Yuki yang menjemput Mitha di sekolah, lalu ia bawa Mitha ke bengkel Yuda. Dengan cepat, Mitha bisa akrab dengan semua orang di sana, termasuk dengan para karyawan Yuda. Ia bahkan berniat belajar mengerjakan apa yang dikerjakan para montir di sana.
"Mommy"
"Hmmm"
"Mas Rafiq, sudah punya istri belum?" Tanyanya pada Yuki sambil memperhatikan montir bengkel Yuda yang bernama Rofiq. Orangnya tinggi, ganteng, menurut Mitha mirip Adpati Dolken.
"Belum, memangnya kenapa, Sayang?"
"Kalau dijadiin Abang nyu Mitha boleh teu, Mom?"
"Hmmm" Yuki menatap Mitha dan Rofiq bergantian.
"Mitha suka sama Mas Rofiq?" Yuki balik bertanya.
"Heee" Mitha tersenyum memperlihatkan gigi kelinci dan gingsulnya yang menggemaskan. Yuki tersenyum, lalu mencubit pipi Mitha dengan gemas.
"Mitha masih punya Abang Yudhis, untuk apa Abang baru"
"Bat Abang Yudhis kan mau merid, Mommy"
"Tidak sekarang, entah kapan"
"Kok begitu, Abang Yudhis kan sudah lama pacaran sama Mbak Alea"
"Mereka sudah putus, sayang"
"Haah, putus! Suer, Mom!?"
"Iya"
"Kok bisa?"
"Itu artinya, Alea bukan jodohnya Bang Yudhis"
"Iya ya, ehmm. Coba kalau Mitha sudah big, Mitha mau jadi waipnya Bang Yudhis, hihihi. Mommy mau teu punya menantu Mitha?" Mitha terkikik sendiri dengan ucapannya. Yuki tersenyum mendengarnya, iya yakin Mitha hanya bercanda saja.
"Mitha katanya adik Bang Yudhis, masa mau jadi istrinya"
"Mitha jas jok, Mommy. Mitha sebenarnya ingin pacaran seperti cewek-cewek lain, tapi kata Bang Yudhis, Mitha masih litel, belum boleh pacaran. Tahu teu, Mom. Mitha minta ajari Bang Yudhis ciuman, tapi Bang Yudhisnya teu mau"
"Haah, apa. Mitha tidak boleh ciuman sebelum menikah sayang. Lagi pula, Mitha masih terlalu muda untuk pacaran apa lagi menikah"
"Mami nikah sama papi umur 17, kalau Mommy nikah sama daddy, umur berapa?"
Yuki terdiam mendengar pertanyaan Mitha. Tapi akhirnya ia menjawab juga.
"17"
"Nah, lebih muda dari Mitha kan?"
"Tapi situasinya berbeda Sayang. Kami, Mommy dan Mamimu, harus menikah muda karena ada alasan tertentu. Kalau Mitha tidak ada alasan untuk menikah muda"
"Tapi Mitha ingin merid yong, biar seperti Mommy en Mami. Saat cildrennya sudah dewasa, mami en Mommy masih tetap yong. Bat, Mitha teu mau hep hasben old laik papi en deddy" celoteh Mitha membuat Yuki tersenyum.
"Mitha tidak ingin sekolah yang tinggi dulu sebelum menikah?"
"Mami dan Mommy bisa tetap sekolahkan meski sudah merid. Tetap bisa jadi wanita karir yang hebat, Mitha ingin seperti Mami en Mommy"
Yuki sudah kehabisan kata untuk merubah keinginan Mitha, soal berdebat, jangan ditanya kalau anak Hanum sang Pengacara. Tampaknya apa yang Mitha lihat pada kedua keluarga sepertinya sangat membekas dalam benaknya.
****
Yudhis menemani Mitha yang sedang belajar di ruang tengah rumah Yudha. Yudha dan Yuki sedang pergi ke acara syukuran di rumah salah satu karyawan di bengkel Yudha.
"Sudah ya Bang belajarnya. Mitha capek" Mitha menyandarkan punggungnya di kaki sofa, kepalanya ia sandarkan di kaki Yudhis. Kepalanya mendongak dan menatap Yudhis penuh permohonan.
"Ya sudah, rapikan bukunya"
"Ehmm, terimakasih Abang" Mitha segera merapikan buku pelajarannya. Lalu ia duduk di sisi Yudhis, dipeluknya erat lengan Yudhis, di sandarkan kepalanya di lengan Yudhis.
"Nyalakan televisinya Bang" pintanya. Yudhis menyalakan televisi di hadapan mereka, lalu menyerahkan remote ke tangan Mitha. Mitha mencari acara yang disukainya, Yudhis melirik Mitha dengan ekor matanya.
Entah kenapa Yudhis merasakan desiran halus yang tidak biasa di dalam hatinya. Padahal kemanjaan Mitha yang seperti ini sudah sangat biasa dilakukannya.
"Mitha"
"Ehmm" Mitha mendongakan wajahnya untuk menatap wajah Yudhis.
"Tadi pagi, siapa cowok yang jalan bareng sama kamu waktu masuk ke gerbang sekolah?"
"Siapa ya, sebentar Mitha ingat-ingat dulu." Mitha terdiam sejenak.
"Ooh, Toni, Ozi, sama Fian"
"Teman satu kelas?"
"Heum, memang kenapa Bang?"
"Tidak apa-apa. Engh, kamu jadi pacaran sama Toni?"
"Enghh" Mitha menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?"
"Kata Abang, Mitha masih kecil, nggak boleh pacaran"
"Pinter, adik Abang" Yudhis mencubit pipi Mitha. Hatinya terasa sangat lega mendengar jawaban Mitha.
"Eeh iya, Bang. Mitha mau cerita sama Abang" Mitha melepaskan lengan Yudhis dari pelukannya, lalu menegakan punggungnya. Ia duduk bersila menghadap Yudhis yang duduk di dekatnya.
"Ada apa?" Tiba-tiba kecemasan menyergap perasaan Yudhis.
"Tadi pulang sekolah yang jemput Mitha kan mommy"
"Hmmm, terus"
"Mitha dibawa mommy ke bengkel daddy"
"Terus?"
"Di bengkel daddy ternyata ada montir ganteng, kalau Abangkan mirip Lee Min Hoo, kalau Mas Rofiq mirip Adipati Dolken. Boleh teu, Mas Rofiq jadi Abang nyu Mitha?" Tanya Mitha sambil menggoyangkan lengan Yudhis. Hati Yudhis kembali berdesir, tapi desiran kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Desiran ini desiran yang sama seperti tadi pagi.
"Mitha tidak perlu Abang baru, Abang tidak jadi menikah dengan Alea"
"Mommy juga bilang begitu. Bat not jadi merid dengan Mbak Alea bukan berarti Abang teu akan merid selamanyakan. Abang pasti nanti akan merid kalau sudah bertemu jodoh Abang, iyess teu?" Mitha menatap mata Yudhis yang tengah menatapnya.
Yudhis menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan.
"Jawab, Abang!?" Mitha menggoyangkan lengan Yudhis.
"Selama Abang belum menikah, Mitha tidak boleh cari Abang baru" jawab Yudhis.
"Kenapa begitu? Mitha perlu persiapan atuh. Mitha perlu teman bicara, perlu lengan kokoh yang bisa dipeluk seperti ini, perlu bahu untuk sandaran kepala Mitha" cerocos Mitha sambil memperagakan apa yang diucapkannya.
"Mitha masih punya papi, Mitha bisa..."
"Papi not sama dengan Abang, Abang! Beda atuh rasanya disayang papi sama disayang Abang"
"Mitha, tidak semua pria di dunia ini sebaik papi, daddy, atau Bang Yudhis. Mitha tidak bisa memilih Abang baru hanya dengan melihat tampangnya saja. Sudahlah, dengarkan Abang, Mitha tidak boleh mencari Abang baru, Abang akan selalu jadi Abang Mitha, meskipun Abang nanti sudah menikah"
"Bagaimana kalau istri Abang cemburu?"
"Abang akan mencari istri yang bisa menerima kehadiran Mitha dalam hidup Abang"
"Mana ada laik det, Abang. Pasti teu adalah wanita yang mau berbagi perhatian suaminya, meski itu dengan saudara suaminya. Apa lagi Mitha teh cuma adik-adikan, not adik beneran"
Yudhis kembali menarik napasnya, urusan berdebat, Mitha 100% menuruni Maminya yang seorang Pengacara terkenal. Sulit untuk menang debat melawannya.
"Sudahlah, lupakan dulu urusan Abang baru, sekarang tidur sana." Yudhis menepuk lutut Mitha lembut.
"Takut sendirian" rengek Mitha.
"Biasanyakan tidur sendirian juga"
"Itukan di rumah dan di kamar Mitha sendiri"
"Kamukan juga sudah biasa di rumah ini"
"Iya, tapikan belum pernah menginap. Kamar Mitha di bawah, kamar Abang, kamar daddy dan mommy di atas. Mitha takut, Abang temani Mitha sampai Mitha tidur ya"
"Ya sudah, ayolah" Yudhis bangkit dari duduknya, diikuti oleh Mitha.
BERSAMBUNG
Ma