyuman manisnya itu. “Hello... Syar... Syara... are you okkay?” tanya Reynald yang membuat Syara tersadar seketika dari lamunannya.
“Oh, iya sorry. Ada apa dok?” tanya Syara dengan gugupnya. Sebab kini wajah Reynald berada tepat didepan wajahnya dengan senyuman manisnya.
“Ehehe. No, nothing. But, kita sudah berada didepan ruangan, Papa saya,” jawab Reynald yang sungguh membuat Syara merasa malu. Sebab ia baru menyadari jika sejak tadi ia terus saja melamun. Dan kini Syara hanya bisa meringis menahan malu.
“Oh iya. Sorry ya, dok. Tadi saya melamun,” jawab Syara dan Reynald pun kembali tersenyum seraya ia mengangguk. Sedangkan, Syara, kini ia tengah memandangi Prof Raymond yang masih mengenakan selang oksigen dengan tatapan yang nanar. Sebab rasa bersalah itu yang masih bersarang pada dirinya. Juga membuat Syara kembali teringat akan setiap kebaikan Prof Raymon selama ia mengajar Syara dikampus. Juga membuatnya teringat sosok sang Papa.
“Syar, are you okkay? Kenapa kamu menangis? Kita masuk yok?” tanya Reynald hati-hati.
“Eum, gak apa-apa kok. Saya cuma jadi keingget waktu beliau mengajar saya dikampus. Saya rasa kita gak usah jadi masuk sekarang deh, dok. Karena saya gak mau mengganggu waktu istirahatnya, Prof Raymon. Karena saya bisa melihat beliau dari sini saja sudah benar-benar bersyukur. Kalau begitu, saya pamit kembali kekamar ya, dok,” jelas Syara. Seraya ia hendak memutar kursi rodanya. Namun Reynald lebih dulu memegang kursi roda itu.
“Okkay baik jika seperti itu mau kamu. But please, boleh kalau saya antar kamu sampai kekamar? Karena saya tahu kalau kamu masih perlu banyak istirahat. Okkay,” pinta Reynald dengan sopan.
“Tidak usah, dok. Insya Allah saya bisa dan saya akan baik-baik saja. Lebih baik, dokter Reynald, menjaga, Prof Raymon, saja,” tolak Syara dengan sopan.
“Ada, Mama, yang sepertinya sekarang sedang di toilet. Syara, please. You are my patient now. And I’m your doctor. So please, ijinkan saya untuk selalu menjaga juga membuat kamu aman. Agar kamu bisa segera pulih seperti sedia kala,” jelas Reynald yang membuat Syara tak lagi dapat menolak permintaan tulus Reynald padanya.
“Okkay, dok. Jika memang tidak merepotkan,” jawab Syara yang kembali membuat Reynald merasa lega. Dan tanpa berkata kini Reynald mulai memutar kursi roda Syara dan segera mengantarkannya menuju kamarnya.
“Tidak ada kata merepotkan bagi seorang, dokter, untuk melayani, pasiennya, dengan baik. Jadi akan saya pastikan jika pasien saya harus terlayani dengan baik,” jawab Reynald yang sungguh mengena dihati Syara. Dan ia yakini jika setiap perkataan Reynald itu memang tulus.
Kini mulai Reynald bukakan pintu kamar Syara seraya ia bantu Syara untuk berdiri dan mendudukannya di bankarnya. Lalu kembali mereka saling tersenyum satu sama lain. Yang lagi-lagi hal itu membuat jantung keduanya berdebar kencang.
“Terima kasih ya, dok. Sekali lagi saya minta maaf atas sikap kurang sopan saya kepada, dokter Reynald. Saya, minta maaf karena saya gak sedikit pun tahu akan sakit yang, Prof Raymond, derita. Dan saya juga sangat berterima kasih atas pertolongan, dokter, kepada saya, di roof top tadi. Saya gak tahu akan seperti apa nasib saya jika tadi, dokter, tidak mendatangi saya. Mungkin saya akan kehilangan segalanya juga akan mendapatkan penyiksaan yang jauh lebih pedih tanpa akhir,” ucap Syara penuh rasa syukur.
Reynald pun kembali tersenyum lebar penuh kelegaan. “Jangan berterima kasih kepada saya, Syar. Tapi berterima kasihlah kepada takdir Tuhan. Akhirnya kamu sudah menyadari jika tindakan kamu tadi itu memang salah. So, sekarang saya minta sama kamu, untuk jangan pernah kamu mengulagi hal itu lagi ya. Karena apa yang saya katakan tadi itu tidak main-main. Sebagai seorang, dokter, untuk kamu, akan saya pastikan jika kamu akan segera kembali sehat. Dan saya akan segera memberikan kamu pekerjaan. So, stay strong and fighting. Cause everything it’s gonna be okkay, trust me, Syara,” ucap Reynald lagi dengan yakinnya. Dan Syara pun mengangguk yakin dengan senyuman manisnya.
“Okkay, Syara. Saya permisi ya. Selamat beristirahat ya. Good night, have a nice dream,” salam Reynald yang lagi-lagi membuat Syara bahagia berkali-kali lipat.
“Thaks, doc. Good Night and have a nice dream too,” jawab Syara yang juga membuat Reynald turut merasa teramat bahagia saat ini.
Setelah mereka saling berpisah, kini keduanya saling tersenyum-senyum sendiri dan kembali mengingat-ingat moment kebersamaan mereka yang memang cukup menegangkan namun juga unik dan menyenangkan. Hingga kedunya mulai merasakan sebuah kebahagiaan yang sebelumnya pernah hilang dihati Reynald. Sedangkan kebahagiaan saat ini adalah sebuah kebahagiaan yang pertama kali Syara rasakan. Karena sebelumnya ia tak bernah berani untuk sekedar jatuh hati kepada seorang lelaki. Agar ia selalu dapat lebih fokus dengan pekerjaan juga kuliahnya. Kedua hal yang teramat penting bagi masa depannya karena akan dengan mudah ia menggapai cita-cita juga mimpi besarnya.
Namun berbeda dengan kali ini, entah mengapa, rasanya cukup sulit bagi Syara untuk menahan setiap gejolak yang berbeda dari dirinya. Walau sebenarnya ia belum sepenuhnya yakin. Jika Reynald pun memiliki sebuah rasa yang sama padanya. Begitu pun dengan Reynald. Ia yang sebelumnya selalu saja berusaha menjaga hatinya hanya untuk Amara seorang, kini pun sudah mulai membuka hati sejak pandangan pertama mereka dipertemukan. Tak seperti sebelum-sebelumnya ia yang selalu saja menghindar juga menjauh kepada siapa pun itu yang berusaha untuk mendekatinya. Hingga keduanya sama-sama tengah kasmaran namun Reynald belum punya nyali untuk mengungkapkan.
‘My God, Syar. Apakah kamu memang harus lebih bersyukur dengan musibah ini? Karena kini kamu tengah dipertemukan, Tuhan, dengan sesosok lelaki yang mungkin memang tengah kau damba sejak lama, Maa Syaa Allah.. I can’t say anything. But know I believe about one thing. Jika memang akan selalu ada keindahan setelah setiap musibah yang kita alami.’ Gumam Syara dalam hati.
‘Cuma kamu satu-satunya wanita yang bisa membiusku sejak pandangan pertama, Syar. Sama disaat pertama kali aku menemukan Amara. Kuharap, ini dalah sebuah pertanda jika memang kamu seorang wanita yang akan, Tuhan, kita takdirkan untuk menjadi pendamping hidupku.’ Gumam Reynald dalam hati.
***
To be continue