7. ketegasan

1092 Words
Austin menatap kedua orang itu dengan tatapan tajam dan tidak pernah mengalihkan pandangan dari kedua orang tersebut semenjak memasuki restoran. “Ada apa, Austin? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?” Austin tidak menjawab pertanyaan koleganya. Dia segera berdiri dan meminta maaf bahwa dia tidak dapat melanjutkan pertemuan. Kemudian, dia membawa langkahnya menuju kedua orang yang masih tampak mesra tersebut. Terlebih, Krystal tidak menghindari kecupan-kecupan yang dilakukan oleh Robert. Sesampainya di sana, dia segera menarik lengan Robert hingga Robert berdiri. Lalu melayangkan pukulan keras pada rahang Robert secara bertubi-tubi, tidak peduli Robert yang belum siap menerima pukulannya. Krystal yang melihat itu seketika terkejut sambil menutup mulutnya yang ternganga dan jantung yang berdetak cepat. Sesaat kemudian, baru dia tersadar dan segera melerai Austin yang memukul Robert. “Berhenti! Austin, aku mohon berhenti!” teriaknya dengan panik. Namun, Austin sama sekali tidak mempedulikan permintaannya. Austin masih melayangkan pukulan telak pada wajah Robert yang babak belur dan tidak peduli Robert yang sudah tampak lemas karena pukulannya. Melihat itu, Krystal semakin panik dan khawatir. “Austin, aku mohon berhenti!! Dia sudah tidak bisa bergerak lagi!” mohonnya, berusaha melerai perkelahian sebelah pihak itu. Berhasil. Austin berhenti dan membebaskan Robert yang sudah benar-benar babak belur dan tubuh Robert langsung merosot ke lantai karena sudah tidak ada tenaga. Krystal pun langsung mendekati Robert dengan wajah yang penuh kekhawatiran, tetapi tangannya langsung ditarik oleh Austin dan dia dibawa ke arah luar. “Lepaskan aku!” berontaknya. Berusaha membebaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman Austin, tetapi cengkeraman itu sangat kuat dan Austin tetap menariknya keluar dari restoran. “Austin, sakit! Lepaskan aku!” serunya kembali. Sesampainya di mobil, barulah Austin membebaskan tangan Krystal dan menatap Krystal dengan tatapan tajam. “Kamu masih berstatus istriku dan kamu harus menjaga martabatmu sebagai istriku! Masuk!” perintah Austin, membuka lebar pintu mobil. Krystal mengalihkan pandangan ke arah belakang. Dia masih khawatir dengan keadaan Robert, tetapi Austin kembali memintanya untuk masuk ke dalam mobil dengan suara yang lebih tegas dari sebelumnya. Tidak ada pilihan lain, dia pun segera memasuki mobil dan duduk dengan patuh di dalam mobil sport tersebut. Austin segera menuju kursi kemudi dan mulai menjalankan mobilnya dengan raut wajahnya yang masih terlihat dingin dan bengis. Serta, dia masih terlihat marah, walaupun tatapannya fokus ke depan. "Sekali lagi aku melihatmu bermesraan dengan pria itu, jangan salahkan aku jika membuatnya bermalam di Rumah Sakit," ujar Austin dengan nada rendah, tetapi terdengar bukan sekedar ancaman saja. "Ti-tidak. Aku tidak akan melakukan itu lagi," jawab Krystal dengan takut. Setelah itu, tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Suasana mencengkam hanya di penuhi keheningan, hingga mereka berhenti di depan sebuah perusahaan. Krystal tahu bahwa perusahaan itu adalah milik Austin, sebab dia beberapa kali menemani kakaknya mengantarkan makan siang untuk Austin ketika Austin masih berpacaran dengan kakaknya. "Turunlah!" perintah Austin yang turun terlebih dahulu. Dengan patuh Krystal turun dari mobil dan mengikuti Austin dari belakang, tetapi Austin kembali menarik tangannya dengan lembut dan setelah sejajar, Austin merangkul pinggangnya. Sontak hal itu membuat Krystal terkejut karena Austin merangkulnya di hadapan para karyawan dan staf perusahaan. Serta, terdengar bisik-bisik dari para karyawan. Namun, Austin terlihat tidak peduli dengan hal itu. Dia tetap merangkul pinggang ramping Krystal memasuki lift khusus untuk petinggi perusahaan. Di sana pun, Austin tidak melepaskan tangannya dari pinggang Krystal, hingga Krystal yang menjauh terlebih dahulu. Suasana kembali canggung dirasakan oleh Krystal. Diam dan hening kembali menyelimuti mereka di dalam lift yang sepi. Hingga, akhirnya lift itu berhenti dan Austin keluar terlebih dahulu yang diikuti oleh Krystal dari belakang. "Perintahkan semua pemimpin departemen untuk memasuki ruang rapat!" perintahnya kepada sekretarisnya. "Baik, Presiden," jawab sekretaris laki-laki itu, kemudian berlalu dari hadapan mereka berdua. Austin kembali melanjutkan jalannya menuju ruangan pribadinya, yang masih diikuti oleh Krystal dari belakang. Sesampainya di sana, mereka masih tidak berkomunikasi, dan Krystal lebih memilih duduk diam di sofa empuk di ruangan itu. Hingga, suara ketukan pintu terdengar dan sekretaris Austin memasuki ruangan. "Presiden, semua sudah berada di ruang rapat," beritahu sekretaris itu. Austin berdiri dari duduknya, berjalan ke arah pintu. Kemudian dia berhenti begitu saja sambil melihat ke arah Krystal tanpa mengatakan sepatah kata pun. "Apakah aku harus ikut?" tanya Krystal, berusaha memahami tatapan dingin Austin. "Ya," jawab Austin singkat. "Tidak bisakah aku menunggumu di sini hingga selesai rapat?" Krystal kembali bertanya, tetapi Austin masih menatapnya dengan tatapan dingin. Sehingga, mau tidak mau dia pun bangkit dari duduknya dan mengikuti Austin yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sesampainya di sana, anggota rapat sekitar 15 orang sudah menunggu mereka—lebih tepatnya menunggu Austin. Tanpa memperkenalkan Krystal terlebih dahulu, Austin menyuruh Krystal untuk duduk. Kemudian dia langsung memulai rapat tersebut. Bukanlah hal yang tabu lagi tentang pernikahan Austin dan Krystal. Semua karyawan sudah tahu hubungannya dengan Cindy, begitu juga dengan Krystal. Mungkin banyak yang tahu bahwa Krystal adalah adik Cindy, sebab dulunya sering sekali mendatangi perusahaan. Serta, ketika mereka menikah, para karyawan cukup heboh melihat pengantin yang berganti menjadi adik Cindy, dan rumor tentang Cindy yang melarikan diri di hari pernikahan juga sempat tersebar di perusahaan. Sehingga, saat ini Austin tidak perlu memperkenalkan Krystal secara khusus lagi. Selama rapat berlangsung, Krystal sama sekali tidak memperhatikan dan tidak mendengarkannya. Dia sibuk dengan kegiatannya sendiri membuat lukisan-lukisan bunga pada kertas yang dia ambil di depan Austin. Fokusnya sepenuhnya teralihkan pada bunga teratai yang dia lukis, hingga kertas itu dipenuhi oleh lukisan bunga teratai. Setelah selesai, dia pun memperhatikan dengan seksama dan dengan hati yang puas, tetapi setelah itu dia menguap karena merasakan kantuk yang mulai menyerangnya. Krystal mengesampingkan lukisan bunga teratai itu. Melipat tangannya di atas meja dan merebahkan kepalanya sambil memejamkan mata. Dia benar-benar tidak peduli dengan keadaan sekitar dan dia pun tertidur lelap. Dengan ujung matanya, Austin melirik kepada Krystal yang tertidur menghadap ke arahnya. Sebenarnya, sudah sedari tadi dia melirik diam-diam kepada Krystal ketika Krystal sibuk melukis. Sebab, dia tidak suka ada orang yang tidak memperhatikan ketika rapat berlangsung, tetapi karena Krystal orang luar, dia pun membiarkannya. "Itulah serangkaian saran dari kami, Presiden. Kami harap Anda mempertimbangkannya," ujar salah satu anggota. "Baiklah. Kita akan mendiskusikan di pertemuan selanjutnya. Kalian sudah boleh bubar," ujar Austin, menutup rapat tersebut. Satu per satu anggota keluar dari ruangan. Hingga, saat ini yang tersisa hanyalah mereka berdua. Austin memperhatikan wajah Krystal yang tertidur lelap selama beberapa saat. Kemudian, dia membangunkan Krystal, tetapi Krystal hanya bergumam sembari menyingkirkan tangannya. "Apakah kamu tidak ingin pulang, dan tidur di sini hingga besok pagi?" Tidak ada jawaban dari Krystal. Gadis itu masih senantiasa menutup matanya dan menyelami mimpinya. Hingga, akhirnya Austin tidak memiliki pilihan lain. Dia segera mendekati Krystal, kemudian menggendong gadis itu keluar dari ruang rapat tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD