(◍•ᴗ•◍)❤ Hai, all. Ini udah nyambung ama yang buku pertamanya, ya. Hehehe. Story ini akan ada 3 babak. Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Tentang Kematian mereka di 3 masa itu. Lagu- lagu yang dipakai juga berkaitan dengan kehidupan mereka. Tarian, nyanyian, ritual di sungai memang bagian kuat dari sejarah India, jadi, gak salah toh saya nulis banyak adegan nyanyi, tari dan sungai. Tapi di masa modernnya ntar nggak lagi. Oke deh! Selamat membaca!
***
Rajputana terbangun dari tidur nyenyak dan merasa segar seluruh badannya. Ia tersentak tidak menemukan Chandni di sisinya, ataupun di dalam gua. Pakaian Chandni juga tidak ada. Rajputana waswas Chandni pergi berburu atau mencari jin udara itu lagi. Ia bangun dan berpakaian. Lukanya membuat Rajputana kesulitan menggerakkan tangannya, tetapi ia berhasil menyelesaikan memasang setelan sherwani- nya.
Rajputana keluar gua, memandang berkeliling, matanya terpicing kesilauan oleh cahaya matahari. Di antara pepohonan ia mendengar suara- suara daun bergerak, lalu ringkikan kuda. Rajputana melihat sekelebat surai hitam kudanya. Ia bergegas mendatangi kuda itu. Rupanya kudanya syok tertinggal di hutan saat badai, sehingga Rajputana harus menenangkannya dulu agar bisa diajak berkendara.
Ketika sudah tenang, Rajputana menuntun kudanya ke tepi sungai, untuk mencari Chandni. Ia melihat gadis itu berdiri seorang diri di aliran air dalam keadaan telanjang bulat. Rajputana mengulum senyum. Ia melepas kudanya, lalu berjalan perlahan mendekati Chandni, ingin mengejutkannya.
Sorot mata pemuda bersayap menarik Chandni ke alam bawah sadarnya. Warna mata yang berbeda, tetapi menyiratkan rasa yang sama ketika Tuan Imdad menatapnya. Lutut Chandni melemah. Seandainya di hadapannya ini adalah Tuan Imdad, ia siap berlutut dan memeluknya. Apakah aku sudah gila sehingga berpikiran setiap makhluk adalah jelmaan Tuan Imdad? Apakah ini pertanda malaikat maut satu ini akan membawanya pada Tuan Imdad?
Devdas merasakan desiran aneh, tetapi menyenangkan ketika melihat binar- binar kerinduan di mata gadis itu. Devas ingin mengenalnya lebih dekat. "Siapa namamu?" Devdas balik bertanya. Akan tetapi gadis itu belum sempat menjawabnya, dia berbalik karena mendengar suara memanggilnya.
"Chandni!" seru Rajputana.
"Tuanku Raj!"
Devdas memperhatikan Rajputana dan matanya terpicing mengenali pemuda tampan dalam busana jubah bersulam emas dan berhiaskan aneka batu permata itu. Ia adalah teman akrab Imdad Hussain. Rajputana Udai Singh, salah satu manusia yang ada dalam daftar kematiannya. Ia heran kenapa sekarang ia merasa simpati pada pria itu. Sesuatu membuatnya gelisah, tetapi juga lega.
"Rupanya kau di sini, mere Chandni!" ujar Rajputana.
"Maafkan hamba, Tuanku," sahut Chandni. "Hari cerah dan airnya sangat segar, sayang sekali jika disia-siakan, membuat hamba ingin berendam."
Rajputana tidak mempedulikan sepatu dan jubah kebesarannya terendam air. Tangan besar dan kasar yang terbiasa memegang pedang dan busur itu menangkup wajah cantik Chandni dan melumat bibir merah segarnya. Tangannya yang lain melingkari pinggang Chandni dan merengkuh tubuh polos itu ke dalam jubahnya. Mereka berciuman hingga kaki Chandni lemas dan hampir jatuh.
Devdas agak gusar melihat adegan itu. Ia melesat pergi dari sungai.
"Hanya ada kita berdua di sini, sayang sekali jika disia-siakan," gumam Rajputana saat menyentuhkan dahinya ke dahi Chandni.
Chandni melirik ke belakangnya dan tidak melihat lagi pemuda bersayap tadi. Sepertinya Kematian bernama Devdas itu sudah pergi. Sayang sekali, padahal ada banyak hal ingin ditanyakannya. Chandni tersenyum pada Rajputana. "Ya, Tuanku Raj, hamba siap melayani Tuanku," sahut Chandni.
Rajputana mendekap Chandni dan melangkah mundur sampai tiba di sebuah lempengan batu besar. Rajputana membuka kembali pakaiannya untuk menyelaraskan dengan tubuh gadis pujaannya. Chandni duduk di permukaan datar batu itu, memandangi Tuan-nya tanpa berkedip.
Mata Tuannya juga tak lepas darinya. Saat Rajputana tak mengenakan apa pun di tubuhnya, ia menjangkau wajah Chandni lalu merebahkannya ke permukaan batu. Sebelah kakinya menaiki batu dan dengan satu tangan ia membuka kaki Chandni dan memposisikan dirinya di antara kedua kaki halus mulus itu.
Gemercik air dan deru air terjun kecil di dekat sungai, dibarengi desiran angin di antara dedaunan, sesekali cuitan burung hutan bersahutan, menjadi suara latar belakang bagi dua orang yang tengah beradu raga dan napas di atas batu besar itu. Tubuh besar berotot padat dan berkulit terang itu mengungkung tubuh halus lembut di bawahnya. Kedua tubuh itu bergerak berirama cepat laksana memacu kuda. Tangan dan kaki Chandni bertaut di tubuh Rajputana, seakan takut lepas. Dengan seluruh keperkasaan tubuh pria itu memasuki pintu surganya hanya untuk memberi kenikmatan yang menjalar ke sekujur tubuh mereka berdua.
"Mere Chandni ...," desah Rajputana sambil menunduk dan bibirnya menelusuri leher Chandni. Chandni tertawa geli ketika napas Rajputana membelai kulitnya. Pria itu menyesap kuat tiap senti kulitnya dan tanpa henti memberikan dorongan ke dalam tubuhnya, membuat sesuatu di antara mereka mendesak ingin meledak. Kepala Candni terdongak di tepi batu. Rambutnya tergerai bebas dan ujungnya menyentuh permukaan sungai. Matanya nanar memandang terbalik ke arah pepohonan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis memabukkan yang membuat lekukan di kedua pipinya. Tidak ada orang lain di sekitar sungai itu. Hanya ada seorang makhluk bersayap putih, memandanginya dari dahan pohon di pinggir sungai.
Devdas semula tidak memahami kenapa makhluk rendahan seperti manusia dan binatang gemar melakukan persetubuhan yang mana pada mulanya terlihat agak menjijikkan. Akan tetapi melihat bagaimana wajah gadis itu menjadi begitu cantiknya dan bercahaya laksana bulan, membuatnya ingin melihatnya dari dekat dan berpikir bagaimana jika dirinya yang membuat gadis itu berekspresi demikian. Bukan pria yang sekarang menyatukan tubuhnya dengan gadis itu.
Sesuatu di bawah perutnya mengeras dan itu mengejutkan Devdas. Ia panik, meringis nyeri area itu tertekan dalam tameng emas pelindung. Sesuatu yang tidak normal terjadi pada tubuhnya. Devdas pun melesat terbang ke atas, menuju nirwana tempat tinggalnya.
Ia melintasi lobi, ingin melapor pada petugas informasi di sana, tetapi rekannya yang bernama Vixion menegurnya. "Devdas, ke mana saja kau?" Vixion merangkul Devdas mengajaknya ke sudut lobi, bicara dengan suara direndahkan. "Pengawas mencarimu. Kau ketahuan tawuran dengan warga jin udara. Devdas, jika kau tidak punya alasan kuat, kau bakalan kena hukuman."
Rahang Devdas mengeras. Ia mengalami banyak masalah belakangan ini. Masalah dengan jin udara menjadi pelengkap. Teringat ucapan Zourdan, bahwa tidak semuanya berada dalam lingkup pengetahuannya. Ia hanya menjalani semuanya sebagaimana yang sudah tertulis untuknya. Mengenaskan memang hidup dalam ketidaktahuan. Maha Pemilik Pengetahuan suka membuat ciptaan-Nya bertanya-tanya.
Devdas pergi menghadap pengawasnya. Dua orang malaikat berpangkat pengawas bernama Batariel dan Armori. Mereka berada di podium tinggi, memandang rendah pada Devdas.
"Kau yang duluan menyerang raja jin udara Erion. Apa itu benar, Devdas?" tanya Batariel.
"Benar," jawab Devdas tegas.
"Dan kenapa kau melakukannya?"
Sedikit kemampuan berpikir Imdad Hussain diperoleh Devdas. Ia mengelak dengan alasan diplomatis. "Mereka mengambil jiwa anak manusia untuk mereka pergunakan sebagai peningkat kekuatan mereka. Aku mengatakan pada mereka perbuatan mereka menyalahi aturan."
Batariel dan Armori saling pandang. "Hmm, sepertinya jin udara ingin membuat masalah lagi," seloroh Armori. "Mereka masih kurang puas dengan kekuatan mereka rupanya."
Batariel kembali memandang Devdas. "Kau melakukan hal yang benar, Devdas. Kau boleh pergi."
Devdas tidak menyangka masalahnya selesai begitu saja. Ia memberanikan diri bertanya. "Memangnya kenapa dengan para jin udara itu? Masalahnya, mereka berkaitan dengan kehidupan manusia yang kuambil."
Armori berbaik hati menjelaskan. "Penghuni negeri di awan adalah kaum yang paling lama bertahan hidup di bumi. Saat daratan hancur dan banyak penghuninya musnah oleh hujan meteor, mereka lah satu-satunya kaum yang tidak terdampak. Melalui kekuatan mereka bumi didinginkan, mengondisikan daratan untuk ditinggali makhluk lainnya. Mereka membantu menumbuhkan kehidupan.
"Mereka memiliki kekuatan dahsyat, nyaris separuh kekuatan malaikat. Mereka panjang umur, tertib, dan disiplin. Mereka tidak pernah berperang dengan sesama. Tidak seperti di daratan di mana banyak terjadi perebutan kekuasaan dan lahan. Mereka benci melihat hal itu dan berpikir makhluk di daratan seharusnya di bawah kekuasaan mereka, sejak mereka membuat kehidupan di bumi tumbuh subur dan kaya sumber alam.
"Untuk membatasi kekuasaan mereka, maka di daratan diciptakan kekuatan maha dahsyat sang matahari. Artinya, di mana mereka hidup, jangan mencampuri urusan makhluk lain. Apa yang terjadi di daratan bukanlah urusan mereka, akan tetapi para jin udara mengalami kejenuhan dengan keseharian mereka. Bayangkan, mereka hidup dengan orang yang itu- itu saja, berpasangan dengan orang yang itu- itu saja, tidak melakukan apa pun, tidak ada yang ditangisi, tidak ada yang dibenci, mungkin. Kehidupan mereka terlalu damai sehingga ingin membuat orang lain merasa insecure agar keberadaan mereka diketahui."
Batariel menyeletuk, "Terasa lucu sekaligus menyedihkan, bukan? Makhluk bumi memang tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki."
Armori menambahkan, "Itulah lingkaran kehidupan. Bagi makhluk di daratan, siklus hidup mereka berlangsung cepat, sehingga mereka ingin kenikmatan yang sebanyak- banyaknya. Sedangkan bagi makhluk udara, siklus kehidupan mereka sangat lambat sehingga ingin berkuasa lebih luas. Untungnya mereka tidak bisa melewati garis pertahanan kita karena malaikat penjaga siap menghujani mereka dengan panah penghancur."
Baiklah, Devdas mendapatkan gambaran apa tujuan Erion turun ke bumi menyerang Chandni dan Rajputana. Sekarang kenapa dengan dirinya yang dirasuki jiwa Imdad Hussain? Devdas ingin bertanya demikian, tetapi teringat Zourdan yang menginginkan jiwa Imdad dan Rajputana menjadi bola cahaya kehidupan yang rusak agar tidak kembali ke surga. Devdas khawatir Zourdan akan murka padanya. Devdas pun memendam pertanyaan itu. Ia pamit pada Batariel dan Armori. "Terima kasih atas penjelasan kalian. Jika tidak ada lagi yang harus kujelaskan, aku mohon diri pergi dari sini."
Batariel menyahutinya. "Ya, ya, silakan, Devdas. Terima kasih atas kerja samamu."
Devdas meninggalkan ruang pengawas. Sekarang ia tahu jiwa Chandni akan selalu dalam bahaya. Ia segera ke bagian pengambilan tugas untuk mencabut nyawa, agar ada alasan turun ke bumi setiap saat. Terbayang mata indah gadis itu menatapnya, mengerling padanya dengan sorot memuja, Devdas merasakan debaran kencang dalam dadanya. Chandni, aku tidak tahu kenapa, tetapi kumohon, izinkan aku datang padamu dan melindungimu.