7. Baper

1080 Words
Layar televisi berukuran setengah badanku menayangkan acara ajang pencarian bakat yang sangat bergengsi, yang melahirkan penyanyi-penyanyi dengan suara amazing. Well, aku suka banget nonton ini tiap senin malam. Sementara di sofa sebelahku, Mas Adam asik aja menggulir-gulir ipad-nya. "Sekarang tanggal berapa ya, Mel?" Spontan aku menoleh ke arah Mas Adam karena pertanyaannya yang tiba-tiba. Ia bahkan belum mengalihkan pandangan dari ipad di tangannya. "Tanggal 22 Februari," jawabku, yang belum juga membuat Mas Adam menatapku. Masih sibuk fokus mengutak-atik layar ipad. Duh, padahal kan bisa lihat tanggal di situ. Pake nanya lagi. "Kenapa, Mas?" tanyaku sedikit ingin tahu. "Oh, itu ..." Mas Adam akhirnya meletakkan ipad itu ke sebelahnya. "Lusa aku ada pemotretan majalah." "Terus?" "Cuma ngasih tahu aja," katanya sambil nyengir. Ya elah, kirain ada hal penting apa. Ternyata hanya sebatas beri tahu. Aku pun akhirnya kembali menatap layar televisi. "Jagoin siapa, Mel?" "Hah?" Aku kembali menatap Mas Adam. Tumben banget sih dia mau banyak bicara sama aku. Biasanya juga saling sibuk sama dunia sendiri. "Itu ... kamu jagoin siapa di situ?" tanya Mas Adam lagi, seraya menunjuk acara televisi. Oh. Ternyata Mas Ada lagi nanya siap jagoanku di ajang menyanyi itu. "Marrisa. Suaranya oke banget, Mas." Entah kenapa aku selalu menjadi antusias kalo diajak ngobrol tentang sesuatu yang kusuka. Bahkan kini aku mengangkat sebelah kakiku ke sofa dan menghadap sepenuhnya ke arah Mas Adam. "Dia tuh suaranya komersil banget. Tipe-tipe suara yang bakalan laris di pasaran." "Oh ya?" Aku mengangguk antusias mendengar respon singkat Mas Adam. Ia menopang kepalanya dengan tangan dan terus menghadap ke arahku tanpa bicara lagi. Seketika aku merasa canggung ditatap sedemikian lama sama Mas Adam. Aku pun lantas berbalik lagi menonton tayangan di tivi, berusaha mengabaikan tatapannya. Tapi kenapa sih Mas Adam masih nengokin aku terus? Iiihhh! Bikin aku nggak konsen nonton jadinya. Bikin jantung mendadak dag-dig-dug dengan cepat. Sambil mendengus kesal, aku pun balik lagi nengok ke arah Mas Adam. Ia masih menatapku dengan tatapan tanpa kedip, sepertinya. "Mas Adam kenapa sih? Nengokin terus!" "Nggak papa." "Amel risih nih kalo ditengokin. Sana ah, hadap lain aja. Atau nonton tipi aja." Aku kesal sama Mas Adam. Nggak sanggup woy ditengokin sama orang ganteng terus. Mas Adam malah ketawa. Ih, apa sih yang lucu? "Kamu ngegemesin banget sih." Mas Adam mencubit pipiku, membuatku seketika menjerit sebal. "Ih. Apaan sih!" Aku melepas cubitannya, dan mengusap-usap pipiku yang pasti sudah berbekas jarinya. "Amel?" "Apa?!" sahutku ketus. "Ternyata kamu cantik juga, ya." Dih. Apa sih? Siapa sih yang ngomong itu? Entah setan apa yang merasuki tubuh Mas Adam sampai tumben-tumbennya menggombal terus sama aku. Biasanya suka ngebully dia tuh. Iiih, nih orang kenapa bisa banget sih bikin muka orang kepanasan. Bikin baper aja. *** Seperti yang diberi tahu Mas Adam tiga hari lalu, Mas Adam melakukan pemotretan majalah. Dan mungkin ada kerjaan lain juga. Karena sejak dua hari lalu, Mas Adam nggak pulang ke rumah. Mas Adam juga udah sempat pesan sih kalau dia nggak pulang ke apartemen karena masih sibuk. Biasalah, artis. Sibuknya melebihi Presiden. Aku yakin, Mas Adam nginep di apartemennya yang lain. Memang sih, Mas Adam nggak pernah cerita kalau dia punya apartemen lain selain apartemen tempatku tinggal. Tapi yang namanya artis, pasti privasinya direbut sama fans dan paparazi. Karena aku pernah baca di akun gosip, Mas Adam kepergok mendatangi sebuah gedung apartemen, dan katanya dia tinggal di sana. Ah, entahlah. Tapi untungnya, Mas Adam belum pernah kepergok kamera ketika datang ke apartemen tempatku tinggal. "Amel?" Aku spontan terkesiap ketika ada yang memanggil namaku, disertai tepukan di bahu. Ketika kutolehkan kepalaku, ternyata ada Arini yang kini berada di belakangku. "Kenapa, Rin?" "Pinjem bolpoin dong, tintaku abis." Aku pun lantas memberikan bolpoinku kepada Arini. "Amelia?" Duh, siapa lagi sih yang manggil? Aku mendongak ketika kulihat ada Jessica berdiri di depanku. Dia adalah staf operasional yang penampilannya nggak sekeren namanya. Dia tuh kaku banget orangnya, suka pakai pakaian yang begitu-begitu aja. Tipe-tipe introvert. "Ada apa, Mbak Jes?" "Dipanggil Pak Harjuna ke ruangannya." "Baik, Mbak." Sebelum beranjak dari tempatku, aku terlebih dahulu menyimpan data yang baru kukerjakan. Ketika aku sudah sampai di depan pintu ruangan Pak Harjuna, CEO di kantor kami, aku menghela napas pelan lantas mengetuknya. "Masuk!" Aku pun masuk sambil memamerkan senyuman. "Ada apa Mas Juna manggil saya?" "Handphone kamu aktif nggak sih? Katanya, dari tadi Mamih nelponin, tapi nggak kamh angkat," kata Mas Juna dengan kening mengerut. Aku spontan meraba kantung rokku, yang ternyata tak ada handphone di sana. Baru ingat kalau handphoneku masih di tas. "Handphone aku di tas mas, lagi mode silent." Lagian Mamih kenapa pula neleponnya pas lagi kerja gini. Udah tahu handphone aku selalu dibuat mode silent biar nggak gangguin. "Emangnya Mamih nelepon ngapain, Mas?" "Mamih bilang, 'bilang dong sama Amelia, tadi Mamih barusan ngirim paket ke apartemen. Nanti suruh dicek ya.' gitu katanya." Mas Adam berkata seperti itu seraya menirukan nada suara Mamih. Aku pun lantas terkekeh. "Ya ampun, kirain ada penting apa. Ternyata cuma mau ngecek paket. Padahal kan bisa chat w******p aja, ya nggak, Mas?" Mas Harjuna mengangguk. "Bener. Emang Mamih nih yang nggak sabaran banget, sampe nelepon ke handphone aku." Lagi-lagi aku tertawa pelan. "Udah. Itu aja kan, Mas? Amel udah boleh keluar nih?" "Hm. Itu aja," katanya yang seketika membuatku berdiri dari kursi di hadapannya. "Oh ya, kamu jangan mau sering-sering dititip kasih laporan lah ke saya. Bukan babu kamu tuh." "Ya gimana, orang kantor pada takut berhadapan langsung sama Mas Juna. Galak banget!" Mas Juna pun berdecih tanpa memberikan respon apapun. Aku lantas ijin pamit untuk keluar dari sana. Aku pernah bilang kan, kalau Mas Adam itu punya kakak laki-laki. Nah, itu dia ... kakaknya Mas Adam itu ya Mas Harjuna tadi. Itu sebabnya aku memanggil Mas Arjuna dengan sebutan 'Mas' alih-alih 'Pak' seperti staf lainnya. Tapi aku manggilnya begitu cuma kalau hanya kami berdua, atau kalau di hadapan staf lain aku baru memanggilnya 'Pak'. Banyak yang nggak tahu kalau Mas Harjuna itu punya adik artis. Karena Mas Adam sendiri nggak mau terlalu mengumbar keluarganya di publik. Yah, di kantor yang tahu kalau Mas Arjuna dan Mas Adam saudaraan hanya aku dan mbak Mayang, sekretarisnya Mas Juna. For your information, Aku pun sebetulnya bisa kerja di perusahaan ini berkat 'orang dalam', tapi aku betul-betul bekerja dengan telaten kok di sini. Supaya Mas Harjuna nggak menyesal pernah merekrutku bekerja di perusahaannya sejak tiga tahun lalu. Apalagi kalau suatu saat terbongkar Mas Harjuna adalah kakak iparku dan semua staf kantor langsung beranggapan kalau aku pakai 'orang dalam', mereka bakalan susah protes kalau saja kerjaku baik. Mungkin. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD