THE PROTECTOR

1980 Words
Bruukkk!!!! "Ups! Maaf, Bocah ingusan!" Kikikan dari siswi-siswi di sekolah SMA Internasional itu terdengar nyaring di telinga Hillary. Hillary tahu, mereka sengaja menabraknya. Hillary berusaha berdiri saat anak-anak tukang bully itu menendang tas sekolahnya yang jatuh tepat di sampingnya. Bruukk!!! "Jangan sakiti dia, Re!" suara laki-laki terdengar jelas di telinga Hillary. "Kasa!" Bentak Rebecca seraya berdiri. Angkasa mendorongnya sangat keras, hingga ia terjatuh ke lantai. "Sekali lagi aku melihatmu menyakiti dia, akan kupastikan kau menyesal Rebecca Nasution!!" sentak Jullio geram. "Kau mengenalnya?" "Iya!" "Terserah!" "Ingat kata-kataku, Re!" Rebecca beringsut pergi meninggalkan Angkasa dan Hillary. Sebenarnya, dia belum puas menjahili anak baru di sekolahnya. Tapi, dia tidak mau berurusan dengan Angkasa. Terlalu beresiko. "Terima kasih." Hillary mencoba berdiri dan memungut tas ranselnya. Ia mengucapkan itu tanpa melihat mata Angkasa. "Siapa namamu?" Tanya Angkasa seraya membersihkan kotoran di baju dan tas Hillary. "Hillary." jawab Hillary singkat. "Aku Angkasa." Angkasa mengulurkan tangannya pada Hillary yang masih menunduk. "Bisa tatap aku? Lihat aku! Aku bukan monster." Ragu-Hillary mengangkat wajahnya untuk menatap Angkasa. Dari sana dia tahu, Angkasa terlihat tulus membantunya. Bola matanya sebiru lautan, kulitnya putih terang-seperti bukan asli pribumi-seperti dirinya, rahanya kokoh, tingginya tak jauh berbeda dengannya. "Sekali lagi, terima kasih." ucap Hillary penuh kesungguhan. "Nah Hillary, mulai sekarang aku-Angkasa akan menjadi pelingdungmu sampai kau menemukan pelindung yang tepat yang bisa melindungimu!" Hillary ternganga. Apa dia sedang bermimpi? Di matanya Angkasa justru terlihat seperti pemuda bodoh yang sedang menawarkan sesuatu yang tidak penting. Merasa aneh dengan sikap Angkasa, Hillary hanya mengangguk-angguk dan tersenyum kecut. Aneh memang. Kejadian itu terjadi dua tahun yang lalu. Di hari pertamanya masuk sekolah. Saat Rebecca dan teman-temannya dengan sengaja membully Hillary. Angkasa menolongnya. Angkasa melindunginya sejak saat itu. Kurang dari dua puluh empat jam sejak hari itu, Hillary telah menjatuhkan hatinya untuk Angkasa. Hati yang utuh untuk pemuda konyol yang menyebut dirinya Sang Pelindung-'The Protector'. Hillary teringat dengan n****+ fenomenal karya Pidi Baiq yang judulnya Dilan. Dilan Sang Peramal. Dan Angkasa Sang Pelindung. Sungguh tidak lucu, Hill! Kembali ke laptopnya, Hillary mengamati data yang dikirim oleh salah satu staff ayahnya. Bukan urusannya memang, tapi demi menyenangkan hari sang Ayah, Hillary rela menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menghitung ulang segala sesuatu yang keluar dari rekening perusahaan maskapai milik ayahnya. Bagus! Clear! Semuanya transparan. Puas dengan hasil kerjanya, Hillary menutup gawai di hadapannya. Ia lalu membuka ponsel dan mendapati pesan dari Freddy. Dan betapa... dunianya seolah runtuh saat itu. Hillary tidak lagi terkejut. Ia bahkan sekarat melihat pesan dari Freddy. Aku ingin sekali menghajarnya. Tulis Freddy sebagai caption dari foto yang dikirmnya. Satu menit... dua menit... tiga menit berlalu... Akhirnya Hillary berhsil mendapatkan kesadarannya kembali. Melihat foto-foto yang dikirim Fteddy membuatnya hampir mati. Ternyata ini.... Inilah alasan kenapa Angkasa hanya menganggapnya sebatas teman. Tidak lebih. Itu semua karena Angkasa suka pada Elsa. Ya, Elsa. Bukan dirinya. Bukan Hillary. "Selamat siang, Nona Hillary..." sapa seorang pria paruh baya yang kini membungkuk hormat di hadapan Hillary. "Siang, Pak Azwar." balas Hillary ramah. "Tuan sudah menunggu Nona di rumah. Apa Nona sudah siap untuk pulang?" "Daddy sudah pulang?" "Sudah, Nona." "Kalau begitu, saya akan pulang sekarang." "Baik, Nona." Sepeninggal Hillary dari cafe itu, seorang pria dengan mata sebiru lautan turut mengikuti kepergiannya Hillary. Pria itu tidak pernah sedetik pun berhenti memikirkan Hillary. Dia ingin melihat gadis itu lebih lama. Lebih dekat. Lebih intens. I want you more, Hillary Thompson! "Siang, nona Thompson!" sapa Taylor pada putri semata wayangnya. "Dad! Tolong panggil aku Hillary. Aku tidak suka Daddy memanggilku begitu."  Hillary memonyongkan bibirnya. "Kemarilah! Daddy merindukanmu." Hillary dan Taylor saling berpelukan. Hari ini tepat satu bulan mereka mereka tidak bertemu. Satu bulan lamanya yang membuat keduanya sama-sama memendam rindu. "Di mana kakakmu?" "Dia di kantor, Dad. Kuliahnya hampir selesai. Aku dengar Daddy akan mengirimnya ke Melbourne?" "Iya. Daddy akan mengirimnya ke sana. Kakakmu akan memegang perusahaan kita. Daddy mau dia belajar serius agar perusaan maakapai kita tetap menjadi yang terbaik." "Kakak sudah cukup pintar, Dad. Kau tidak perlu mengirimnya jauh-jauh ke sana." "Hill, pintar saja tidak cukup. Dunia punya banyak orang pintar. Tapi tidak semua orang pintar punya keahlian dalam berbisnis. Dan yang di butuhkan oleh kakakmu saat ini adalah pengalaman dan pembelajaran dalam bidang bisnis." Hillary langsung murung mendengar penjelasan dari sang ayah. Ia tidak mau berpisah dengan kakaknya, sungguh tidak. "Ada Mommy yang akan menemanimu di sini." Hillary mengangguk. Ayahnya benar, ada ibunya. Ada ibunya yang sudah pasti akan menemaninya. Jadi, untuk apa dia takut berpisah dengan kakakknya? "Daddy dengar, kalian pergi ke club malam kemarin? Apa Daddy tidak salah dengar? Bukankah kalian benci tempat itu?" Ingatan Hillary kembali terlempar pada kejadian beberapa hari yang lalu. Ya, saat Hillary dan Angkasa pergi ke club malam untuk menjemput kakaknya. Malam itu, kakaknya menghubunginya untuk meminta bantuan. Hill, bisa tolong jemput aku di Stokes Club? Teman-temanku menjebakku. Mereka tidak mengijinkan aku pulang. Tolong datanglah kemari. Mereka akan melepasku jika kau kemari. Setelah berpikir beberapa saat, Hillary akhirnya menghubungi Angkasa. Dia tahu, ayah Angkasa adalah pemilik club malam itu. Jadi dia dan kakaknya akan aman jika mengajak Angkasa. "Angkasa?" ucap Hillary lewat sambungan telepon. "Hay Hill, ada apa? Tumben kau menghubungiku malam-malam?" sahut Angkasa dengan sedikit tawanya. "Aku...." "Ada apa? Kau kenapa? Kau sakit? Di mana kau sekarang?" tanya Angkasa dengan nada khawatir. "Tidak... tidak... aku baik-baik saja. Aku butuh bantuanmu.." "Apa ada yang mengganggumu lagi?!" geram Angkasa. "Tidak. Aku ingin ke club malam ayahmu." Angkasa mengerutkan kening. Club? Sejak kapan Hillary pergi ke club? "Kasa?" "Kapan?" tanya Angkasa mencoba menjaga suaranya agar tetap tenang. "Sekarang. Bisa kau jemput aku di rumah?" "Aku ke sana sekarang. Jangan kemana-mana! Tunggu aku!" "Thanks." Panggilan terputus. Setelah itu, Hillary mengirim pesan pada kakaknya yang menyatakan ia akan segera menjemput kakaknya. Kemudian, Hillary mengganti pakaiannya dan menunggu Angkasa datang menjemputnya. "Hill, katakan sesuatu." pinta Angkasa sopan. Hillary pun menceritakan pada Angkasa tentang kakaknya yang terjebak di dalam club malam milik keluarga Angkasa. Hal itu sungguh membuat Angkasa lega. Tadinya ia berpikir yang tidak-tidak mengenai Hillary. Oh, ayolah Angkasa, kau bukan bahkan siapa-siapanya dia. "Aku takut!" cicit Hillary Thompon pada Angkasa Brandon Stokes. "Tenanglah. Tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Orang-orang di sini mengenalku." ujar Angkasa menenangkan Hillary. Mereka terus berjalan melewati ruangan demi ruangan di club malam tersebut. Hillary tetap merasa ketakutan meskipun sedang berama Angkasa-yang tak lain adalah anak pemilik club malam tersebut.   "Hey!" seseorang mencekal pergelangan tangan Hillary. Hillary tersentak. Ketakutan yang tadi sempat menghilang kini kembali memenuhi jiwanya. Hillary bersembunyi di balik punggung Angkasa. Dengan takut, ia mengintip pria yang sempat dilihatnya walau hanya sekilas. Seorang pria dengan rambut sebahu dan mata merah karena tengah berada di bawah pengaruh alkohol berdiri tepat di hadapan Angkasa. Hillary takut, lebih tepatnya ia takut jika pria itu melukai Angkasa. Ingin rasanya ia menghajar pria itu. Tapi, dia sendiri sama sekali tidak punya nyali. Bahkan untuk sekedar bertatapam langsung dengan pria itu. "Dia bersamaku, Kak." ujar Angkasa tenang. Kak? Siapa dia? Apa hubungan angkasa dengan pria mabuk itu? tanya Hillary pada dirinya sendiri. "Baguslah! Serahkan dia padaku." balas Jullio tak kalah tenang. "Dia... tidak seperti yang kau pikirkan. Dia gadis baik-baik?" "Benarkah?" "Aku berani bersumpah. Dia bukan jalang seperti kebanyakan wanita yang datang kemari." "Wow! Menarik. Berikan dia padaku, Dik!" "Kau sedang mabuk. Aku tidak akan membiarkanmu membawanya. Dia datang bersamaku. Dia juga harus pulang denganku!" "Angkasa..." suara Jullio melembut. "Tidak!" Kemudian, Angkasa pergi meninggalkan kakaknya yang terlihat marah. Ia menggandeng tangan Hillary dan membawanya ke salah satu privat room-tempat di mana Hillary bisa menjemput kakaknya. Meski kesal, Jullio tetap membiarkan Angkasa membawa gadis itu. Seorang Gadis yang entah mengapa membuatnya ingin memiliki gadis bermata biru seperti miliknya. "Tunggu!" Jullio berjalan cepat mengejar Angkasa dan Hillary. "Siapa pun kau, aku jatuh cinta padamu. Cinta pada pandangan pertama. Besok atau lusa, kupastikan aku akan menjadi suamimu!" tunjuk Jullio pada Hillary. "Sayangnya, jatuh cinta pada pandangan pertama hanya berlaku untuk orang bodoh!" ketus Hillary seraya berlalu meninggakan pria mabuk yang menjijikkan itu. "Hill...."  Taylor kembali memanggil Hillary setelah putrinya mengabaikannya. "Dad... oh, maaf. Itu tidak seperti yang kau bayangkan. Aku dan kakak sama sekali tidak berniat pergi ke tempat terkutuk itu. Tempat menjijikkan." "Daddy tahu, bahkan kakakmu yang terlihat tidak menyukai club malam." "Kau benar. Kami tidak menyukai club malam." "Apa kau bertemu seseorang? Kau terlihat kesal." Hillary mengatur napasnya, ia berharap ayahnya tidak melihat kekesalanya kali ini. "Tidak, Dad. Aku tidak bertemu siapa pun. Aku ingin istirahat." Setelah berpamitan dengan sang ayah, Hillary kembali ke kamarnya. Tugas dari perusahaan ayahnya membuatnya harus berpikir lebih keras. Hillary lelah, dia ingin berbaring. Melupakan sejenak beban pikirannya. Belum genap lima menit Hillary berbaring, poselnya kembali bergetar. Sebuah panggilan video dari nomor baru yang tak dikenalnya. "Hallo," Hillary menutup kamera depannya untuk menghindari si penelepon melihat wajahnya. Dalam hati ia mengumpat saat melihat wajah pria yang sejak lima belas menit lalu menganggu pikirannya. Pria dengan jaket jeans berwarna navi dan celana jeans serta rambut di gerai itu sedang tersenyum jenaka ke arah Hillary. Dengan kesal Hillary mematikan sambungan teleponnya. Sejak kejadian di club malam itu, pria bernama Jullio itu memang selalu mengganggu hidupnya, juga pikirannya, mungkin juga hatinya. Sekolah dan hiruk-pikuk kehidupan pelajar membuat Hillary enggan memikirian masalah percintaan. Munafik memang mengatakan hal itu. Bagaimana tidak? Meski berkata demikian, Hillary tetap memirkan Angkasa. Seperti saat ini, Hillary sedang memikirkan Angkasa. Hillary sedang duduk di dalam kelasnya seorang diri. Selama beberapa hari terakhir moodnya buruk. Terlebih sejak mendengar kabar mengenai Angkasa yang datang ke rumah Elsa untuk menyatakan cinta, semua itu semakin memperburuk suasana hatinya. Sampai sekarang, meskipun Hillary masih berharap Angkasa meliriknya sedikit saja, ia tidak memiliki kekuatan untuk berharap. Hillary telah menyerah sejak ia mendengar nama Elsa sebagai pesaingnya. Elsa yang begitu sempurna di hadapan banyak pria. Huh! Andai aku terlahir sebagaia dia! gerutu Hillary dalam hati. "Masih terlalu pagi untuk menggerutu, Hill!" Freddy datang dengan membawa dua porsi burger dan dua botol air mineral. "Jangan sok tahu!" "Aku bukannya sok tahu. Aku memang tahu kalau moodmu sedang hancur karena memikirkan kekasihku-Elsa." "Dia bukan pacarmu lagi, Fredd!" "Maka dari itu, aku butuh bantuanmu untuk mengembalikan Elsa ke dalam pelukanku. Tapi, kuharap kau tidak berharap aku akan membantumu mendapatkan Angkasa, karena biar bagaimana pun kau pantas di perjuangkan, bukan memperjuangkan pria mana pun. Ingat kata-kataku Hill, perempuan terlahir untuk di perjuangkan oleh laki-laki dan laki-laki terlahir untuk memperjuangkan wanitanya. Bukan sebaliknya. Jadi, jangan coba-coba memdekati Angkasa. Biarkan takdir membawa kalian mengikuti arus kehidupan. Biarlah seperti itu, dan kau akan tahu betapa indah hidup ini saat seseorang begitu menginginkanmu." Hillary memikirkan sejenak ucapan Freddy. Mungkin Freddy ada benarnya, belum sepenuhnya ia bisa mencerna kalimat yang keluar dari mulut temannya itu, ia kembali di buat kaget karena ulah Freddy. Freddy mendekatkan wajahnya ke telinga Hillary-membuat mereka seolah sedang berciuman jika dilihat dari belakang, membisikkan sesuatu. "Kau mengerti, Hill?" "Iya. Apapun akan kulakukan untuk membantumu, Fredd!" Freddy tertawa, "Baiklah, aku pergi dulu. Jangan lupa temui aku besok di kelasku!" "Okay!" Sepanjang sisa hari itu, lagi-lagi Hillary berusaha keras mengenyahkan Angkasa dari otaknya-meskipun sebenarnya sulit. Setelah bel sekolah berbunyi, Hillary memilih meninggalkan kelas saat hampir semua siswa di kelasnya pergi. Ia tidak mau bertemu Angkasa. Tidak untuk saat ini. "Hallo, Nona manis." Dia lagi? "Mau sampai kapan kau menerorku!" sentak Hillary pada Jullio yang sudah duduk manis di dalam mobilnya. "Aku tidak sedang menerormu. Aku hanya ingin berkenalan denganmu." Sejak kejadian di club malam itu juga, hidup Hillary tidak lagi tenang. Ada manusia bernama Jullio yang selalu membuntutinya. Meneleponnya setiap saat. Membuatnya seperti orang gila karena harus menghadapi Jullio. "Pergi atau...!" "Atau apa? Kau ingin mengamcamku lagi?" Hillary sadar, ancaman apapun tidak akam mempan terhadap Jullio. Dia terlalu nekat. pikir Hillary. "Aku tidak akan sanggup berhenti memikirkanmu, Nona manis..." Jullio mencium pipi Hillary singkat lalu keluar dari mobil Hillary sambil berlari. Menyadari kelakuan Jullio, Hillary berteriak keras, "Dasar orang gila!!!!" "Orang gila bebas, kan?" Hillary geram. Berkali-kali mengumpat dalam hati dan bersumpah tidak akan mau mengenal Jullio apalagi jatuh cinta pada pria itu. Tidak akan-begitu sumpahnya pada diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD