Aku mendengar suara berisik yang entah dari mana. Tapi aku tidak berniat untuk mencari tahu karena mataku berat sekali untuk dibuka. Pun dinginnya AC membuatku makin menggigil. Aku lantas mengeratkan selimut ke badanku dan memeluk bantal gulingku dengan erat.
Duh, gini kan enak.
Namun aku merasakan bantal gulingku seperti bernapas, itu jelas banget terasa pergerakannya karena kepalaku kutaruh di atasnya. Cukup penasaran juga aku dibuatnya. Aku pun meraba bantal gulingku, kenapa keras ya, nggak empuk kayak biasanya. Jangan-jangan ….
Aku pelan-pelan mengangkat kepalaku, mendongkat ke atas. Seketika aku terkaget melihat ada kepala Mas Adam di atasku. Ia tengah memelototi dengan garang.
"M-mas Adam?" Aku sedikit memekik ketika menyebut namanya. Spontan saja aku menjauhkan diriku darinya. Jadi yang dari tadi kupeluk-peluk itu bukan guling?
"Enak ya main peluk-peluk. Nyari kesempatan dalam kesempitan," sindir Mas Adam seraya bangkit dari tidurnya.
"Kirain tadi bantal guling, Mas. Sorry."
"Sampe pegel nih tangan, kamu jadiin bantal."
Aku seketika mencebik kesal. "Lagian Mas Adam udah tahu aku jadiin bantal guling, bukannya dibangunin malah dibiarin. Jangan-jangan Mas yang nyari kesempatan dalam kesempitan. Hayo ngaku!" tuduhku balik, nggak mau kalah.
"Gimana mau dilepas kalau kamu kenceng banget meluknya."
"Ah au. Amel mau cuci muka dulu," kataku lantas beranjak dari ranjang.
"Eh, aku duluan. Udah kebelet banget banget." Mas Adam pun ikut bangkit dari ranjang dan langsung merebut pintu kamar mandi.
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Mas Adam. Kadang Mas Adam itu nggak mau jaga image di depanku, tapi kalau pas di depan publik, sok ganteng dia tuh. Eh, tapi memang ganteng deng.
Sembari menunggu Mas Ada selesai, aku membuka pintu balkon kamar agar udara dari alam menyeruak masuk kamar. Ugh, segarnyaaa ….
Setelahnya, aku membereskan tempat tidur. Pun membereskan meja kerja Mas Adam yang nggak begitu berantakan, cuma lap-lap dikit walau debunya nggak terlalu banyak lantaran sering dibersihkan ART meskipun penghuninya jarang di sini.
Namun ada satu bingkai foto yang dibuat telengkup, membuatku sedikit penasaran juga. Kuraih bingkai foto itu dan membalikkannya. Ternyata itu adalah foto masa SMA Mas Adam dan Clara Attesia, seorang model yang cukup terkenal sampai ke mancanegara. Aku sebenernya nggak terkejut mereka pernah berteman, hanya saja … kenapa Mas Adam masih bikin foto ini di sini sih? Padahal udah punya istri, ya kan. Bikin kesel aja.
"Liat apaan sih?"
Aku kaget ketika mendengar suara Mas Adam tiba-tiba muncul dari belakang. Hingga tanpa sengaja bingkai foto yang kupegang terlepas dari tanganku, untungnya Mas Adam gesit banget menangkap foto itu agar tidak betulan jatuh dan pecah.
"Ih, Mas Adam ngagetin banget sih." Ku pukul pundaknya pelan, sebagai respon refleks karena terkejut.
"Lagian ngapain sih buka-buka barang orang? Jahil banget tangannya." Mas Adam menggerutu, kemudian memasukan bingkai foto itu ke dalam laci meja kerjanya.
"Emang nggak boleh?"
"Nggak boleh lah."
Aku mencebik mendengar tanggapannya. "Udah punya istri masih aja nyimpen foto gebetan."
"Nggak usah drama deh," kata Mas Adam seraya menjitak kepalaku. "Lagian cuma temen itu."
"Hm. Temen apa temen?"
Mas Adam berdecak melihatku, membuatku seketika tak berkutik. Aku kalau dipandangi Mas Adam lebih dari lim detik, nggak sanggup.
"Ya udah, sana. Katanya tadi mau cuci muka."
Aku pun segera melengos ke kamar mandi, untuk cuci muka.
***
"Awas, ada ulat bulu!"
Aku spontan kaget mendengar suara Mas Adam, dan tak jadi melangkahkan kakiku. Ketika kulihat di bawah ternyata nggak ada apa-apa, aku langsung pundak Mas Adam. Jahil banget.
"Nggak ada ya. IHHH"
"HEH! Berani banget kamu mukul yang lebih tua."
Mas Adam sudah hampir saja membalasku, namun aku segera menghindar dan berlari menuruni tangga. Ku lihat ke belakang, ternyata Mas Adam nggak berniat mengejarku. Malah berjalan dengan santainya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
"Duh, pengantin baru mesra amat, ya."
Ku dengar suara Mamih menyapa ketika aku baru saja memasuki dapur. Aku hanya membalasnya dengan kekehan. Eh ternyata, ibu mertuaku nggak sendiri di sana, ada Bunda juga yang lagi sibuk membuat adonan kue.
"Loh, Bunda … kok di sini juga?" tanyaku, segera menghampiri bunda dan menyalim meskipun tangannya dilumuri tepung.
"Kebetulan kamu di sini, jadi bunda main deh ke sini," kata bundaku.
"Bikin apa sih?" Aku bertanya seraya memandangi Bunda dan Mamih bergantian.
"Bikin bolu, Mel."
Aku ber-oh ria, sambil manggut-manggut.
"Amel bantuin, ya."
"Eh, eh, nggak usah. Kamu pasti udah kecapean karena tadi malam makanya lama bangun, bunda ngerti kok. Lagian ini juga udah mau selesai, Mel."
Bunda mengatakan itu sambil tersenyum penuh kode dengan Mamih. Mereka saling mengedipkan mata. Pada kenapa sih?
"Amel duduk aja di situ, sama Mas Adam. Main-main atau pacaran ke mana kek," kata Mamih seraya menunjuk Mas Adam dengan dagunya, yang kini sibuk main handphone di meja makan.
Dengan pasrah, aku pun berjalan menuju ke arah Mas Adam yang masih fokus memandangi layar handphonenya. Saking fokusnya, Mas Adam tampaknya belum menyadari kalau ada berada tepat di belakangnya, ikut memandangi layar handphone Mas Adam. Lagi chatingan sama siapa dia tuh.
Kayaknya sih Mas Adam chatingan sama grup apa gitu. Mungkin grup kerjaan kali ya, grup yang isinya kru film yang lagi dibintangi Mas Adam.
Aku spontan terkejut ketika Mas Adam mengangkat kepalanya dan mendongak sehingga bertatapan denganku. Lebih kaget lagi ketika jarak wajah kami terlalu dekat, bahkan tak pernah sedekat ini sebelumnya. Duh, kenapa mendadak deg-degan sih.
"Lihat apa, ha?" kata Mas Adam masih menatapku dengan wajah galaknya.
Aku mencoba untuk memaksakan cengiranku di balik jantungku yang sedangk jumpalitan. Ih, kenapa pula muka ini rasanya panas ya.
"Eh, enggak. Cuma nggak sengaja nengok aja, Mas."
"Ngeles aja kamu," katanya.
"Lagian yang nengok ISTRI sendiri loh ini," aku menekankan kata 'Istri' untuk menyindirnya. "Atau jangan-jangan Mas Adam punya rahasia makanya nggak mau kasih tunjuk? Punya selingkuhan?"
"Heee? Sembarangan kalo ngomong."
"Apa tuh ribut-ribut?" Seketika Mamih menyela pembicaraanku dan Mas Adam. Sama dengan Bunda, mereka tampak memandang kami penasaran.
"Ini, Mih … masa Amel nuduh aku selingkuh."
"Ih. Siapa yang nuduh? Kan cuma nanya loh, Mas."
"Lagian kamu mikirnya aneh-aneh sih. Suka banget suudzon."
"Ya udah sih, nggak usah ngegas kalo emang nggak selingkuh."
Seketika saja Mas Adam langsung memiting leherku di bawah ketiaknya, dan menjitak kepalaku.
"Ih, lepas! Mas Adam apa-apaan sih?!" aku meronta ingin melepaskan diriku dari kurungan tangan Mas ada di leherku. Namun nampakny aktor songong ini malah makin mengeratkan lingkaran tangannya. Lama-lama bisa tercekik beneran nih.
"Kalian kalau mau berantem, kamar aja sana!" teriak Bunda, diiringi cekikikan dari Mamih.
Bersambung ….