"Malam ini saja," bujuk Bianca pada Martin.
Martin memutar bola matanya. Melihat Bianca memohon seperti ini, membuatnya tidak tega untuk menolak keinginan gadis itu. Meskipun sebenarnya Martin sangat-sangat terluka. Gadis itu memohon untuk pria lain.
"Jullio tidak akan mau datang ke pesta dansa itu, Bee."
"Dia akan datang jika kau bisa membujuknya."
"Aku tidak yakin dengn hal itu,"
"Martin..." Bianca menatap lekat iris mata Martin-hampir menangis.
Martin langsung luluh begitu saja, setelah embusan napas berat, Martin akhirnya berkata. "Baiklah. Aku akan membawa Jullio kemari.
Bianca melonjak kegirangan. Wajahnya merona membayangkan Jullio akan datang ke pesta dansa dengannya. Bianca mememluk dan mencium bibir Martin berkali-kali sebagai rasa terima kasihnya. Sementara Martin membiarkan gadis itu melakukan apa saja pada dirinya.
Di sisi lain, Hillary tengah bersiap dengan gaun terbaiknya. Kakaknya akan membawanya ke pesta dansa yang diadakan oleh salah satu teman kakaknya. Bianca berjanji akan menghadiri pesta itu dengan kakaknya. Harry satu-satunya saudara yang ia punya. Jadi, apapun yang Harry minta akan selalu dikabulkan Hillary.
"Kau siap?" Harry berdiri di ambang pintu, memandangi adiknya yang entah bagaiman sudah sangat besar dan menarik sekarang.
"Siap!" sahut Hillary seraya mengulas senyum.
"Aku ingin malam ini menjadi malam yang indah untuk kita. Aku tidak sabar bertemu denganya." Harry membayangkan betapa cantiknya gadis yang selama satu tahun terakhir memenuhi pikirannya itu.
"Begitulah jika kau membiarkan dirimu hanyut dalam perasaan. Kau terlihat seperti orang bodoh, Kak!"
Harry memutar bola matanya. Mereka tengah berkendara menembus hujan yang entah mengapa semakin lama semakin deras. Jika bukan karena permintaan Harry, Hillary akan lebih memilih meringkuk di atas tempat tidurnya dengan selimut tebal dan membayangkan Angkasa bersamanya.
Angkasa lagi. Kenapa dia tidak pernah pergi meninggalkan benak Hillary meski hanya beberapa detik saja?
"Kau harus melihatnya. Aku yakin kau akan setuju aku menikah dengannya."
"Kau akan pergi ke luar negerei."
"Kami akan menikah sebelum aku pergi."
Entah mengapa, Hillary tidak menykai gagasan itu. Kakaknya selalu melebih-lebihnya gadis yang selama ini diceritakan kakaknya. Hillary merasa gadis itu tidak pantas untuk kakaknya. Ia punya firasat tidak buruk mengenai hal ini.
Sekitar setengah jam kemudian, Harry dan Hillary sampai di rumah Evan. Salah satu teman Harry. Pesta itu adalah pesta tertutup yang hanya dihadiri teman dekat Evan. Evan sengaja membuat pesta ulang tahunnya sedemikian rupa untuk menunjukkan betapa banyak uang yang ia miliki. Hillary sama sekali tidak menyukai gagasan itu.
Saat memasuki gerbang rumah besar milik Evan, Hillary memang terperangah melihat kemegahan bangunan itu. Rumah besar itu sama megahnya dengan rumah yang saat ini ia tempati. Kemungkinan besar Hillary akan mewarisi rumah itu. Tapi, Hillary juga tidak begitu memikirkan akan hal itu. Baginya, berada di kolong jempatan pun tidak masalah selama ia bersama Angkasa.
Pria itu lagi.
Harry memfokuskan padangannya pada gadis yang ia cari. Setelah menemukan gadis itu, Harry berpamitan kepada Hillary untuk pergi menjemput gadisnya. Hillary sama sekali tidak keberatan. Ia lebih suka duduk di sudut ruangan, memainkan ponselnya atau sekedar membaca e-book.
Dari kejauhan, Jullio tampak tercengang dengan kehadiran Hillary. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Hillary di tempat ini. Pandangan Jullio melucuti setiap inci tubuh Hillary yang terbungkus pakaian mahal yang melekat pas di tubuh Hillary. Sisi liarnya mengatakan ia ingin merobek kain malah itu lalu membanting Hillary di ranjangnya. Oh, Tidak! Jullio sudah gila.
Tepat saat Hillary tidak sengaja menoleh untuk mencari apakah ada tanda-tanda kehadiran Harry, ia melihat bagaimana Bianca bergelayut manja di pelukan Jullio. Hillary merasa sangat mual melihat itu semua. Entah mengapa, kesan pertama pertemuan mereka membuat Hillary menjadi jijik dengan Bianca dan Jullio yang selalu menempel seperti dua orang kembar siam.
Alasan Jullio datang ke pesta membosankan ini adalah uang yang ditawarkan olah Martin. Jullio tahu, Martin akan melakukan apa saja untuk Bianca. Jadi, demi kebahagiaan Bianca, Martin rela mengeluarkan puluhan juta untuk membayar Jullio agar mau datang ke pesta itu. Jullio tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan itu. Bagaimana pun juga, ia butuh uang. Permainan judinya akhir-akhir ini kacau, ia butuh uang untuk kembali bermain di meja judi kalau dia ingin untung yang lebih besar,
Jullio memberi kode pada Martin agar menjauhkan Bianca darinya. Untung saja, Martin mengerti dan langsung membawa Bianca masuk ke salah satu kamar di rumah Evan. Jullio tahu apa yang sering mereka lakukan. Dan entah bagaimana, Martin juga selalu berhasil membuat Bianca tunduk padanya.
Dengan langkah pasti, Jullio menghampiri Hillary. Gadis itu terlihat ingin kabur begitu melihat kehadiran Jullio. Namun, sebelum Hillary berhasil pergi, Jullio lebih dulu menarik tangan Hillary. "Mau berdansa denganku, Nona manis?'
Hillary memutar bola matanya. "Tidak!" sahutnya ketus.
"Mau minum? Aku bisa mengambilkan minuman untukmu."
"Tidak juga."
"Baiklah, kau mau apa?"
"Satu-satunya yang kuinginkan adalah melihatmu lenyap dari muka bumi!"
Jullio menghela napas. Ia memang harus sedikit bersabar menghadapi Hillary. "Kau tidak akan menginginkan kepergianku begitu aku berhasil mencuri hatimu."
"Maaf?"
"Kita lihat saja nanti."
Sejenak, keheningan merambati mereka berdua. Baik Jullio maupun Hillary tidak berniat mengeluarkan sepatah kata pun. Hillary terlalu asyik memperhatikan kakaknya. Sementara Jullio lebih suka melihat Hillary dengan jarak amat sangat dekat. Lebih baik Hillary mengabaikannya daripada melihat gadis itu pergi menghindarinya.
Jullio mengikuti arah pandang Hillary. Awalnya ia tampak ragu untuk bertanya. Namun ia tetap memberanikan diri bertanya pada Hillary. "Siapa dia? Apa dia yang membuatmu datang ke pesta ini?"
"Ya. Dia yang membawaku kemari."
Jullio merasa seseorang dengan sengaja meremas hatinya. Ia megabaikan perasaan sedih itu dan kembali bertanya pada Hillary. "Kau menyukai pria itu?"
"Aku bahkan mencintainya dengan sepenuh jiwa dan ragaku." Ucap Hillary malas.
Rahang Jullio mengeras. Ia harus lebih bersabar sepertinya. "Kenapa dia bersama wanita lain?"
"Karena wanita itu yang membawa dia kemari."
"Oh, jadi kau datang untuk pria itu dan pria itu datang untuk wanita lain? Begitu?"
Hillary mulai kesal. "Tidak bisakah kau menutup mulutmu? Aku sedang kesal dengan kakakku. Dia berjanji akan menemuiku tak lama setelah bertemu dengan gadis pujaannya. Tapi, sampai sekarang sepertinya dia lupa dengan kehadiranku!" sembur Hillary. Ia tidak tahu kapan Harry akan membawanya pergi dari tempat terkutuk ini. Kehadiran Jullio membuat suasana hatinya semakin memburuk.
Oh, kakak?
Tiba-tiba Jullio kembali dipenuhi rasa bahagia. Tapi, begitu ia menyadari wanita yang sedang bersama kakak Hillary, ia tampak sangat tidak suka.
"Kau membiarkan kakakmu bersama wanita jalang itu?"
Mendengar ucapan Jullio, Hillary sontak memalingkan wajahnya pada Jullio. "Kau tidak berhak menilai wanita yang sedang bersama kakakku."
Jullio menatap Hillary dengan tetapan mengintimidasi. "Aku tahu siapa wanita itu."
"Tetap saja, kau tidak berhak..."
"Begini saja," Jullio sedang tidak ingin berdebat dengan Hillary. Ia ingin Hillary mengetahui kebenarannya. "temui aku lima menit lagi di taman belakang rumah ini. Pastikan kakakmu ikut. Kalau kau tidak tahu di mana tepatnya taman itu, kau bisa lewat pintu itu." Jullio menunjuk sebuah pintu yang tidak di penuhi orang. Pintu itu memang sepi dan tidak terlihat. "Setelah melewati pintu itu, ambil jalan ke kanan. Sekitar dua puluh meter aku akan menemuimu di sana. Dan kau akan mendapatkan kebenaran atas apa yang kuucapkan."
Jullio mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang. Ia menutup wajahnya dengan majalah usang yang tergeletak di meja. "Lihat wanita itu." Titah Jullio. Hillary melakukan perintahnya.
Hillary mengamati gadis yang semula bersama kakaknya. Gadis itu kini menjauh dari Harry. Ia mengangkat telepon dari seseorang. Entah siapa. Tapi, Jullio mungkin tahu orangnya.
"Bisa temui aku di belakang? Aku... sedikit kedinginan."
Setelah itu, Jullio mematikan ponselnya. Hillary akhirnya tahu siapa yang sedang berbicara dengan wanita itu di telepon. Ternyata Jullio orangnya.
"Jangan lupa datang ke tempat yang kumaksud. Ajak kakakmu juga."
Setelah itu, Jullio bangkit. Meninggalkan Hillary dengah kecemasan yang tak bisa ia tutupi. Hillary menatap kakaknya. Gadis yang semula bersama kakaknya kini merengsek meninggalkan Harry.
**
Hillary mengamati jam di pergelangan tangannya. Ia butuh perhitungan yang tepat jika ingin bertemu dan membuktikan apakah ucapan Jullio benar atau salah. Tapi, kenapa juga ia harus mendengarkan pria menyebalkan itu? Sejak kapan dia peduli dengan Jullio?
Tidak. Hillary membantah akal sehatnya. Dia tidak ingin mempercayai Jullio. Dia hanya ingin melihat apa yang dilakukan wanita itu dengan Jullio. Dia juga hanya ingin melihat kakaknya bahagia.
"Harry?" terlalu lama berpikir membuat Hillary tidak sadar kalau kakaknya kini sudah duduk di sisinya. "Kemana gadismu pergi?"
"Toilet." Jawab Harry singkat.
"Oh." Hillary membulatkan mulutnya. ia tidak tahu bagaimana caranya mengajak Harry pergi dari pesta ini.
"Kak, maukah kau mengantarku ke toilet? Aku tidak tahu persis tempat ini."
Harry berpikir sejenak. Sebenarnya ia enggan menemani Hillary. Harry hanya takut sewaktu-waktu gadisnya kembali dan dia sedang tidak di sini.
"Mungkin kau bisa menunggu gadismu di toilet. Aku yakin dia juga akan berada di toilet yang sama denganku." Hillary mencoba meyakinkan kakaknya.
"Baiklah." Hillary menghela napas lega saat Harry menyetujui permintaan konyolnya. Mereka mulai berjalan beriringan menuju toilet itu berada.
"Lewat sini." Hillary memberi arahan tepat seperti petunjuk Jullio.
"Bagaimana kau tahu toilet berada di sana?" kakaknya mulai ragu.
"Aku mendengar beberapa orang berbicara mengenai toilet. Mereka semua lewat jalan ini. Kupikir memang toilet berada di sekitar jalan ini."
Harry mengikuti adiknya dengan malas. Ia berjalan di belakang Hillary. Seharusnya ia tidak mengajak Hillary. Sejak mereka masih anak-anak, Hillary memang merepotkan.
Setelah beberapa langkah, Hillary berhenti. Ia berbalik untuk menatap kakaknya dan memberi isyarat agar tetap diam. Hillary mengambil tangan kakaknya dan menggegamnya erat. Mereka berdiri di ujung jalan. Tidak ada lampu yang menyinari tubuh tinggi mereka berdua. Keberadaan mereka tidak diketahui oleh siapa saja yang datang dari depan.
Tidak akan ada yang datang. Jalan itu sepertinya memang tidak dilalui. Di hadapan Hillary dan Harry, tampak jelas dua manusia sedang melakukan...
"Aku benci melihatmu dengan pria itu," Jullio melepas kaitan bra wanita di hadapannya. Setelah itu ia menarik tali bra dari lengan wanita itu kemudian membuangnya ke tanah.
"Kupikir kau tidak datang." Sahut wanita itu. Gaun malamnya entah sudah sejak kapan tergeletak di tanah.
"Aku tidak mungkin melewatkan pesta semacam ini. Kau mengenalku dengan baik."
"Yah, kau benar sekali. Aku..." wanita itu menahan umpatannya saat jemari Jullio menari di atas kulit lehernya. Jullio membawa satu tangan wanita itu untuk dikecupnya. Terlihat jelas bagaimana wanita itu menikmati setiap perlakuan Julliio. Ia bahkan tidak merasa canggung sama sekali saat Jullio membuatnya setengah telangjang. Hanya celana dalam merah muda yang cukup feminim yang masih bertahan di tempatnya.
Jullio menyadari kehadiran Harry dan Hillary, ia memainkan rambut wanita itu dengan jemarinya, mencoba agar dirinya terlihat begitu memuja wanitanya. "Jadi, sejak kapan kau berkencan dia pria itu?"
"Siapa? Harry?"
"Aku bahkan tidak tahu namanya."
"Namanya Harry. Dia anak pertama dari pemilik salah satu penerbangan terbaik di Negara kita. Rasanya mustahil bagiku menyukai pria sepertinya. Kau tahu... yah, dia... sedikit pendiam."
"Dan... kenapa kau bersamanya?"
"Aku suka pria sepertimu." Wanita itu menyentuh d**a Jullio, Jullio menahan tangannya dan mengecupnya lagi. Seolah Jullio memuja wanita itu. "Pria liar dan mempesona."
"Itu aku." Balas Jullio dengan senyum nakalnya. "Jadi.. apa seleramu sekarang berubah? Kalau iya, aku bisa pergi sekarang." Jullio melepaskan tangan wanita itu dan bersiap menjauh.
"Tidak. Kau salah paham, Jullio. Meskipun... yah.. kita belum pernah..." wanita itu kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. "Aku tahu banyak wanita di luar sana yang juga menginginkanmu. Sama seperti aku menginginkanmu. Kau tahu itu, dan seleraku masih sama. Aku masih menginginkan dirimu hingga detik ini." Wanita itu merapatkan tubuhnya ke arah Jullio.
Jullio menahan umpatannya. Ia ingin semuanya segera berakhir. Tapi. Sepertinya butuh waktu agak lama untuk menyelesaikan yang satu ini. "Yang melucuti pakaianmu di tempat seperti ini? Harry mungkin akan membawamu ke hotel..."
"Aku tidak yakin dia bisa menciumku dengan benar. Apalagi, melakukan ini padaku. Jangan buat aku menunggu,, kumohon..." Permohonan itu terdengar menjijikkan bagi Jullio. Tiba-tiba saja Jullio merasa perutnya mual.
"Kau bisa mengajarinya." Segah Jullio.
"Tidak. Aku tidak ingin bersamanya, asal kau tahu. Aku hanya menginginkan hartanya."
Jullio menyadari kehadiran Harry dan Hillary, ia memainkan rambut wanita itu dengan jemarinya, mencoba agar dirinya terlihat begitu memuja wanitanya. "Jadi, sejak kapan kau berkencan dia pria itu?"
"Siapa? Harry?"
"Aku bahkan tidak tahu namanya."
"Namanya Harry. Dia anak pertama dari pemilik salah satu perusahaan penerbangan terbaik di Negara kita. Rasanya mustahil bagiku menyukai pria sepertinya. Kau tahu... yah, dia... sedikit pendiam."
"Dan... kenapa kau bersamanya?"
"Aku suka pria sepertimu." Wanita itu menyentuh d**a Jullio, Jullio menahan tangannya dan mengecupnya lagi. Seolah Jullio memuja wanita itu. "Pria liar dan mempesona."
"Itu aku." Balas Jullio dengan senyum nakalnya. "Jadi.. apa seleramu sekarang berubah? Kalau iya, aku bisa pergi sekarang." Jullio melepaskan tangan wanita itu dan bersiap menjauh.
"Tidak. Kau salah paham, Jullio. Meskipun... yah.. kita belum pernah..." wanita itu kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. "Aku tahu banyak wanita di luar sana yang juga menginginkanmu. Sama seperti aku menginginkanmu. Kau tahu itu, dan seleraku masih sama. Aku masih menginginkan dirimu hingga detik ini." Wanita itu merapatkan tubuhnya ke arah Jullio.
Jullio menahan umpatannya. Ia ingin semuanya segera berakhir. Tapi. Sepertinya butuh waktu agak lama untuk menyelesaikan yang satu ini. "Yang melucuti pakaianmu di tempat seperti ini? Harry mungkin akan membawamu ke hotel..."
"Aku tidak yakin dia bisa menciumku dengan benar. Apalagi, melakukan ini padaku. Jangan buat aku menunggu,, kumohon..." Permohonan itu terdengar menjijikkan bagi Jullio. Tiba-tiba saja Jullio merasa perutnya mual.
"Kau bisa mengajarinya." Segah Jullio.
"Tidak. Aku tidak ingin bersamanya, asal kau tahu. Aku hanya menginginkan hartanya."
Mendengar penuturan wanita itu, Harry menjadi sangat geram. Ia tidak menyangka jika selama ini wanita itu hanya memanfaatkan hartanya saja. Pantas saja selama ini wanita itu selalu menolaknya. Wanita jalang itu hanya datang ketika ia membutuhkan uang Harry. Dan bodohnya dia tidak menyadari hal itu.
Harry keluar dari tempat persembunyiannya. "Jadi, ini yang selama ini kau lakukan padaku?" Harry menatap mantan kekasihnya dengan tatapan berang.
Wanita itu terlihat gugup. Sementara Jullio masih mengenakan pakaian lengkapnya, dan dia sendiri dalam keadaan memalukan. Wajahnya merah padam. Ia berusaha keras mencari tempat bersembunyi agar Harry dan Hillary tidak melihatnya. Wanita itu memilih punggung Jullio. Namun Jullio tidak berusahan mengingkir dari dinding sehingga ia hanya bisa meyembunyikan sedikit tubuh serta wajahnya.
"Aku tidak menyangka ternyata kau tidak lebih dari wanita jalang yang suka menjajakan tubuhmu." Bentak Harry kepada kekasihnya.
Wanita itu membalas kata-kata Harry tak kalah pedas. "Kau tahu kenapa aku melakukannya?"
Harry enggan menjawab. Jullio tidak menampilkan ekspresi apa-apa, ia justru menatap Hillary dengan penuh kasih sayang. Sementara Hillary masih terkejut dengan apa yang baru saja dialaminya.
"Karena aku tidak yakin pria sepertinya bisa memberiku kepuasan!" sentak wanita itu dengan nada tinggi.
Harry menatap kekasihnya dengan tatapan terluka. Ia tidak menyangka selama ini ia hanya dimanfaatkan oleh wanita itu. Hatinya hancur lebur. Itulah pertama kalinya Harry jatuh cinta. Pertama kalinya Harry sakit hati karena dibutakan oelh cintanya.
Jullio tersenyum simpul kepada Hillary. Bangga dengan apa yang barusan ia lakukan. Meski tampaknya. Hillary tidak mengaggap dirinya melakukan hal yang menurut Hillary baik.