Bik Wiwik masih terlihat berdiri di hadapan meja kerja majikannya, sedangkan sang pemilik kini sudah duduk di kursi kebesaran, tarikan napas beratnya terlihat ketika pria itu sudah menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi.
“Sebenarnya saya agak malas sekali untuk mencari keberadaan Sara, kalau dia mau kabur dari sini juga tidak pa-pa. Jadi saya tidak ada beban untuk mengurusnya,” kata Edwin saat wajahnya mendongak menatap wanita yang sudah 15 tahun bekerja di mansionnya.
Mendengar kata-kata Edwin, Bik Wiwik hanya bisa menghela napas pelan, dan tidak bisa menimpalinya, takut terkesan tidak sopan, padahal hatinya sudah ingin mengkritik sikap Edwin.
“Aku sangka Tuan Edwin punya sedikit rasa empati atau kasihan dengan Sara yang baru saja kehilangan orang tua, lalu dinikahinya. Ternyata —,” batin Bik Wiwik tidak bisa berkata-kata lagi.
“Jadi rumah itu sekarang kosong, Bik Wiwik? Tidak ada barang mahal yang dia ambilkan?” tanya Edwin masih menatap wanita itu.
Samar-sama netra wanita paruh baya itu agak terbelalak. “Astagfirullah!” batin Bik Wiwik beristigfar, bisa-bisanya ucapan majikan mengkhawatirkan masalah barang ketimbang penghuninya.
“Sara hanya membawa pakaian dan barang miliknya sendiri, saya bisa menjamin jika gadis itu tidak akan membawa barang yang bukan miliknya. Saya sangat mengenal pribadi Sara, tetapi jika Tuan Edwin tidak mempercayai ucapan saya, Tuan bisa mengeceknya sendiri,” balas Bik Wiwik penuh dengan rasa sopan santunnya.
Pria itu menyunggingkan senyum sinisnya seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. “Kabur kalau tidak punya uang, memangnya bisa? Anak seumuran dia mana pegang uang Bik! Paling tidak dia mengambil salah satu barang berharga untuk dia jual bekal ongkosnya, percayalah. Saya sangat tahu anak seumuran dia itu hanya kabur bohongan, sebentar lagi juga akan kembali. Bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu, lihat saja kalau dia balik ke mansion. Disangkanya saya akan menerimanya kembali di sini!” balas Edwin pelan tetapi setiap kata penuh penekanan.
Bik Wiwik menarik napas panjangnya perlahan-lahan sembari memejamkan netranya sejenak, mulutnya ingin sekali mengajak majikannya berdebat, tetapi harus bisa menahan. Namun, dirinya sudah tidak kuasa lagi untuk tidak membela Sara.
“Mohon maaf Tuan Edwin bukan bermaksud saya lancang. Dan bukan maksud juga saya membela Sara, jika Tuan sangat mengkhawatirkan barang yang ada di rumah itu ada yang hilang, saya dengan beberapa maid akan mengecek dan segera melaporkannya, jadi tolong jangan menuduh Sara terlebih dahulu.”
“Dan masalah Sara kabur dari sini, jika Tuan tidak ingin mencarinya tidak pa-pa. Hanya saja saya yang masih memiliki hati sangat mencemaskannya, karena di luar sana Sara tidak memiliki siapa pun. Sementara Tuan yang baru saja menikahinya, setidaknya Tuan Edwin memiliki rasa kasihan padanya walau sedikit saja, jika tidak menyukainya. Sara baru kehilangan ayahnya Tuan, dia pun berani melakukan bunuh diri karena tidak bisa menguasai hatinya. Bagaimana kalau hari ini dia melakukan hal itu kembali? Maaf sekali lagi atas ucapan saya, Tuan,” tutur Bik Wiwik seraya menundukkan pandangannya, tidak berani menatap Edwin yang terlihat sekali tidak menyukai ucapannya.
Pria itu masih menatap dingin, kedua tangannya bersilang di dadanya, tetapi dibalik tangannya yang bersidekap itu ada kepalan erat .“Itu urusan Bibi kalau mencemaskannya! keputusan saya sekarang cek barang-barang yang ada di rumah itu, jika ada yang hilang laporkan ke saya secepat mungkin. Dan saya tidak mau tahu dia ada di mana sekarang, karena dia yang memilih pergi dari sini! Dia mau melakukan bunuh diri lagi silakan!” ucap Edwin tegas dan meninggi suaranya, padahal tersirat akan kemarahannya yang tertahankan.
Apa benar Edwin hanya ke pikiran tentang barang-barang yang sebenarnya tidak ada nilainya baginya? Kalau pun diambil dia masih bisa membelinya kembali. Atau dia menutupi rasa kekesalannya atas keberanian istri keduanya yang mendadak kabur setelah mereka berdua sempat bertengkar, hingga akhirnya dia mencari kesalahan Sara agar bisa menyalahkan sepenuhnya pada gadis itu? Lantas bagaimana jika dugaan Bik Wiwik benar, Sara akan melakukan bunuh diri lagi? Entahlah hanya Edwin yang tahu atas segala isi hatinya saat ini.
Yang jelas Sara bukanlah gadis yang baru dia kenal dalam waktu sehari, dia sudah mengenal gadis cantik itu selama 10 tahun, walau di antara mereka berdua jarang berinteraksi. Gadis kecil yang kini sudah beranjak dewasa, Edwin belum tahu saja banyak pria yang menyukainya dan menginginkannya.
Kalau majikannya sudah tidak peduli dengan Sara, Bik Wiwik hanya bisa patuh saja. “Baik Tuan, kalau begitu saya kerjakan sekarang,” ucap Bik Wiwik sebelum pamit keluar dari ruang kerja Edwin.
“Tunggu dulu!” cegah Edwin ketika wanita itu ingin berbalik badan, dia mengambil secarik kertas dan pulpen, laku ditaruhnya di ujung meja kerjanya.
Bik Wiwik kembali memberanikan menatap wajah tuannya. “Tuliskan nomor handphone Sara,” pinta Edwin dengan ekspresi datarnya. Alis Bik Wiwik terangkat, “Katanya biarkan saja Sara kabur atau bunuh diri, terus kenapa sekarang minta nomor teleponnya?” batin Bik Wiwik.
“Cepat tulis Bik!” Edwin kembali memerintah, lalu memalingkan wajahnya dengan hembusan napas beratnya.
“Eh, baik Tuan.” Bik Wiwik agak membungkukkan punggung, dan bergegas menulis nomor telepon Sara di kertas tersebut.
Sementara itu, di Botani Square, Sara celingak-celinguk mencari sosok yang satu jam lalu dia telepon untuk janji temu di tempat roti yang ada di lantai satu, sebelum mematikan ponselnya. “Semoga dia bisa datang dan menolongku,” gumam Sara sembari mengunyah roti pastrynya, kabur juga butuh tenaga ya.
Kepergian Sara dari mansion, dia tidak ada perasaan akan dicari oleh tuannya, toh dia sudah tahu jika tuannya menikahinya hanya bentuk tanggung jawab saja, dan dia tidak membutuhkannya. Maka dari itu gadis itu masih berada di daerah Bogor tidak jauh dari Sentul. Rencananya nanti malam Sara baru akan mengirim pesan pada Bik Wiwik.
“Sara!” Dari kejauhan sudah ada yang memanggil namanya. Lantas gadis itu mengerakkan kepalanya untuk bisa melihat jelas orang yang memanggilnya, karena banyak orang yang berlalu lalang.
“Tita, aku di sini!” balas Sara dengan melambaikan tangannya, kemudian dia beranjak dari duduknya biar terlihat.
Gadis yang seumuran dengan Sara langsung mendekatinya dan mereka berdua pun berpelukan. “Sara, aku turut berduka cita ya atas meninggalnya ayah kamu. Kenapa gak kasih kabar sih ke aku?” tanya Tita saat memeluk sahabatnya.
“Aku syok Tita,” balas Sara saat mereka berdua merenggangkan pelukannya, dengan tatapan sendunya dia memandang sahabatnya. Lantas pandangan Tita turun ke arah tangan Sara yang masih diperban.
“Sara, tangan kamu ini kenapa?” tanya Tita dengan tatapannya penuh pertanyaan, dan menyentuh lembut tangan Sara.
“Kita duduk dulu ya, aku akan ceritakan semuanya. Dan semoga saja kamu bisa menolongku,” pinta Sara mengajak sahabatnya duduk di meja yang sudah dia tempati sejak satu jam yang lalu. Dan dimulailah Sara bercerita dari ayahnya yang meninggal, lalu di hari yang sama dia melakukan percobaan bunuh diri hingga kejadian dia dinikahi oleh Edwin.
“Apa Sara! Kamu coba bunuh diri dan sekarang dinikahi paksa sama bos ayah kamu! Astaga! Kamu gak bohongkan!” Tita luar biasa terkejut, sampai netranya mau keluar dari tempatnya.
Sara menggeleng pelan. “Aku gak bohong, tolong bantu aku, Tita.”