1. Mas Adam?
"Asli ya, aku nggak suka sama endingnya Mr. Queen. Maksa banget!"
Kudengar suara Cindy tengah berapi-api di kubikel sebelahku. Seperti biasa, di jam makan siang sekalian waktunya untuk bergosip. Aku pun ikut menggeser kursiku, ikut berkumpul dengan kawan sepergosipan.
"Eh, emang udah tamat? Gue belum sempet nonton, nih." Arini menimpali, seraya menggigit keripik kentangnya.
"Udah, kemaren. Duh, endingnya tuh jelek banget," kata Cindy, masih dengan kekesalan yang seperti tadi.
"Pas kok endingnya. Raja dan Ratunya bahagia."
Di sisi lain, ada Dinda malah memberikan pendapat berbeda dari Cindy. Ia ikutan mengambil keripik kentang milik Arini dengan santai.
"Gue malah berhenti di episode empat belas. Ini padahal mau lanjut nonton, tapi kalau endingnya maksa, mending gak usah." Aku ikut berkomentar.
Drama korea Mr. Queen memang baru-baru jadi bahan pembahasan kami. Aku juga awalnya menonton drama yang lagi panas-panasnya ini, karena penasaran sama obrolan mereka soal drama yang satu itu.
"Jelek, Mel, endingnya," kata Cindy kepadaku. Dia terlihat kesal kali dengan drama yang satu itu. "Lu tahu nggak, endingnya yang balik malah si Soyong, jiwanya Bonghwan mati. Maksa banget tahu, nggak sih!"
"Gue juga udah ngerasain itu pas suara dalam hatinya ratu berubah jadi suara cewek. Kerasa banget tempelan tukar jiwanya." Aku pun ikut-ikutan menambahi. Sama sih, aku juga kesal sama drama korea yang satu ini.
"Nah iya, kerasa banget penulis naskahnya pengen banget hilangin jiwanya si Bonghwan dari tubuh Ratu."
"Ya gitu deh, tipikal drama korea. Di awal seru, pas mau mendekati ending alurnya malah buru-buru banget. Keliatan banget penulis naskahnya dikejar deadline banget," kata Arini, yang kini membuang bungkus keripik kentangnya ke tempat sampah.
Aku pun mengangguk-angguk pertanda setuju dengan perkataan Arini. Aku juga suka nonton drama korea, namun selalu suka berhenti di tengah jalan karena bosan dengan pertengahan alurnya.
"Eh, ngomong-ngomong, filmnya Adam Pramudya bentar lagi rilis loh. Nonton bareng, yuk."
Tiba-tiba Dinda mengubah topik lain.
"Eh, kapan tuh? Ayuklah, aku kangen nonton filmnya Mamasku. Tahun lalu filmnya nggak ada yang dirilis sih," sahut Arini, yang kini tampak jadi semangat. Kutahu, Arini ini salah satu penggemarnya Adam, sampe suka banget nyebut dia dengan sebutan 'Mamasku'.
"Masih bulan depan sih."
"Aku nggak ikut."
"Udah tahu." Arini membalas sewot perkataan Cindy yang katanya nggak mau ikutan.
Aku dan Dinda lantas tertawa pelan. Kami semua tahu kalau Cindy itu nggak begitu suka nonton film lokal. Dia sukanya tontonan luar negeri, kayak anime, drama korea, jepang, tiongkok, thailand, barat, gitu-gitulah.
"Lo, Mel? Ikut nggak?"
Pertanyaan Arini kepadaku sontak membuatku berpikir sejenak.
"Hmm. Pikir-pikir dulu deh. Lagian masih lama kan, sebulan lagi.
"Ya udah deh."
Sebetulnya, aku tidak perlu pergi ke bioskop untuk menonton filmnya Adam Pramudya, karena aku sendiri menjadi salah satu pemeran pendukung yang menjalani hidup penuh drama dengan aktor papan atas itu.
***
"Nyampeee…."
Suara Dinda disusul dengan decitan pelan rem motorku. Aku baru saja menghentikan motorku tepat di depan kos Dinda.
"Thanks ya, Mel," kata Dinda begitu ia turun dari motorku, yang kubalas dengan anggukan. "Hati-hati di jalan."
Dinda memang selalu menumpang denganku tiap pulang kantor. Selain karena tempat tinggal kami searah, aku pun senang karena punya teman mengobrol di perjalanan pulang.
Aku sampai di apartemen tempatku tinggal. Membuka pintu lobi menggunakan kartu akses dan masuk ke lift. Namun ada pula orang lain yang masuk. Orang itu berpakaian hitam, serba tertutup. Memakai masker, topi dan kacamata. Bisa kupastikan dia adalah laki-laki, kalau dilihat dari bentuk badannya
Seketika saja bulu romaku berdiri. Aku punya perasaan nggak enak dengan kehadiran orang ini. Karena melihat penampilannya yang mirip penjahat di film-film thriller. Padahal gedung apartement ini sudah dipastikan keamanannya, bahwa hanya orang-orang yang bertempat tinggal di sini yang boleh masuk. Karena pintu masuknya menggunakan kartu akses yang hanya bisa digunakan orang-orang yang tinggal di sini, jadi nggak sembarang orang bisa masuk. Yah, mungkin orang berpakaian serba hitam ini memang tinggal di sini. Jadi berpikir positif aja, Mel.
Tapi, masih takuuuut. Mana sepi lagi, cuma kami berdua di lift.
Begitu pintu lift terbuka, aku langsung bergegas keluar dan berjalan menuju unitku. Namun, orang tadi malah mengikutiku. Aku tentu saja makin panik. Aku membuka pintu apartementku dengan sidik jari dan masuk dengan cepat.
Aku bernapas lega kala pintu sudah tertutup. Namun bunyi klik pintu terbuka kembali membuatku jantungku kembali berdegup panik. Aku mengangkat tas tanganku, bersiap memukul orang yang membuka pintu unitku.
Begitu kepala orang itu muncul dari balik pintu, aku langsung memukuli kepalanya tanpa ampun.
"Eh, apa-apaan nih? Main mukul-mukul!"
Orang itu bersuara. Aku spontan menghentikan pukulanku, karena merasa familiar dengan suaranya. Orang berpakaian serba hitam itu pun melepas kacamatanya dan membuangnya sembarangan. Disusul dengan melepas masker dan topinya. Ia menatapku kesal, dengan tatapan mata yang seakan ingin menusukku.
"Mas Adam?"
"Iya, ini aku. Kenapa?"
Bersambung….