“Lancang banget kamu, Renata!” hardik Mayang dengan nada tinggi dan melayangkan tangannya ke udara.
“Ups ... jangan main tangan lagi sama aku, mantan Mama mertuaku sayang.” Renata dengan cepat menahan tangan Mayang di udara dan meremasnya dengan kuat.
“Lepasin tangan mama aku!” bentak Deby keras.
“Jangan samakan aku dengan Renata yang dulu! Dulu, aku bisa kalian tindas dan perlakukan sesuka hati. Sekarang, aku akan membuat hidup kalian perlahan menderita. Kalian akan membayar semua perbuatan buruk padaku selama ini,” ungkap Renata dengan kemarahan yang menggebu, tapi suaranya masih coba dia tekan dengan sangat dalam.
Tidak lupa, Renata menghempaskan tangannya sehingga terlepaslah tangan yang hampir saja mendarat di wajahnya tadi.
Deby dan Mayang sangat terkejut mendengar ucapan Renata tadi. Namun, sesaat kemudian mereka berdua saling tertawa renyah. Mereka mungkin merasa lucu mendengar ucapan Renata yang selama ini sudah mereka anggap sebagai wanita miskin yang hidup sebatang kara.
“Jangan terlalu banyak ngayal deh kamu, Mba! Kamu, kalau bukan karena mas Gemilang entah udah jadi apa sekarang. Aku nggak yakin kamu masih hidup atau nggak. Kamu kan dulu gembel yang dipungut mas Gemilang dan dibawa pulang sebagai istri,” ungkap Deby kembali merendahkan Renata dengan kosa katanya yang kasar dan kejam.
“Benar yang Deby bilang. Harusnya, selama ini kamu bersyukur udah ditampung di rumah ini. Dikasih baju dan makan gratis,” sambung Mayang membenarkan ucapan Deby tadi.
“Sekarang berlagak udah kasih surat cerai untuk mas Gemilang pula. Kamu pikir ngurus surat cerai itu gratis? Kamu aja nggak punya uang untuk makan nanti, masih sok berlagak ngurus surat cerai. Ini sekarang, entah dipungut sama kakek tua mana jadi bisa bergaya seperti orang kaya beneran.”
“Mama yakin semalam dia mangkal di pinggir jalan dan melayani banyak pria biar dapat uang yang banyak. Jadi, sekarang bisa datang dengan penuh percaya diri seperti ini. Kamu pikir kami akan percaya sama kamu?”
“Aku nggak butuh rasa percaya kalian! Berhubung waktuku nggak banyak, aku mau ambil beberapa barangku yang aku beli dengan uangku sendiri.”
“Uang sendiri? Selama kamu jadi istri Gemilang, dia yang ngasih kamu uang. Jadi, dari mana uang kamu sendiri yang kamu maksud?” tanya Mayang dan berusaha menghalangi langkah Renata.
“Nanti, mantan Mama mertua tanya aja sama anaknya sendiri, ya. Aku udah pernah bantu apa aja sama dia selama ini. Jangan jadi kacang lupa kulitnya gitu dong kalau udah sukses.”
Renata menabrak bahu Mayang dengan kasar dan langsung saja menuju kamar tidurnya dengan Gemilang selama ini. Dia tidak mengira bahwa pada akhirnya dia benar-benar akan meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Posisinya sudah tergeser oleh wanita yang datang saat sang suami meraih kesuksesan saja. Sementara, dirinya yang menemani berjuang dari nol selama ini tersingkirkan dengan kejam dan hina.
Di dalam kamar tidur itu, mata Renata tak bisa dibohongi dan berkaca-kaca. Dia dengan cepat menyekanya karena tidak ingin terlihat sebagai Renata yang lemah lagi. Tekadnya sudah kuat sekarang dan dia tidak akan mundur lagi walau apapun yang membuatnya menjadi lemah.
“Di kamar ini, aku selalu menunggu kamu pulang, Mas. Di kamar ini juga, kita saling memadu cinta dan sayang. Tapi, sekarang semuanya udah nggak ada artinya lagi bagi kamu. Sekarang, wanita itu akan menggantikan posisiku dan mungkin dia yang akan tidur di sini sama kamu nanti. Aku ... nggak pernah menyesali perpisahan kita, Mas. Tapi, aku sangat menyesal kenapa dulu bertemu dan jatuh cinta sama kamu,” ungkap Renata panjang lebar saat memandang foto pernikahan yang masih terpajang di dinding, tepat di ujung kasur dan bisa ditatap saat dia dan Gemilang berbaring.
Renata membuka lemari pakaiannya dan mengambil beberapa perhiasan yang selama ini jarang digunakannya. Dia tidak pernah ingin terlihat wah di depan semua orang, terutama di depan suami dan keluarga suaminya. Perhiasan mahal itu adalah pemberian mendiang ibunya dulu.
Setelah selesai, Renata kembali keluar dari kamar itu tanpa membawa apapun lagi. Dia sudah tidak butuh apapun yang ada di rumah itu lagi, walau dulu semua terasa begitu berharga baginya. Renata bisa mendapatkan apapun yang dia mau, dan tak akan sungkan lagi menunjukkan identitasnya .
“Apa yang kamu bawa? Coba liat dulu! Jangan-jangan kamu maling di rumah ini!” titah Mayang dengan kasar dan kembali menghadang langkah Renata yang ingin keluar dari rumah itu.
“Maling? Aku justru akan melaporkan orang di rumah ini, kalau tadinya barang yang aku cari ini nggak ketemu di tempat yang seharusnya.” Renata membalas dengan tenang dan santai.
“Perempuan ini sepertinya benar-benar udah nggak waras. Kesambet di mana sih dia semalam? Ngomong kok udah kayak orang nomor satu di kota ini aja,” sindir Mayang lagi pada Renata.
“Aku nggak perlu menjelaskan apapun pada kalian semua. Cukup kalian menunggu karma itu datang dan saat itu pula, aku bahkan nggak akan mau memandang ke arah kalian lagi.”
“Cih! Sombongnya si miskin nggak tau diri ini!”
“Liat dulu apa yang kamu bawa itu, Mba!” pekik Deby tak gentar karena melihat Renata memegang sebuah kota merah beludru dan bisa dipastikan itu adalah perhiasan.
”Untuk apa kamu liat? Nanti ... kamu malah pengen punya seperti yang aku punya ini,” ucap Renata enggan memperlihatkan dan sengaja memancing kemarahan Deby.
“Aku bisa minta beli apapun sama mas Gemilang. Sekarang, dia adalah orang nomor satu di perusahaan yang lagi naik daun. Kamu aja bisa dia beli kalau dia mau, Mba!” kata Deby pula.
Renata tertawa mendengar ucapan Deby dan kemudian mengibaskan tangannya dengan gemulai. “Kalian lucu banget dan sukses buat aku terhibur. Tadinya ... aku sedih karena harus menyumbangkan rumah yang dibeli dengan sebagian uangku ini. Tapi ... sekarang aku nggak jadi sedih karena ucapan kalian yang konyol!”
“Kamu dari tadi menghina kami terus. Sebenarnya, mau kamu itu apa sih?” tanya Deby dan dengan kasar mendorong tubuh Renata.
Renata yang tidak punya persiapan apapun dengan tindakan itu, akhirnya terhuyung ke belakang dan pinggangnya terhentak pada ujung meja yang ada di belakangnya. Sebuah teriakan keras terdengar dari mulut Renata karena menahan rasa sakit yang luar biasa sebelum akhirnya, tubuh Renata merosot ke lantai dan tak sadarkan diri.
“Ma ... dia pingsan,” bisik Deby pada Mayang dengan wajah pucat.
Mayang mendekati tubuh Renata yang tergolek tak sadarkan diri di lantai. Dia menggoyang tubuh Renata dengan kakinya perlahan. “Heh, bangun! Nggak usah sok drama dan akting di sini,” hardik Mayang dan terus menggoyang tubuh Renata dengan kakinya.
Tidak ada respon apapun dari Renata dan keduanya mulai semakin panik. Mereka saling berpandangan satu sama yang lain. Apalagi, saat Deby melihat genangan dari yang mengalir dari bawah tubuh Renata.
“Ma, di-dia berdarah!” seru Deby dan menunjuk darah kental itu dengan tangan gemetar.
“Non Reta ...!” pekik Arman dan berlari ke arah Renata dengan cepat.
Arman tampak begitu panik dan langsung mengangkat tubuh Renata yang tak sadarkan diri itu dengan sekuat tenaga. Sebelum pergi, dia masih sempat menatap ke arah Mayang dan Deby yang ketakutan.
“Kalau terjadi sesuatu pada non Reta dan bayinya, kalian berdua nggak akan selamat!” ucapnya dengan nada geram dan segera membawa Renata pergi dari rumah itu.