Tanpa menunda waktu lagi dengan menjinjing tas besar serta mengeblok tas yang selama ini dia pakai untuk sekolah, berjalan santai tanpa menunjukkan gerakkan yang sangat mencurigakan sejak keluar rumah kecil. Layaknya sedang mau berangkat ke sekolah saja, tetapi dia tetap menghindari beberapa maid yang sekiranya akan berpapasan dengannya, mengendap-endap hingga akhirnya langkah kakinya sampai di gerbang mansion yang kebetulan sekali agak terbuka. Sara senang sekali melihatnya dan langkah kakinya semakin bergegas keluar dari gerbang tinggi dengan cepatnya.
“Alhamdulillah,” gumam Sara sembari menolehkan ke belakang bahunya sekilas, berharap security mansion tidak sadar jika dia keluar membawa tas besar. Setidaknya Sara tidak mengambil barang yang bukan miliknya, semua barang dan furnitur di rumah itu sejak awal sudah tersedia, jadi kala itu Sara dan ayahnya hanya bawa badan dan baju saja.
Saat ini Sara belum ada tujuan mau ke mana, tetapi setidaknya dia sudah keluar dari mansion dan pergi dulu sejauh mungkin sembari memikirkan tujuan hari ini.
Bik Wiwik yang diminta mencari Sara bergegas ke rumah kecil itu siapa tahu Sara ada di sana.
“Sara!” panggil Bik Wiwik sembari membuka handle pintu kemudian masuk ke dalam mencari keberadaan gadis itu.
“Sara, kamu ada di kamar'kah?” tanya Bik Wiwik celingak-celinguk di ruang tamu berukuran kecil itu, lalu mendekati pintu kamar yang terbuka lebar.
“Sara.” Bik Wiwik kembali memanggilnya sembari menatap isi kamar Sara yang tampak tidak ada pemiliknya. Netranya menatap gaun brokat yang dipakai gadis itu tergeletak di atas ranjang.
“Ini baju yang tadi dia pakai, sekarang dia-nya ke mana?” gumam Bik Wiwik bertanya, entah kenapa mendadak hatinya tidak tenang, akhirnya wanita paruh baya itu mencari ke kamar sebelah dan kamar mandi tetap dia tidak temui keberadaan gadis itu.
“Duh pergi ke mana sih Sarah?” Bik Wiwik mendesah pelan, lantas buru-buru keluar untuk mencari keberadaan Sara di sekitar mansion.
Wanita paruh baya itu berkeliling di area belakang mansion, tempat di mana Sara suka bermain atau sekedar duduk santai di sana, sayangnya tetap dia tidak melihatnya. “Gak mungkin dia ada di dalam mansion'kan,” bertanya sendiri Bik Wiwik, karena memang Sara hanya ke mansion kalau di suruh atau ada salah satu maid minta bantuannya selebihnya dia ada luar mansion, atau di ruang laundry membantu cuci baju di sana, kemudian kembali ke rumah kecil itu.
“Citra, kamu lihat Sara gak?” tanya Bik Wiwik ketika berpapasan dengan Citra di pintu belakang mansion.
Citra langsung menggeleng, “Saya gak lihat Bik, memangnya kenapa Bik?” Citra balik bertanya.
“Nyonya Hana minta Sara ke ruang keluarga, kalau begitu bantu saya cari Sara sebentar ya, kalau sudah ketemu telepon saya ya,” pinta Bik Wiwik, masih berusaha tampak tenang.
“Oke Bik, saya bantu cari ke dalam,” balas Citra, bergegas masuk lebih dalam mencari Sara, begitu juga dengan Bik Wiwik, sesekali bertanya dengan maid yang lain, alhasil mereka juga tidak melihatnya. Hingga hampir 30 menit mereka bersama-sama mencari Sara tetapi tidak juga membuahkan hasil.
“Bik, mungkin Sara pergi keluar gak? Mending telepon saja,” saran Citra saat mereka berkumpul kembali di area belakang mansion.
“Keluar? Ke mana? Sara udah lulus sekolah gak mungkin ke sekolahan,’kan? Di luar sana dia gak punya saudara,” gumam Bik Wiwik, alis wanita paruh baya itu saling bertautan, pandangannya kembali melihat rumah kecil itu dari kejauhan, dan mengingat kejadian pernikahan Sara dengan Edwin.
Citra hanya mengedikkan kedua bahunya. “Semoga saja tidak ada kejadian seperti seminggu yang lalu ya, Bik,” timpal Citra malah berpikir negatif, alhasil Bik Wiwik ikutan berpikir negatif juga.
“Astagfirullah, jangan sampai ya Allah. Sepertinya kita harus memastikan sesuatu Cit,” ucap Bik Wiwik, kakinya kembali melangkah cepat menuju rumah kecil itu disusul Citra yang ikutan khawatir.
Pintu rumah itu kembali terbuka, Bik Wiwik bergegas masuk ke kamar Sara dan memperhatikan hal yang mencurigakan, lalu mendekati lemari pakaian, tercenganglah wanita itu melihat isi lemari pakaian Sara yang terlihat berkurang, dengkulnya terasa lemas.
“S-Sara sepertinya p-pergi, Cit,” ucap Bik Wiwik terbata-bata, tubuhnya pun diseret untuk duduk sejenak di tepi ranjang kecil itu.
Citra ikutan melirik isi lemari seiringan dengan napas panjangnya.
“Dia gak punya siapa-siapa di luar sana Cit, malang sekali nasib Sara Citra,” gumam Bik Dewi, dadanya terasa sesak, tangannya pun terulur memukul dadanya sendiri mencoba untuk tidak menangis, tetapi tetap saja netranya tergenang air mata.
“Bik, pinjam ponselnya biar saya coba telepon Sara-nya,” pinta Citra sembari mengulurkan tangannya, lantas Bik Dewi mengeluarkan ponselnya dari saku rok hitamnya.
Citra cekatan scroll kontak person mencari nama Sara, kemudian segera menghubunginya, sayangnya nomor gadis itu tidak aktif. Lantas, wanita itu menghela napas panjang sembari menarik ponsel tersebut dari daun telinganya. “Teleponnya tidak aktif, Bik,” ucap Citra setelah berulang kali menghubunginya.
Bik Wiwik memejamkan netranya sejenak sembari menghela napas panjangnya. “Ya Allah Sara, kenapa perginya gak bilang dulu?” sesal Bik Wiwik. Wanita paruh baya itu merasa kejadian tadi pagi sepertinya pukulan berat bagi Sara, ditambah masih dalam keadaan berduka. Setidaknya jika Sara ingin kabur bisa pamit terlebih dahulu dengannya dan masih bisa dihubungi, tidak seperti ini pikir Bik Wiwik, akan tetapi sudah terjadi.
Dalam kondisi yang gusar Bik Wiwik membuka kelopak matanya kembali, lalu bangkit dari duduknya. “Saya mau menemui nyonya Hana, nanti kamu coba lagi hubungi Sara, semoga saja masih bisa tersambung lagi,” pinta Bik Wiwik dengan wajahnya yang memelas.
“Ya Bik, nanti saya coba telepon lagi,” balas Citra, dan Bik Wiwik melangkah keluar rumah kecil menuju mansion.
Setibanya di ruang keluarga, Hana dan Edwin tampak masih menunggu kedatangan Sara sembari menikmati hidangan kudapan yang telah disiapkan. Bik Wiwik menarik napasnya dalam-dalam, setelah itu baru menyambangi kedua majikan tersebut.
“Permisi Nyonya Hana, Tuan Edwin, saya sudah mencari Sara ke mana-mana, dan sepertinya dia sudah meninggalkan mansion dengan membawa pakaiannya,” lapor Bik Wiwik sangat berhati-hati.
“A-Apa Sara pergi!” terkejut Hana mendengarnya, wajahnya menatap suaminya. Dan suara hentakan cangkir yang membentur meja terdengar nyaring, rupanya itu berasal dari gelas yang dipegang Edwin.
Pria itu tampak tenang, tetapi hatinya sudah bergemuruh panas. “Berani juga dia pergi,” gumam Edwin pelan, menyunggingkan senyum sinisnya.
“Mas, sebaiknya kita harus segera cari Sara, dia itu istri kamu juga Mas,” pinta Hana sembari menggoyangkan bahu suaminya.
Kebetulan sekali mamanya Hana duduk di antara mereka berdua sama-sama menikmati kudapan. “Hana, bagus dong kalau perempuan itu pergi dari sini. Lagian kamu itu terlalu baik sekali menyetujui dipoligami. Dipoligami itu tidak enak Hana, mau apa pun itu alasannya. Kalau masalah anak kalian berdua masih bisa berusaha lagi'kan dan jangan pernah putus asa. Sebaiknya jangan cari perempuan itu demi menjaga keutuhan rumah tangga kamu sama Edwin. Syukur-syukur perempuan itu ikutan ke alam baka seperti ayahnya,” imbuh Amy dengan tenangnya dan kembali menyesap kopinya.
“Mah!” seru Hana tampak tidak suka dengan perkataan mamanya sendiri.
Hati Bik Wiwik geram rasanya dengan mulut pedas mertua majikannya itu, terlalu lancang berkata-kata.
Edwin bangkit dari duduknya dengan sedikit melirik mertuanya. Walau di benaknya tidak menyukai istri keduanya, setidaknya hatinya tidak sampai meminta gadis itu menyusul ke alam baka.
“Ikut saya Bik,” pinta Edwin terkesan dingin ketika kakinya ingin melangkah.