Bab 2. Ikhlas dan Setuju Poligami

1146 Words
Bagi siapa pun kehilangan orang tua yang begitu mendadak pasti amat menyedihkan, apalagi jika berada di posisi Sara yang tidak lagi memiliki seorang ibu karena telah meninggal dunia sejak usianya baru menginjak lima tahun. Kini, setelah sang ayah meninggal, Sara kehilangan sandaran hidupnya. Gadis itu merasa ada di titik paling terendah, harus hidup seorang diri tanpa ayah juga sanak saudara yang sama sekali tak dimilikinya. Membayangkan hal itu, Sara pun sampai nekat bunuh diri dengan menyayat tangannya menggunakan pisau. Untung saja percobaan bunuh diri itu gagal. Nyawa Sara masih bisa tertolong. Setelah dibawa ke rumah sakit yang sama dengan tempat Firdaus dirawat, Sara langsung mendapatkan penanganan intensif dari tim medis. Edwin yang mengetahui kondisi Sara kini dapat bernapas lega. Pandangannya pun terus menatap gadis itu yang masih terbaring lemah. Ditemani Bik Wiwik yang tampak cemas duduk di samping ranjang. “Tuan Edwin,” sapa Bik Wiwik dengan hormatnya saat mengetahui majikannya masuk ke ruang rawat. Edwin mengulurkan tangan agar Bik Wiwik tak beranjak dari duduknya. Dia hanya sekedar datang untuk menengok sebentar dan tidak ada keinginan untuk berlama-lama di sana. Dipandanglah wajah Sara yang tampak pucat dan masih dalam pengaruh obat penenang. Pria itu sudah mengenal Sara sejak gadis itu berusia sembilan tahun. Gadis polos dengan mata yang sangat indah dikala pertama kali melihat Yanto membawa anaknya pindah ke rumah kecil. Parasnya juga sangat cantik, bahkan semakin cantik saat gadis itu menginjak usia 19 tahun. Namun, sayangnya Edwin tidak ada ketertarikan dengan Sara dan hanya menganggap gadis itu sebagai anak karyawannya saja, sekaligus anak kecil bagi dia yang kini sudah berusia 34 tahun. Pria itu kembali menarik napas sekaligus mengingat kembali permintaan papanya. “Bik Wiwik, tolong dijaga jangan sampai kecolongan lagi! Pokoknya kalau dia sudah sadar, Bibi cepat-cepat kabari saya, ya!” perintah Edwin, pandangannya teralihkan ke maidnya tersebut. “Baik, Tuan,” balas Bik Wiwik dengan menganggukkan kepalanya. Dirasa sudah cukup melihat gadis itu, Edwin memutuskan untuk kembali ke ruangan papanya sembari menunggu administrasi rumah sakit selesai. Kebetulan sekali ketika pria itu baru mau keluar dari ruangan Sara, dia bertemu dengan Hana–istrinya yang sepertinya ingin menyusulnya. “Bagaimana keadaan Sara, Mas? Aku baru dapat kabar dari Pak Ibnu?” tanya Hana dengan raut cemasnya. Edwin langsung menggandeng tangan istri tercintanya. “Masih tertolong nyawanya, tapi masih belum siuman. Hana, aku ingin bicara denganmu, sebaiknya kita ngobrol di coffee shop saja,” ajak Edwin menatap penuh kasih pada istrinya. “Tapi Mas, aku mau jenguk Sara dulu.” Hana agak menolak ajakan suaminya, tetapi melihat tatapan suaminya yang tidak suka dibantah, akhirnya Hana patuh mengikuti ajakan pria itu. Tibalah mereka berdua di coffee shop yang ada di lobby rumah sakit. Edwin memesan minuman untuk mereka berdua terlebih dahulu sebelum duduk bersama dengan istrinya. Setelah memesan barulah dia menyambangi meja yang sudah ditempati oleh Hana dan menjatuhkan bobotnya di kursi berhadapan dengan istrinya. “Mas Edwin ingin bicara apa? Kayaknya serius sekali?” Hana langsung bertanya saja, ketimbang menyimpan rasa penasaran. Pria itu menggenggam tangan Hana yang berpangku di atas meja. “Aku sangat mencintaimu, Hana. Selama tujuh tahun kita menikah aku selalu cinta dan menyayangimu,“ ungkap Erwin jujur dari lubuk hatinya. Sejenak Hana tertegun dengan ucapan suaminya yang sangat jarang mengucapkan kata cinta, tetapi seluruh sikap suaminya sudah membuktikan cinta dan kesetiaannya. “Mas.” Erwin menatap dalam wajah ayu istrinya, sangat sempurna baginya tak ada cela sedikit pun, istri yang patuh dan sangat perhatian padanya. “Aku tadi bicara sama papa dan sepertinya kamu sudah tahukan arah pembicaraanku?” tanya Edwin pelan. Hana mengatup bibirnya, paham apa yang dimaksudkan oleh Edwin. “Mas, aku–” “Kenapa semudah itu kamu menyetujui ide papa agar aku menikahi anaknya pak Yanto? Memangnya kamu sudah siap dipoligami?” cecar Erwin tanpa terlalu menekan ucapannya. “Mas–“ “Apa kamu sudah siap dipoligami, Hana? Sedangkan aku tidak punya keinginan untuk menikah lagi! Istriku hanya satu dan aku akan berusaha menerima keadaanmu meski kamu belum bisa memberikan keturunan untukku!” Erwin kembali menyela ucapan Hana. Hana menggeleng lemah, manik matanya agak berkaca-kaca. “Mas Edwin, dengarkan aku dulu! Sebenarnya semalam aku ingin membicarakan sama Mas, tapi melihat Mas sibuk mengurus papa jadi aku batalkan niatku untuk menyampaikannya. Aku sangat mencintaimu, Mas, tapi di sisi lain aku harus tahu diri jika sampai saat ini aku belum hamil dengan segala pengobatan yang kita lakukan. Kalau di bilang siap untuk dipoligami, aku sama dengan istri yang lain tidak mau dipoligami!” Hana sejenak menghela napasnya. Wanita itu tampak menguatkan hati untuk lanjut bicara, "Tapi karena keadaan ini aku harus ikhlas demi Mas dan keluarga Mas sendiri, apalagi dengan kejadian ayahnya Sara meninggal karena keluarga kita sendiri, aku semakin ikhlas jika Mas menikahinya. Papa sudah menjelaskan semuanya padaku, Insya Allah aku siap dimadu jika Sara-lah adik maduku. Aku sudah mengenalnya dan aku harap Mas mau memenuhi keinginan papa,” imbuh Hana begitu lemah lembut saat bicara. Mendengar penuturan sang istri, Edwin menarik napas dalam-dalam seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Entah terbuat dari apa hati Hana yang malah ikhlas dipoligami. “Sayangnya, aku tidak bisa melakukannya,“ balas Edwin pelan, lantas kini bergantian Hana-lah yang menggenggam erat tangan suaminya. “Aku mohon sama kamu, Mas. Kalau Mas Edwin sangat mencintaiku, tolong kabulkan permintaan papa! Jangan membuat aku terkesan sebagai menantu yang tidak hormat pada mertuanya. Aku sangat ikhlas jika Mas menikahi Sara, kalau wanita lain … mungkin aku harus berpikir ulang,” mohon Hana dengan netranya semakin basah. "Aku tahu Mas sangat mencintaiku. Jadi, aku tidak khawatir jika Mas menikah dengan Sara karena Mas juga tidak menyukainya. Sebenarnya aku lelah Mas dituntut segera hamil sama papamu dan aku juga mendambakan kehadiran seorang anak dalam pernikahan kita. Sekarang kesempatanku, walau aku harus memilikinya dari rahim Sara," batin Hana bermonolog sendu. Rasanya menyakitkan, tetapi dia yakin bisa melaluinya meski harus menahan luka. Pria itu mendesah, pandangannya teralihkan ketika waiters datang mengantar pesanannya. “Terima kasih,” ucap Hana ramah ketika dua gelas cappucino latte dengan dua potong donat glazzy sudah terhidang di mejanya. Genggaman tangan mereka pun lepas, lalu sama-sama menyesap minuman masing-masing. “Semoga Mas bisa mengabulkan permintaanku dan papa. Jika sekiranya setelah Mas menikahi Sara dan merasa tidak cocok, silakan Mas menceraikannya, tapi setidaknya tunggu Sara mengandung anak, Mas. Bukankah Mas juga butuh kehadiran anak kandung biar Mas sah memiliki perusahaan kakek, Mas.” Hana melanjutkan pembicaraan usai menyesap sedikit minumannya. Edwin kembali menatap istrinya dengan tatapan menyelidiknya. “Baiklah, kalau kamu sudah ikhlas dan setuju aku menikahi Sara, tapi jangan salahkan aku jika nantinya terjadi sesuatu hal. Aku tidak berniat mengkhianati cinta kita! Tapi … keadaan ini membuatku terpaksa melakukannya, apalagi kamu bersikeras agar aku menyetujuinya,” balas Edwin sarat dengan makna. Mendengar ucapan suaminya, Hana hanya bergeming dengan kedua tangan yang masih menggenggam erat gelas minuman. Pikirannya seketika jauh ke depan. Membayangkan apa yang akan terjadi dengannya. Apa dipoligami adalah hal yang bisa dia jalani?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD