"Ayah, Sara ikut ... jangan tinggalkan Sara, Ayah!” teriak Sara begitu memilukan, sejak tadi pagi air matanya deras mengalir hingga saat ini. Tubuh gadis itu pun ditahan oleh Bik Wiwik dan Ibnu, kedua rekan kerja ayahnya di mansion Edwin.
“Ayah!” jerit Sara semakin meluap kesedihannya saat raga ayahnya yang sudah dibungkus pakai kain kafan diturunkan ke liang lahat. Sungguh gadis itu sudah tidak kuasa melihat kepergian orang tua satu-satunya ke alam yang berbeda. Teriakan dan tangisannya pun tidak akan mampu mengembalikan jiwa dan raga Yanto, ayahnya Sara.
Seminggu yang lalu Yanto yang bekerja sebagai sopir pribadi mengalami kecelakaan di salah satu ruas jalan tol dari kantor majikannya di malam hari. Nasib nahas menimpa Yanto, pria paruh baya itu mengalami kritis hingga harus berada di ruang ICU selama seminggu. Sementara majikannya, hanya mengalami patah tulang di bagian kaki dan luka-luka yang tidak terlalu parah.
Hingga akhirnya, ayahnya Sara mengembuskan napas tadi pagi di rumah sakit tanpa mengucapkan kata terakhir pada putri semata wayangnya. Edwin selaku putra dari majikan Yanto turut hadir di pemakaman. Pria dewasa itu hanya bisa menatap dingin memandang Sara yang menangis dan berteriak tanpa ada rasa ingin mendekati. Dan, selepas pemakaman Yanto selesai, Edwin pun bergegas ke rumah sakit untuk melihat keadaan papanya.
“Sara mau ikut Ayah! Jangan tinggalin aku sendiri, Ayah!” jerit Sara dibalik isak tangisnya yang meraung-raung.
Bik Wiwik salah satu maid yang bekerja di mansion Edwin memeluk erat Sara dan berusaha memenangkan gadis itu. “Sara, jangan nangis terus, Nak! Kasihan ayah kamu nanti dia juga ikut sedih kalau ngelihat kamu sedih begini,” kata Bik Wiwik dengan lembut. Sayangnya, ucapan tersebut tidak bisa menghentikan tangisan Sara hingga gadis itu tak sadarkan diri.
“Sara ... Sara!” panggil Bik Wiwik menyadari jika gadis itu sudah pingsan dalam pelukannya, lalu menatap pria yang ada di sebelah.
“Pak Ibnu sebaiknya kita bawa pulang Sara sekarang juga, Sara pingsan!” pinta Bik Wiwik masih menahan tubuh Sara dalam pelukannya.
Tanpa banyak bicara, Ibnu dan beberapa maid yang hadir di pemakaman itu langsung membopong tubuh Sara menuju salah satu mobil milik majikannya dan segera membawa gadis itu pulang ke mansion, tempat di mana Sara dan Yanto tinggal selama 10 tahun ini.
***
Setibanya di ruang rawat sang papa, Edwin langsung duduk di sebuah kursi yang ada di sisi ranjang. “Pemakaman Pak Yanto sudah selesai, Pah,” ucap Edwin pada Firdaus–papanya.
Pria tua itu menoleh, menatap putra pertamanya, lalu menarik napas lelah. “Kita harus bertanggung jawab pada anaknya Yanto, Edwin. Kecelakaan ini juga karena ulah keluarga besar kita yang menginginkan Papa mati,” ungkap Firdaus tampak serius.
Perebutan harta warisan berupa perusahaan yang masih ditangani Firdaus, memang menjadi kisruh di keluarga besarnya. Walaupun secara surat wasiat perusahaan milik kakeknya Edwin jatuh ke tangan Firdaus selaku anak pertama, tapi sejak lama adik tirinya sangat menentang dan ingin memiliki juga perusahaan besar tersebut.
“Papa tenang aja! Aku akan memberikan santunan pada Sara sampai seumur hidupnya." Ide Edwin yang sejak tadi sudah muncul pada saat acara pemakaman.
Firdaus berdecak, seperti tak puas dengan rencana itu. “Bukan hanya sekedar santunan Edwin, tetapi bentuk tanggung jawab yang lain. Kita kan tahu jika ibunya Sara juga sudah lama meninggal dan dia sudah tidak punya sanak saudara lagi. Jadi, Papa minta kamu segera menikahinya sebagai bentuk tanggung jawab kita,” imbuh Firdaus tampak tenang, tetapi tidak dengan putranya. Edwin merasa ide dari sang papa seperti tidak masuk akal untuknya.
Pria itu pun lantas berdiri dari posisi duduknya. “Apa Papa bilang! Aku menikahinya!” seru Edwin tampak kesal dari raut wajahnya. “Aku ini sudah menikah, apa Papa lupa? Dan, aku juga tidak berniat sekalipun untuk mempoligami Hana!” lanjut Edwin semakin tersulut emosi.
Pria tua itu berusaha tenang, tidak ingin ikut terpancing emosinya. “Papa sudah bicarakan dengan Hana kemarin dan dia sudah menyetujuinya. Hana siap dipoligami, lagi pula Hana juga sudah mengenal Sara sejak gadis itu masih kecil. Jadi, tidak ada alasan untuk kamu menolak jika istrimu saja sudah menyetujuinya. Kalau kamu tidak mau menikahinya mungkin ada baiknya Papa ikut mati saja seperti Yanto.” Kata-kata Firdaus jadi agak mengancam. “Siapa tahu dengan kamu menikahi Sara, kamu jadi bisa punya anak dan otomatis ketika Papa sudah tiada, perusahaan kakek kamu akan jatuh ke tanganmu dan bukan ke sepupu tirimu itu. Coba kamu pikirkan lagi! Perusahaan yang sekarang kamu jalani akan bertambah besar nantinya,” lanjut Firdaus coba meyakinkan Edwin agar setuju dengan rencananya.
Pernikahan Edwin Harris Firdaus dengan Hana Dhiya sudah menginjak usai pernikahan tujuh tahun, keadaan keduanya sama-sama sehat. Akan tetapi, hingga saat ini mereka berdua belum dikarunia seorang anak, padahal jalan inseminasi dan program bayi tabung sudah dilakukan tetapi belum membuahkan hasil hingga Hana pun menyerah saat program bayi tabung gagal untuk kedua kalinya.
Sekarang perasaan Edwin jadi dilema, di salah satu isi surat wasiat kakeknya, dia akan mendapatkan 70% bagian dari PT. Top Semen milik kakeknya jika sudah memiliki anak kandung. Namun, sayangnya hingga kini dia belum juga dikarunia seorang anak. Walaupun Edwin sudah memiliki perusahaan sendiri, tetap saja warisan kakeknya sangat menggiurkan.
“Pikirkanlah kata-kata Papa ini, semuanya juga menguntungkan buat kamu sendiri. Lagi pula Papa hanya minta kamu menikahi Sara, dia itu gadis yang baik, mungkin kalau wanita lain Papa tidak akan setuju.”
Edwin mengembuskan napas berat. Meredam emosi yang sempat meluap dan kembali duduk untuk memikirkan perkataan papanya barusan.
"Aku hanya mencintai Hana, mana mungkin aku mengkhianatinya, tapi …,” batin Edwin penuh dilema.
Munafik sekali kalau Edwin tidak tergiur dengan warisan yang kini jadi biang keributan di keluarga papanya, perusahaan semen yang memiliki keuntungan besar setiap bulan sekaligus menguasai pangsa pasar di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, di mansion Edwin, tepatnya di salah satu rumah kecil yang ada di belakang bangunan mewah tersebut, semua para maid dibuat heboh dengan kelakuan Sara yang kini tergeletak lemah di lantai kamarnya dengan tangan yang sudah bersimbah darah.
“Ya Allah, Sara!” jerit Bik Wiwik, tubuhnya bergetar, sementara Ibnu–sang kepala pelayan langsung menghubungi tuannya melalui sambung teleponnya.
“Ada apa lagi, Pak Ibnu?” tanya Edwin menjawab panggilan teleponnya.
“Maaf Tuan Edwin kalau saya mengganggu, ini Sara baru kami tinggal sebentar, tapi sekarang dia tergeletak dengan darah di tangannya ... dia coba bunuh diri, Tuan,” jawab Ibnu agak bergetar suaranya.
“Astaga!” Edwin tersentak dari duduknya.
“Cepat bawa ke rumah sakit sekarang juga!” perintah Edwin sembari menyugarkan rambut lebatnya ke belakang.
“Baik, Tuan,” jawab Ibnu langsung mengakhiri sambungan teleponnya.
Semakin dilemalah perasaan Edwin, ia tidak menginginkan ada hal yang aneh-aneh di mansionnya, tetapi ternyata kejadian.
“Beri aku waktu memikirkan tawaran Papa untuk menikahi Sara, Pah,” pinta Edwin saat menatap sang papa yang masih berharap putranya itu mau mengabulkan permintaannya.