Part 3 Aneh

1669 Words
"Tuan, saya sudah menemukan pak Jaya." ucap seseorang yang baru saja masuk ke ruangan kerjaku. "Bagus, terus informasi apa lagi yang kamu dapat?" tanyaku beranjak dari kursi dan menghampiri Billy, tangan kananku. "Pak Jaya ternyata menjadi salah satu manager di hotel milik tuan yang berada di Bandung, lalu dari informasi yang saya dapat beliau sedang di pantau karena ada kasus penggelapan dana hotel." "Manager.? Bukannya dia memiliki usaha?"  "Tiga tahun lalu, usahanya bangkrut. Tapi saya belum mendapatkan info lain kenapa beliau bekerja di hotel anda, tuan."  "Cari tahu semuanya. Lalu kenapa saya belum menerima laporan mengenai kasus tersebut?"  “Pihak hotel disana masih menyelidiki kasus ini tuan, dan banyak sekali kemungkinan yang bisa terjadi. Pak Jaya begitu pintar, beliau bisa saja memanipulasi semuanya seakan beliau tidak terlibat dengan kasus tersebut.” “Tetap pantau pergerakannya.” “Baik tuan, karena jika pak Jaya terlibat maka kita bisa dengan mudah menaklukannya. Seperti yang tuan harapkan.” Aku mengangguk kemudian tersenyum menyeringai, akhirnya aku bisa membalaskan dendam orangtuaku tanpa perlu membunuh orang itu, tapi aku ingin melihat sendiri dia menderita menjalani hidupnya. "Kau benar. Karena saya tak butuh apapun selain melihat orang itu menderita." "Kau tahu kan bil, apa yang harus dilakukan." lanjutku dengan nada dingin. "Baik tuan, saya akan segera melaksanakan semua yang tuan inginkan." "Kau memang selalu bisa saya andalkan." Billy keluar dari ruanganku, kemudian aku melihat foto yang terpajang diatas meja kerja. Foto kedua orangtua dan juga adik kembarku, Aresa. "Arvin gak akan biarin mereka yang merusak kebahagiaan kita, hidup dengan tenang. Aku janji." ucapku mengepalkan tangan. ______  Aku keluar rumah menghirup udara pagi menjelang siang ini. Hari minggu ini sama seperti hari biasanya, tidak ada yang spesial bagiku. Bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari kapan aku keluar di hari minggu menikmati waktu santai seperti ini. Sekarang setelah beberapa waktu ini aku sibuk dengan kerjaan dan juga balas dendamku pastinya. Akhirnya aku bisa keluar rumah dengan santai, tujuanku kali ini mungkin cafe, tempat yang selalu aku kunjungi. Tak ada tempat lain, yang menarik bagiku. Karena jika Ares lebih memilih untuk keluar dengan Kemal, maka seorang Arvin tak suka dengan hal itu, aku lebih suka duduk di sudut cafe sendirian dan menghiraukan orang-orang yang berada disekitarku. Masuk kedalam cafe, aku beruntung karena suasana cafe ini tak begitu ramai. Setelah memesan secangkir mocca, aku lebih memilih duduk di sudut cafe. Tak berselang lama, pesananku datang dan waktunya menikmati kesendirian ini. Bagi orang mungkin menyebalkan, bagiku tidak sama sekali. Aku cukup lama berada disini, sendirian dan tenang tanpa gangguan dari siapa pun termasuk pengunjung di cafe ini. Sampai mataku tak sengaja menatap seorang pelayan yang tengah menunduk di depan pengunjung. Lalu aku melepas earphone yang sedari tadi terpasang di telingaku. "Kalau kerja yang bener, kamu tahu pakaian saya ini mahal." ucap wanita yang menggunakan dress berwarna merah. Pelayan yang berada di hadapannya menunduk dan entah kenapa itu mencuri perhatianku. Anehnya lagi kaki ini tiba-tiba berjalan mendekati dua wanita tersebut yang saat ini sudah menjadi pusat perhatian pengunjung di cafe ini. "Pokoknya kamu harus ganti rugi." ucap wanita tersebut. "Berapa?" dengan refleks aku bertanya setelah berdiri di samping pelayan yang masih menundukkan kepalanya, seolah takut melihat wanita yang berada di depannya. "Berapa ganti rugi yang anda butuhkan?" tanyaku lagi. Wanita yang berdiri dengan angkuh dihadapanku terdiam, sementara gadis disampingku saat ini menatapku dengan wajah manisnya. Manis, ah.. Sialan. Kenapa gue berpikir seperti itu, batinku.  "Maaf saya hanya berurusan dengan pelayan ini. Bukan dengan anda." ucap wanita itu masih bersikap angkuh. "Memang anda siapanya?" tanya wanita tersebut padaku. Aku terdiam, Aku juga tak tahu kenapa tiba-tiba melakukan hal ini, bahkan aku sama sekali tak mengenal siapa gadis yang berada di sebelahku ini. Aku menghela nafas dan... "Saya kekasih nya." Bagus, lo baru aja membuat masalah Arvin. Perkataanku tadi membuat semua yang berada disini terkejut, begitu juga gadis di sampingku. Tapi aku mengabaikannya dan malah merangkul pinggang gadis ini dengan begitu santai. "Jadi berapa yang harus saya berikan sebagai ganti rugi karena kesalahan kekasih saya?" tanyaku menatap tajam wanita tersebut. "300 ribu." Aku mengeluarkan uang didalam dompet dan memberikan beberapa lembar pada wanita tersebut. Kemudian menarik tangan gadis di sebelahku untuk keluar dari cafe. ______  "Lepas." ucap gadis tersebut membuatku menghentikan langkah kaki ini. "Maaf seharusnya anda tidak melakukan hal tersebut. Saya tidak mengenal anda tuan." ucapnya menatapku.  Sial, matanya kenapa mirip aruna. "Tuan.." Aku tersadar dan menatap dia lagi. "Saya akan ganti semuanya." ucapnya.  "Gak perlu." balasku santai. "Saya merasa berhutang budi. Jadi saya akan mengganti uang anda." "Gue gak butuh." Aku terus memperhatikan gadis itu, yang saat ini tengah menunduk dengan memainkan jari nya. Sepertinya dia takut melihatku sampai tak menatap mataku lagi dan kenapa semua yang dia lakukan sama seperti Aruna saat dia takut karena kemarahanku.  "Tapi saya..." "Kalau ngomong liat orangnya." ucapku memotong perkataannya. Dia mengangkat wajah dan menatapku kembali. "Saya merasa tidak nyaman karena sudah berhutang.”  Aku bisa melihat raut wajahnya yang tampak gugup, membuatku diam-diam tersenyum kecil. Sejak kapan seorang Arvin bisa tersenyum? "Jadi pacar gue." mulutku dengan sialannya mengeluarkan kalimat seperti itu. Sebenarnya aku kenapa?  ______  Aku beranjak dari sofa dan berjalan ke arah dapur mengambil satu gelas jus jeruk. Sore ini aku ada janji dengan Kemal untuk pergi ke salah satu tempat bisnis miliknya.Aku tak tahu ternyata dia punya bisnis yang berjalan hampir tiga tahun, selain bekerja denganku di hotel milik keluargaku. Aku kembali ke kamar untuk mandi, aku tak tahu kenapa tadi berada di sofa ruang tengah. Mungkin memang Arvin ketiduran disana dan sekarang aku yang bangun. Menghabiskan waktu 15 menit, aku sudah siap, tinggal sentuhan terakhir yaitu sebuah topi yang sekarang melekat di kepalaku. Berjalan menuruni tangga, aku melihat papa yang tengah duduk di sofa dan membaca koran. Memang, setelah pensiun dari kepolisian papa hanya menghabiskan waktu di rumah, berada seharian di ruang baca atau sesekali keluar untuk bertemu temannya, seperti itulah kegiatan papa.  "Sore pa." sapaku setelah berada di tangga terakhir. "Sore.. Mau kemana res? Bukannya tadi kamu baru pulang." tanya papa sambil melipat kembali koran di tangannya kemudian menyeruput kopi dalam cangkir. "Tadi Arvin pa, bukan Ares. Sekarang aku mau ketemu Kemal." papa mengangguk. "Jangan terlalu malam, kamu tahu kan papa gak suka makan malam sendiri." ucap papa sebelum aku keluar rumah. Aku mengacungkan jempol sambil berlalu, yang entah dilihat papa atau tidak. Kemudian masuk kedalam mobil dan melaju menjauhi pekarangan rumah. ______  "Jadi ini usaha punya lo?" tanyaku sambil melihat sekeliling cafe ini. Cafe yang bergaya klasik, dengan sentuhan warna coklat dan putih. Kata pertama yang aku pikirkan saat masuk ke cafe ini adalah nyaman. Ya terlihat begitu nyaman dan aku begitu yakin Arvin si manusia es itu akan menyukainya. Apalagi dia sering menghabiskan waktunya sendiri di salah satu cafe juga dibandingkan berdiam diri di rumah. "Iya, lo tahu kan dari dulu gue pengen punya usaha sendiri dan jadilah ini." jawab Kemal tersenyum lebar. Aku mengangguk kemudian tak sengaja pandanganku terarahkan pada sosok perempuan yang berada di balik meja kasir. Cantik. Aku tersenyum kecil. "Kenapa lo senyum sendiri." perkataan Kemal membuatku menoleh lagi ke arahnya. "Karyawan lo yang disana, namanya siapa?" tanyaku. Kemal mengarahkan pandangannya ke arah belakang melihat apa yang saat ini sedang aku lihat. "Oh.. Dia Kia, cantik kan." Kemal terkekeh. "Ya." aku hanya bergumam, masih bisa didengar olehnya. "Akhirnya lo suka cewek." celetuk Kemal. "Sembarangan..!! Lo kira selama ini gue gay." "Ya lo kan cuma suka sama satu cewek. Tapi gue dukung lo res, jangan terlalu berlarut-larut, hidup kan maju bukan mundur jadi lo harus bisa buka hati lo sama orang lain. Bukan maksud nya untuk mengganti posisi dia yang ada di hati lo, tapi lo juga harus bahagia kan. Gue yakin dia juga akan bahagia lihat lo bahagia disini." "Tumben bijak." "Setan..!! Serius gue, mau gue kenalin gak sama si Kia? Setau gue dia masih jomblo, kalau gue gak punya tunangan juga udah gue gebet tu cewek dari dulu." "Gue mau kenalan sendiri aja, tapi nanti." ucap gue kemudian meminum latte sambil menatap wajah cantik perempuan yang saat ini tengah tersenyum.  ______  Aku bersandar di sebelah mobil ini, menatap jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 10 malam. Setelah makan malam bersama papa, aku kembali ke cafe milik Kemal dan ya sekarang aku sudah berada di depan cafe menunggu seseorang. Hampir 10 menit, seseorang yang aku tunggu akhirnya muncul, berjalan keluar dari cafe membuat gue menegakkan tubuh. "Hai." sapaku membuat dia agak terkejut. "Lho.. Kamu.." aku mengernyit, dia mengenalku? "Udah aku bilang kan, aku bakalan ganti uang kamu aja tapi nanti kalau aku udah gajian. Jadi kamu jangan paksa aku kaya tadi." cerocos dia membuat gue bingung. "Kamu kenal saya?" tanyaku pada Kia, ya dia yang tadi aku tunggu. "Kamu bilang gak suka bahasa yang formal, tapi tadi kamu bilang saya. Marah-marah sama orang lain, sendirinya pake saya saya segala." Cerocosnya yang lagi lagi membuatku bingung.  "Bentar saya masih bingung, kamu kenal saya dari mana? Kita baru ketemu sekarang kan." "Selain aneh, kamu juga pelupa ya. Tadi siang kita kan ketemu disini, terus kamu bilang kalau aku harus jadi pacar kamu." What? Pacar? Ah pasti Arvin, sialan. Batinku.  ______  "Jadi lo kenal Kia?" tanyaku melihat ke arah cermin dihadapanku. Arvin masih diam, seperti sedang berpikir. Aku dan Arvin memang bisa bicara dengan cara seperti ini, menatap ke arah cermin dan aku akan dianggap gila jika ada yang melihatku sedang berbicara sendiri di depan cermin, seperti sekarang.  "Gak." balas Arvin. "Vin, lo tadi siang ke cafe kan terus nembak cewek yang kerja di cafe itu. Masih ngelak?" ucapku mulai kesal. "Oh.. Jadi namanya Kia." "Lo gak tahu namanya terus tiba-tiba nembak dia, gila emang." "Lo lagi ngatain diri lo sendiri." Sialan. "Kenapa tiba-tiba?" tanyaku. "Mata dia...." lirih Arvin. "Persis kaya Aruna." lanjutnya membuatku terdiam. Jadi, hanya karena matanya mirip dengan Aruna sampai dia mengatakan seperti itu pada cewek yang gak dia kenal.  Secinta itu lo sama Aruna, vin. Batinku. "Gue gak mau, hanya karena alasan itu lo nembak dia. Kalau dia sampe tahu, dia bakal sakit hati. " "Vin, gue juga ngerasain gimana sakitnya kehilangan Aruna, sampai gak bisa membuka hati buat orang lain. Tapi kita harus sadar vin kalau hidup itu bukan mundur, melainkan maju. Benar kata Kemal kalau gue dan juga lo harus bahagia dengan ini Aruna juga pasti bahagia lihat kita." Arvin masih diam, membuatku menghembus nafas lelah. Mudah jika itu hanya aku, tapi ini menyangkut Arvin juga. Aku mungkin bisa jatuh cinta pada Kia tanpa melihat kalau dia mirip Aruna, tapi Arvin?  Aku berjalan ke arah tempat tidur, membiarkan Arvin sibuk dengan pikirannya, pikiranku juga. Kemudian merebahkan tubuh ini, menatap langit-langit kamarku. “Runa.. Tolong bilang sama Arvin kalau dia harus tetap hidup di masa ini, bukan masa lalu bersama kamu. Malam ini kamu bisa kan, datang ke mimpi kita” ucapku lirih. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD