3. Mas Devano

1017 Words
Daging ayam, cek! Tepung, cek! Kecap asin, cek. Sayur-sayuran, cek. Dan lain-lain, cek. Eh, bentar, tapi kayaknya ada yang kurang. Coba lihat lagi trolinya. Hm. Tadi kayaknya Mas Adam nitip beli alat cukur deh. Tapi biasanya di depan kasir kan ada tuh. Ambil di sana aja kali, ya. "Amelia?" Sebuah panggilan spontan membuatku sedikit kaget. Lantas menoleh ke belakang. Mataku menyipit ketika melihat seorang laki-laki yang kini tersenyum lebar kepadaku. Eh, kayak kenal deh. Tapi siapa ya? "Mas ... Deva?" tanyaku memastikan, walau kutahu aku tak mungkin salah mengenali orang ini. Laki-laki itu makin tersenyum lebar. "Iya, ini aku, Mel. Ya ampun, lama nggak ketemu, ya." Ia tersenyum disertai kekehan ringan. Aku pun ikut ketularan senyum. Ternyata, betulan Mas Devano, seniorku dulu waktu kuliah. Tak kusangka Mas Devano masih mengenaliku padahal sudah lima tahun tidak bertemu. "Ngapain di sini?" tanyanya, seraya melirik troliku yang berisi banyak bahan belanjaan dapur. "Belanja, Mas. Mas juga?" Ia mengangguk. Aku tahu pertanyaan macam begini hanya sekedar basa-basi. Pertanyaan spontan yang jawabannya pasti sudah ditahu, saking bingungnya bertanya apa. "Gimana kalau kita makan dulu? Aku traktir deh." Sebetulnya aku ingin menolak ajakan Mas Devano, tapi nanti jadi nggak enak hati. Dengan terpaksa, aku pun mengangguk. Sebelum kami mencari tempat makan, kami lebih dulu pergi ke kasir untuk membayar belanjaan. "Mas Deva bukannya di Singapure ya waktu itu?" tanyaku ketika kami baru saja menduduki sebuah meja di salah satu kafe mal. "Baru balik, Mel. Sekarang mau di sini aja." Aku pun ber-oh ria. Meskipun Mas Deva dan aku tidak bertemu selama bertahun-tahun, namun kami saling follow di i********:, dan aku tahu Mas Deva di Singapura karena aku pernah baca komen-komenan dia sama temannya. Katanya sih, Mas Deva ke sana buat lanjut S2. Oh iya, aku dan Mas Deva nggak seakrab itu kok. Hanya saja, Mas Deva dekat banget sama kakak kosku dulu. Jadi sering main ke kos, terus sering ketemu aku bahkan Mas Deva sering nitip pesan atau sesuatu ke kakak kostku itu melalui aku. Gitu. "Oh iya, sekarang Teh Uchi di mana, Mas?" tanyaku, di sela-sela makan kami. Teh Uchi adalah kakak kos yang kumaksud. Sahabatnya Mas Deva pas masa kuliah dulu. "Kok nanya ke aku?" "Lah, kan Mas Deva sahabatnya Teh Uchi. Siapa tahu kan, Mas Deva tahu." "Sekarang udah jarang kontakan. Malahan dia ngeblokir nomerku." Aku spontan kaget mendengar jawaban Mas Deva. "Kok bisa?" "Biasalah, urusan pribadi." Aku pun mengangguk paham. Mas Deva dan Teh Uchi itu dekat banget. Gaya berteman mereka memang sedikit bar-bar. Suka ribut gitu, bercanda-bercanda. Kayak Tom an Jerry. Gemesin. Kalau marahan, balikannya cepat biasanya. Tapi nggak kusangka Teh Uchi sampe blokir nomernya Mas Deva. Pasti masalahnya serius banget nih. Tak lama kemudian, kami pun selesai makan bareng. "Pulang naik apa, Mel?" "Naik ojek online, Mas?" "Aku anterin aja, yuk." "Nggak ngerepotin, Mas?" "Eh tapi, kamu ke arah mana dulu nih?" "Wahidin, Mas." "Lha, kebetulan aku juga tinggal di sana, Mel. Bareng aja, yuk." Eh? Beneran kebetulan nih? Kenapa aku baru tahu kalau Mas Deva juga tinggal di wilayah yang sama denganku. "Sejak kapan Mas Deva tinggal di sana?" tanyaku, yang mau tak mau mengikutinya menuju parkiran. "Baru sebulan. Tapi kita kok nggak pernah ketemu, ya?" Mas Deva bertanya balik. "Jangan-jangan jodoh nih kita, tempat tinggalnya deketan." Aku pun ketawa mendengar ucapan Mas Deva, namun terdengar sumbang. Jodoh apanya? Aku sudah bersuami kali, Mas. Yah, walaupun aku tidak perlu menjelaskan bahwa diriku sudah menikah. Nanti kepo pula siapa suamiku. Soalnya, Mas Adam mau pernikahan kami dirahasiakan, nggak boleh bilang siapa-siapa. *** Aku membuka pintu unit apartementku. Namun, aku terkejut ketika kulihat Mas Adam sudah berdiri tepat di depanku. Ia bersandar menyamping ke tembok sambil menatapku tajam. Kedua tangannya ia lipat depan d**a, aura bossynya langsung keluar deh. Hidungnya kembang kempis seakan mengeluarkan asap pertanda sedang kesal. "Lama banget. Belanja ke mana, sih? Ke Jepang?" sindirnya. Aku seketika merasa bersalah. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat seperempat. Padahal tadi berangkatnya jam setengah sembilan loh aku, dan harusnya pulang paling lama setengah sebelas. "Duh! Maaf lama, Mas. Nungguin, ya?" "Ya iyalah." Mendengar suara ketusnya, membuatku lantas buru-buru berjalan menuju dapur. Aku dapat mencium bau mie instan. Dan benar saja, di wastafel kulihat ada sebuah baskom kotor bekas makanan bermicin itu. "Mas Adam masak mie instan?" tanyaku. "Iya. Kamu kelamaan belanjanya, keburu laper." "Duh. Maaf ya, Mas. Maaf." Ini mungkin karena aku terlalu lama mengobrol dengan Mas Deva tadi. Pasti Mas Adam udah lapar banget deh itu, makanya sampai makan mie instan. Aku langsung menggunakan jurus memasak kilat. Aku hanya memasak makanan sederhana ala rumahan. Untungnya, Mas Adam nggak pernah pilihan makanannya nggak macem-macem, nggak harus makanan ribet khas eropa gitu. Setelah selesai, aku memanggil Mas Adam yang dari tadi sibuk entah ngapain dengan handphonenya. Mungkin main trading forex kali, soalnya Mas Adam juga suka main saham gitu. "Mas, emang nggak ada jadwal syuting atau apa gitu?" tanyaku penasaran. Karena sudah dua hari Mas Adam diam di apartemen dan nggak ke mana-mana. "Dikasih libur dua minggu, sebelum nanti ada acara promosi film." Aku ber-oh, paham. "Ooh, film yang mau tayang itu ya, Mas? Apa sih judulnya? Surat Cinta Untuk Adinda, bukan?" "Hm." Mas Adam berdeham pelan, yang kupahami sebagai anggukan. "Ada tiket gratis nggak, Mas?" tanyaku seraya menaik-turunkan alisku, kalau lagi ada maunya. "Emang mau nonton?" "Iya, kalau ada tiket gratis." "Hih, maunyaa," decak Mas Adam yang justru membuatku terkekeh. "Nanti kalau ada." "Yeeay!" Kata Mas Adam, biasanya yang main di film itu suka dikasih tiket gratis juga. Makanya aku mending minta aja ketimbang beli. Hehe. "Oh iya, Mas Adam kenapa nggak pernah main film laga atau thriller gitu?" Aku bertanya seperti itu, karena sejauh yang kutahu, Mas Adam nggak pernah main film action gitu. Padahal pengen lihat Mas Adam sekali-kali main yang kayak super hero gitu. Main tinju-tinjuan, atau terbang kayak spiderman. "Nggak suka. Kebanyakan capeknya, harus kotor-kotoran lagi." Dih, suombong amat jawabannya. "Padahal Mas Adam keliatan cocok loh kalo main film laga. Wajah penjahatnya dapat," candaku sambil terkekeh, yang seketika membuat Mas Adam menatapku tajam. Aku seketika diam. "Tiker gratisnya nggak jadi." "Yaaah. Mas Adaaaam..." Mas Adam langsung pergi dari hadapanku, tanpa mempedulikan teriakan kekesalanku. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD