HARRY membuang selimut tebal yang menutupi kaki panjangnya. Sebenarnya, ia tidak sengaja membuang selimut itu. Harry hanya menendangnya perlahan dan bukan salahnya jika selimut itu terjun bebas ke lantai. Meski sebenarnya ia masih sangat mengantuk karena semalam ia tidur ham tiga dini hari, ia kembali teringat dengan salah satu mobil sport yang terparkir di garasi rumahnya. Ia penasaran, siapa pemilik mobil itu dan bagaimana mobil itu bisa terparkir di rumahnya. Orang yang tahu jawabannya adalah adiknya sendiri, Hillary.
Segera setelah kesadarannya pulih, Harry beranjak dari tempat tidur dan berlajan menuju kamar Hillary. Jarak kamar mereka tidak telalu jauh, sama-sama berada di lantai dua. Sesampainya di kamar adiknya, Harry segera menggedor pintu dengan keras, berharap adiknya bangun dan menjawab pertanyaannya sehingga rasa penasarannya lenyap.
“Hill… apa kau sudah bangun?”
Suara lantang Harry menyadarkan Hillary dari tidur nyenyaknya. Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya sadar kalau ia tidak sendirian di atas kasur. Hillary ingin sekali menjerit. Namun ia urung melakukannya karena takut kakaknya mendengar. Hillary memandang Jullio dengan tatapan menusuk.
“Hill.. kau di dalam?” lagi-lagi suara Harry membuatnya semakin gugup. Biasanya Harry selalu masuk kamarnya tanpa ijin. Ia juga tidak pernah mengunci pintu kamar, tapi hari ini. Semuanya tidak sama lagi. Harry tidak boleh masuk ke kamarnya atau hidupnya akan berakhir.
“Ya!” sahut Hillary cepat. “Aku di sini.”
“Apa kau tidak sekolah?”
“Aku…” Hillay menepuk jidatnya. “Aku baru saja bangun!”
“Cepatlah. Kau bisa terlambat!”
Hillary membulatkan matanya saat melihat ganggang pintu bergerak. Ia melompat dan berniat mengunci pintu sebelum Harry berhasil masuk dan mendapati seorang pria tidur dengannya. Namun usahanya gagal saat Jullio menarik tangannya sehingga ia terjungkal dan jatuh ke dalam pelukan Jullio.
“Kau mau kemana?”
“Lepaskan aku, b******k! Kakakku akan membunuh kita berdua jika mendapati kau di sini!”
“Bukankah itu lebih baik?” Jullio mencium punggung tangan Hillary. “Dengan begitu kita bisa segera menikah.”
“Sialan! Aku tidak mau menikah sekarang!”
“Tapi kau mau menikah denganku?” bisik Jullio.
“Diamlah! Kakaku bisa mendengar suaramu!”
Jullio menahan tawanya. Melihat kepanikan di mata Hillary membuatnya geli sekaligus merasa bersalah.
“Kenapa kau mengunci pintunya? Aku mau bertanya padamu.” Suara Harry terdengar sangat kesal.
“Aku akan keluar setelah mandi. Tunggu aku di sana, aku akan menjawab semua pertanyaanmu!” seru Hillary.
Sesaat kemudian, terdengar suara langkah kaki. Hillary mengembuskan napasnya. “Baiklah. Aku akan menunggumu di bawah untuk sarapan.”
“Ya!” jawab Hillary cepat.
“Lihat apa yang kau lakukan! Kau hampir membuat semua orang berpikir buruk tentangku!”
“Hanya kakakmu. Jika dia melihat kita, aku pastikan dia tidak akan berani menuduhmu macam-macam. Atau aku akan bersembunyi di dalam lemari agar kakakmu tidak melihatku.”
“Terserah!” ketus Hillary.
Jullio semakin menarik Hillary ke dalam pelukannya. Pria itu menindih Hillary hingga Hillary tidak bisa bergerak sedikit pun. Kemudian, ia mencium bibir Hillary. Dengan keadaan setengah telanjang seperti sekarang, apa pun bisa terjadi. Jullio bertelanjang d**a, hanya memakai celana kolor untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sedangkan Hillary hanya mengenakan pakaian dalam. Mereka bisa saja melakukan-
“Aku menyesal mengundangmu masuk!” gerutu Hillary.
“Tapi aku tidak.” jawab Jullio singkat.
Semalam, mereka hampir saja melakukan hubungan badan. Jika saja Jullio tidak menghentikan rasa penasaran Hillary dengan pernyataan konyol seputar hamil di luar nikah dan rasa sakit saat pertama kali melakukannya, mungkin Hillary saat ini sudah kehilangan keperawanannya.
“Kau harus pergi ke sekolah.” Ucap Jullio lembut.
“Lepaskan aku!” pinta Hillary karena Jullio masih saja menindihnya.
“Kita tidak bisa keluar bersama. Harry pasti akan curiga.” Jullio mengambil handuk dan segera masuk ke kamar mandi. Sementara Hillary, ia memilih menata buku pelajarannya dan menyiapkan seragam sekolah.
Begitu Jullio keluar dari kamar mandi, Hillary segera masuk untuk membersihkan badan. Ia mandi dengan tergesa kemudian berganti pakaian. Setelah siap, Hillary mengambil tas sekolahnya. “Aku harus sekolah.”
“Kalau begitu, pergilah!” Jullio mengecup kening Hillary singkat.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku akan mencari cara agar bisa keluar dari sini. Bisakah kau sampaikan pada satpam kalau aku akan pergi setelah kakakmu pergi?”
Hillary tampak berpikir sejenak. “Ya. Hati-hati.”
“Aku akan kembali nanti malam.” Ucap Jullio singkat sebelum punggung Hillary menghilang di balik pintu.
Sekarang, giliran Hillary yang harus memikirkan cara agar kakaknya percaya bahwa mobil Jullio adalah temannya.
**
“Kapan kau pulang?” Hillary mendaratkan pantatnya di kursi. Ia dan Harry tengah berhadapan di meja makan. Harry tampak kacau. Rambutnya acak-acakan. Hillary tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan seburuk ini sebelumnya.
“Selamam.” Jawab Harry seraya memasukkan potongan apel ke dalam mulutnya. “Aku harus pergi ke luar negeri. Mungkin dalam waktu dekat.”
“Kau yakin akan meninggalkanku? Sendirian?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu.” Jemari panjang Harry menyapu sisa apel di sudut bibirnya. “Tapi aku harus melanjutkan kuliah di sana. Kita harus melanjutkan bisnis papa. Kuharap kau paham maksudku.”
“Sangat paham.” Kata Hillary dengan suara sendu.
“Maafkan aku. Akhir-akhir ini aku juga sibuk. Aku mungkin aka jarang pulang.”
“Aku mengerti.” Dengan jantung yang berdegup kencang, Hillary berusaha menormalkan napasnya. Ia sangat takut kalau Harry bertanya tentang keberadaan mobil Jullio.
“Mobil siapa di sana?”
Dan ketakutan Hillary pun akhirnya menjadi kenyataan. Harry tidak melupakan keberadaan mobil itu. “Milik temanku.” Dustanya.
“Kenapa bisa di sini?”
“Kemarin aku meminjamnya. Mungkin nanti dia akan mengambilnya. Dia pergi degan kekasihnya dan menitipkan mobil itu di sini.”
Hillary berharap kakaknya mau mempercayai alasan konyolnya. Hillary melirik Harry sekilas. Pria itu termenung sejenak, seolah tengah memikirkan sesuatu. “Daddy tidak akan pulang sampai minggu depan.”
“Ya. Dia sudah memberi tahuku.”
“Syukurlah.” Harry meneguk segelas s**u hingga tandas. “Aku harus mandi. Hati-hati di jalan. Aku akan pergi ke kampus setelah ini.”
“Kau juga hati-hati, jaga dirimu baik-baik. I love you.” Hillary mengecup singkat pipi kakaknya kemudian beranjak meninggalkan meja makan.
“I love you more.”
Tanpa mereka sadari, ada sosok yang mengawasi kegiatan mereka selama di meja makan. Sosok itu berdiri tak jauh dari tangga. Sengaja menyembunyikan dirinya agar tidak terlihat oleh mereka berdua. Jullio.
Sesampainya di gerbang sekolah, lagi-lagi Hillary disuguhi pemandangan kemesraan Elsa dan Freddy. Entah mengapa ia selalu suka melihat bagaimana cara Freddy memperlakukan Elsa. Freddy yang konyol, yang selalu berhasil membuat Elsa tertawa. Mereka seolah memiliki dunia sendiri. Dunia yang hanya diisi oleh Elsa, Freddy, Axel dan Fero. Sementara makhluk lain dari bumi, seolah tidak ada.
“Pagi…” Perjalann Hillary ke kelasnya dikagetkan oleh sosok yang kemarin mengajaknya bermain di bawah guyuran air hujan.
“Kau hampir membuat jantungku lepas dari dadaku!” gerutu Hillary seraya meninju d**a Angkasa.
Angkasa tertawa renyah. Ia tidak menyangka kehadirannya ternyata mengagetkan Hillary. “Maaf, aku tidak bermaksud.” Pemuda itu lalu berjalan di sisi Hillary. “Kupikir kau tidak berangkat.”
“Kenapa?”
“Kau terlambat hari ini. Biasanya kau berangkat paling awal.”
Hillary teringat dengan kejadian tadi pagi. Di mana ia bangun dengan hanya mengenakan pakaian dalam bersama seorang pria di sampingnya. Tanpa ia sadari, pipinya merona mengingat momen itu. “Tidak ada alsaan untuk tidak datang ke sekolah.” Jawabnya asal.
“Kupikir kau akan sakit. Mengingat kemarin aku mengajakmu hujan-hujanan.”
“Aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Hillary karena Angkasa terus menguntitnya hingga mereka sampai di kelasnya.
“Mengantarkanmu.” Angkasa berhenti di depan kelas Hillary. Sebelum gadis itu masuk ke kelasnya, ia kembali berkata. “Minggu depan kita tidak akan bertemu lagi seperti sekarang.Ujian akan diadakan minggu depan dan kau libur.”
Bahkan Hillary lupa soal itu, ia terlalu asyik mengagumi Angkasa dari jauh. Sekarang, saat pemuda itu selalu hadir di hadapannya, benaknya justru sering kali berkeliaran ke tempat lain. “Oh, aku lupa soal itu. Semoga kau bisa melewati ujian dengan baik, ya. Aku selalu mendoakanmu.”
“Terima kasih. Selamat belajar. Aku akan menunggumu saat pulang nanti. Mungkin kita bisa jalan-jalan.”
“Bye!” Hillary meninggalkan Angkasa yang masih berdiri di ambang pintu. Beberapa pasang mata tertuju padanya. Di dalam kepalanya, ia hanya memikirkan Jullio. Bagaimana nanti pria itu akan pulang kalau Harry tidak segera keluar dari rumah.
Hari ini, tidak jauh berbeda dengan hari-hari yang ia jalani sebelumnya. Medengarkan pelajaran dari beberapa guru, mengerjakan tugas, makan di kantin dengan teman-temannya, dan sederet kegiatan lain layaknya anak sekolah pada umumnya. Hillary menjalani itu semua dengan perasaan yang tidak bisa ia jelakan. Sejak kecil, ia dan kakaknya memang menyukai sekolah. Hanya di tempat itulah mereka bisa lari dari kenyataan pahit kehidupan mereka. Dan saat pulang sekolah tiba, saat mereka berdua harus kembali ke rumah, perasaan hampa mulai menyergap mereka.
Bel sekolah berdentang. Hillary membereskan peralatan sekolahnya. Hari ini ia tidak pergi ke perpustakaan. Buku yang ia pinjam kemarin belum sempat ia baca karena sepulang sekolah ia harus menenami Angkasa dan saat sampai di rumah ia harus menghadapi Jullio di kamarnya. Hillary menunggu sampai seluruh siswa di kelasnya pulang. Barulah ia beranjak untuk segera pulang juga. Sejujurnya, ia sedikit lelah. Menghabiskan sisa harimu bersama seorang pria ternyata bukanlah hal yang mudah.
“Mau mengantarkan pulang?” suara Angkasa mengiterupsi Hillary dari kegiatannya memainkan game di ponsel.
“Kau tidak membawa mobil?” tanya Hillary.
“Tidak. Aku sengaja menyuruh supir untuk mengantarku saat berangkat tadi,” Angkasa duduk di sisi Hillary. “Jadi, bagaimana?”
“Baiklah.” Senyum Hillary terbit bak matahari pagi yang siap menerangi bumi. “Aku akan mengantarmu.”
“Nah, begitu.” Angkasa beranjak dari kursinya. Pemuda itu menarik pinggang Hillary kemudian berjalan menuju pintu.
“Lepaskan tanganmu!” pinta Hiaary sembari mengamati sekitar. “Bagaimana jika ada yang melihat kita?”
“Biarkan saja!” Angkasa sengaja menggoda gadis itu. Semburan merah jambu di pipi Hillary menghiburnya.
“Lepaskan atau aku tidak akan mengantarmu pulang!” ancam Hillary.
“Wow…” Angkasa semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Hillary. “Tidak akan. Biarkan saja orang-orang melihat kita.”
“Angkasa!” bentak Hillary pelan. Angkasa akhirnya mengalah. Mereka berjalan menuju tempat parkir sambil bercerita tentang hari yang mereka lalui. Angkasa batal melanjutkan sekolahnya di luar negeri. Setidaknya, hal itu membuat Hillary sedikit lega. Bagaimana tidak, membayangkan Harry pergi saja sudah membuat Hillary sesak. Apalagi jika ia juga harus membayangkan Angkasa juga pergi jauh darinya. Ia pasti akan merasa sangat kesepian.
Perjalanan menuju rumah Angkasa memakan waktu satu jam lamanya. Begitu mobilnya terparkir rapi di garasi, Hillary segera menyusul Angkasa. Rumah Angkasa sepi, sama persis seperti rumahnya. Tidak banyak foto keluarga yang terpajang di dinding. Yang ada justru lukisan besar nan mahal dari pelukis ternama dunia.
Angkasa meminta Hillary duduk di ruang tamu sementara ia menyiapkan minuman serta camilan untuk mereka. Saat Hillary tengah asyik bermain dengan ponselnya, ia dikagetkan dengan suara lantang seorang pria.
“Kasa!” ucap seseorang yang jaraknya tidak jauh dari tempatnya duduk. “Apa itu kau?”
“Memangnya siapa lagi?” sahut Agkasa lantang.
“Kupikir ada setan di rumah kita.” Suara pria itu terdengar lagi. Suara yang sangat dikenali oleh Hillary. Hillary meneguk salivanya kasar. Ia tidak tahu bagaimana jika pria itu melihatnya di sini.
“Aku akan pulang malam. Jadi jangan menungguku.” Ujar suara itu lagi.
“Ya. Bukankah kau selalu pulang malam?” Angkasa menjawab dengan kekehan kecil yang muncul dari bibirnya.
“Aku akan menemani Evan malam ini. Dia sedang butuh teman kencan.” Semakin lama Hillary semakin tidak mendengar suara pria itu. Ia menduga pria itu mulai berjalan menjauh dari tempat duduknya. Semakin menunduk agar ia tidak terlihat, kaki panjangnya merosot dari sofa.
“Terserah!” seru Angkkasa.
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Lalu Hillary mendengar suara pintu tertutup. Ia berkonsentrasi penuh dengan suara itu sehingga ia tidak menyadari kehadiran Angkasa di hadapannya.
“Hill?” untuk ketiga kalinya Angkasa mencoba membangunkan Hillary dari lamunannya. Pemuda itu telah selesai menata minuman dan camilan di atas meja bahkan sebelum Hillary berhasil kembali dari alam bawah sadarnya. “Apa kau melamun?”
Hillary mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia benar-benar tekejut dengan kedatangan Angkasa. Jantungnya berdetak tidak karuan. Saking kagetnya, Hillary bahkan menjatuhkan ponsel yang semula ia genggang rapat-rapat. “Maaf.” Ucapnya lirih. “Apa kau tadi bicara padaku?” tanyanya lagi.
“Kau melamun?”
“Maaf,”
“Apa yang kau pikirkan. Apa kau tidak suka datang ke rumahku?” Angkasa menjadi kikuk dengan situasi di antara mereka berdua. “Seharunya aku tidak memaksamu mengantarku dan mampir.”
“Tidak, bukan begitu. Maaf aku mengabaikanmu, maaf. Aku hanya teringat dengan kakakku.” Dusta Hillary. “Siapa yang tadi berbicara denganmu?”
“Astaga!” Angkasa menepuk jidatnya keras. “Aku lupa memperkenalkanmu pada kakakku.”
“Dia kakakmu?” tanya Hillary.
“Ya. Kau lupa? Kita pertama kali bertemu dengan kakakku di club malam.”
Hillary mencoba mengingat kejadian tersebut. Setelah beberapa saat, barulah ia teringat dengan kejadian malam itu. Di mana Jullio, si pria b******k itu pertama kali bertemu dengannya dan mengganggu hidupnya sampai detik ini. “Siapa namanya?”
“Jullio Brandon Stokes, kakak kandungku.”
Angkasa Brandon Stokes dan Jullio Brandon Stokes.
Mati aku!