“Darren tak mungkin menikahinya, Ma.” Suara Darren setengah merengek. Papanya duduk di kepala sofa dan mamanya berdiri di seberang, kedua tangan di pinggang dan siap memulai persidangan yang membosankan.
Sungguh sial. Darimana mamanya tahu dia bermalam di hotel itu? Karena jelas kegunaan papanya ada di sana untuk mendapatkan nomor kamar yang tepat. Setelah pulang dari rumah sakit, ia pergi ke klub malam dan mabuk berat. Membawa entah siapa namanya yang terus melengketinya sejak masuk ke klub, yang sudah ia bayar dengan sangat dermawan.
“Kenapa tidak mungkin? Kau sudah menidurinya dan kau harus bertanggung jawab. Bagaimana kalau dia hamil anakmu?” Finar berhenti, wajahnya terlihat lebih histeris. “Cucu Mama??!!”
“Tidak mungkin, Ma.” Banyak cara aman untuk meniduri wanita mana pun, dan Darren ragu mamanya tahu cara-cara tersebut satu pun. “Darren bukan satu-satunya pria yang menidurinya.”
“Apa maksudmu?”
Darren hanya mengedikan bahunya. Tak perlu mengungkapkan jawabannya dan membiarkan pikiran mamanya berkelana.
“Dia hanya wanita penghibur, Finar. Yang dibayar untuk ...” Keydo mencoba menjelaskan.
Finar membeliak. “Jadi kau menggunakan uangmu untuk ... untuk membeli ...” Finar berhenti. Kepalanya terasa berputar memikirkan kata yang tepat untuk tindakan tidak bermoral putra kesayangannya. Mulutnya membuka nutup beberapa kali tanpa sepatah kata pun keluar.
“Darren sudah dewasa, Ma. Ayolah, ini hanya untuk bersenang-senang setelah seharian bekerja di kantor.
Finar diam sejenak, menelisik ekspresi wajah putranya sebelum menimbang sesuatu. “Sepertinya kau memang sudah dewasa.”
Darren mengangguk setuju dengan emosi mamanya yang sudah mulai mereda.
Finar menghela napas panjang. Sedikit lebih tenang dan suaranya berubah lunak. “Mama tahu kau anak muda yang sehat dan normal. Sudah sewajarnya kau mulai tertarik dan merasa penasaran pada seorang wanita.”
Darren mengangguk-angguk lagi. Tak menyangka mamanya akan mengerti dirinya secepat ini dan merasa sangat lega.
“Kalau begitu Mama akan segera mencari pasangan untukmu.”
Darren mematung. Kemudian matanya melebar dan semakin melebar ketika mencerna kata-kata mamanya dengan teliti. “Apa?”
“Ya, kau harus menikah.”
“Menikah?!” Bola mata Darren benar-benar nyaris melompat keluar.
“Minggu depan. Kau harus menikah. Dan selama seminggu ke depan, sepulang dari kantor kau harus pulang ke rumah. Kau hanya boleh keluar ke kantor dan ke tempat-tempat yang Mama inginkan, bersama Mama. Jam malammu pukul lima sore.”
“Darren belum siap menikah,” protes Darren yang hanya mendapatkan tekad tak terbantahkan di raut mamanya. Kemudian ia beralih pada papanya, menatap penuh permohonan.
“Anakmu bukan perawan, Finar.” Keydo mencoba membantu membujuk.
“Lalu? Apa kauingin membuat anak orang lain bernasib sama seperti Fherlyn?!” pelotot Finar pada suaminya dengan berkacak pinggang.
“Aku tak akan bicara lagi.” Keydo mengangkat tangannya menyerah.
“Ma, kami hanya bersenang-senang saja. Mama tak perlu menyikapinya seserius ini.”
“Hanya bersenang-senang kaubilang?”
“Semua anak muda melakukannya.”
“Mama tidak pernah mengajarimu bersenang-senang dengan cara seperti itu, Darren.”
“Papa juga pasti pernah melakukan itu di masa muda. Iya, kan?”
Finar terperangah selama beberapa detik. Tangan kanannya naik menyentuh keningnya, seperti terserang migrain dadakan dan satu tangan yang lain ke dadanya yang naik turun dengan keras. Nyaris terkena serangan jantung. “Kaulihat anakmu, Keydo!”
Keydo mendelik ke arah putranya, kemudian bangkit berdiri merangkul istrinya dan mengusap punggung Finar. Meredakan kefrustrasian istrinya dengan lembut dan penuh kesabaran. “Aku akan segera membuat pengumuman untuk mencarikannya dia istri. Namaku pasti akan membantu banyak. Tak sampai besok, rumah kita pasti dipenuhi para orang tua calon istrinya.”
“PA!!!”
Keydo melepas pelukannya, menoleh ke arah putranya yang menampilkan rengekan. Dengan tegas ia menjawab, “Persiapkan dirimu untuk pernikahan. Secepatnya.”
***
“Darren tak suka wanita berambut pendek.”
“Kalau ini?” Finar menyodorkan foto wanita berambut panjang. “Namanya Davina.”
“Darren tak suka nama Davina.”
Finar mendesah pendek. Kemudian memperlihatkan lembaran lainnya. “Matanya sangat cantik. Biru cerah.”
“Mata Darren juga biru, Ma. Nanti anak kita matanya pasti biru. Darren ingin yang matanya coklat.”
Finar mencari-cari di antara lembaran lainnya yang memiliki bola mata coklat. Menyejajarkan ketiga foto yang didapatnya ke depan Darren.
“Yang ini? Bulu matanya lentik.”
“Kalau anak kita laki-laki, tidak terlihat bagus jika matanya lentik dan panjang seperti itu, Ma.”
“Tapi jika anakmu perempuan ...”
“Darimana Mama tahu anak Darren nanti perempuan?”
Bibir Finar menipis. “Lalu darimana kau tahu nanti anakmu laki-laki?”
Darren berhenti mengunyah kacang almonnya. Meletakkan toples di dadanya kembali ke meja. Kemudian kedua tangannya menujuk hamparan foto di meja. “Ma, ini hanya foto mereka. Darren butuh lebih dari ini untuk mencari sosok istri yang tepat. Darren butuh mengenal mereka.”
“Kalau begitu kauingin bertemu dengan mereka?”
“Bertemu dan mengenal mereka,” jawab Darren. Setidaknya butuh waktu lebih dari seminggu untuk jadwal kencan sebanyak ini sebelum ia mendapatkan keputusan yang tepat dan mengulur hari pernikaha. Bahkan dalam waktu tiga hari mamanya sudah berhasil mengatur lima puluh persen persiapan pernikahan dengan calon menantu yang masih dalam misteri.
Dan jangan tanya kehidupannya yang mendadak berubah total. Mamanya selalu datang menjemputnya ke kantor tepat jam lima sore. Langsung menuju rumah mereka. Selalu bergerak resah ketika mendengar ponselnya berbunyi. Memastikan bukan dari seorang wanita selain sekretarisnya. Tetapi memang tak ada wanita yang sedang cukup dekat dengannya untuk menghubunginya lewat ponsel. Selain ... Natt.
Well, apa yang tengah dilakukan wanita itu? Apa ayahnya mati? Apa Ronald membantu biaya rumah sakit yang Darren yakin tidak sedikit. Hanya sekali Darren memikirkan wanita itu, esok paginya wanita itu muncul di depan ruang kerjanya. Dengan wajah muram dan kantung hitam di bawah dua kelopak matanya. Pakaian kusut dan rambut dicepol asal-asalan. Penampilan yang luar biasa lusuh, tapi anehnya Darren tak merasa risih sedikit pun. Natt masih terlihat menarik dengan kulitnya putih bersih, bahkan tak perlu menggunakan lipstik untuk memerahkan bibir wanita itu.
Terutama ... dengan kaos putih tipis dan rok selutut yang wanita itu kenakan. Yang membuat sesuatu dalam diri Darren menggeliat, sekaligus membuatnya marah ketika memikirkan seberapa banyak pasang mata yang menatap wanita itu dalam perjalanan kemari.
Sekretarisnya bergegas berdiri, menyambut kedatangannya sekaligus melaporkan tentang keberadaan Natt di tempat ini. “Maafkan saya, Tuan. Saya sudah mengatakan Anda sedang tidak menerima tamu, tetapi dia ...”
Darren mengangkat satu tangannya dan sekretarisnya langsung berhenti bicara.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Natt tampak ragu dan gugup. Kedua tangannya yang bertaut saling meremas dan menggigit bibir bagian dalamnya. Kemudian menoleh ke arah sekretaris Darren yang masih berdiri di tempat, yang tentu akan mendengar setiap kata yang keluar darinya.
Darren yang menyadari Natt butuh privasi, melangkah ke pintu ruangannya. “Masuklah.”
Natt mengikuti langkah Darren. Masih dengan kedua tangan bertaut di depan dan wajah sedikit tertunduk.
Darren melepas jasnya, meletakkan tas di meja, dan duduk di kursinya. Mengangkat wajah ke arah Natt yang berdiri di depan mejanya, masih belum juga membuka suara.
“Apa yang kauinginkan?”
Natt langsung mendongak. Terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Darren, yang sejujurnya sedikit membantunya untuk menujukan niatnya.
Darren mendesah tak sabaran. “Waktuku tak banyak untuk mengurusi hal tidak penting seperti ini. Kalau kau ...”
“S-saya butuh uang,” sela Natt akhirnya sambil melangkah maju dan penuh keputus-asaan.
“Kau selalu berlari padaku saat membutuhkan uang, ya?” dengus Darren. “Kaupikir aku bank berjalanmu?”
Harapan Natt meluap seketika. Bagi Natt, jawaban itu cukup diartikan sebagai penolakan. Setelah semua yang Natt lakukan, tak mungkin tuan Darren lebih pemurah lagi. Dan memang dirinyalah yang tak tahu berterima kasih.
“Maafkan saya mengganggu waktu sibuk Anda, Tuan,” ucap Natt dengan tulus sebelum berbalik dan melangkah keluar.
Darren bersandar. Mengamati punggung Natt yang menjauh hingga di depan pintu.
“Berapa yang kauinginkan?” Pertanyaan itu menghentikan gerakan tangan Natt yang sudah menyentuh gagang pintu dan akan mendorongnya membuka. Wanita berbalik, dan harapan kembali muncul di bola matanya yang coklat bening.
“Tapi tentunya kau tahu semua itu tidak gratis, kan?” Darren menyeringai. Merebut kekasih Ronald, meniduri Natt, dan menyenangkan kedua orang tuanya. Tiga tujuan dalam sekali lempar umpan. Sepertinya ini ide paling brilian yang pernah dipecahkan oleh otak cerdasnya.