Part 14

1476 Words
Natt muncul di pintu keluar tepat tiga menit kemudian. Mobil Darren sudah terparkir di depan klub. Pria itu berdiri bersandar di mobil dengan tangan bersidekap di d**a. Seringa licik tersemat di bibirnya, penuh kepuasan dengan kemunculan Natt yang sangat tepat waktu. “Masuklah.” Darren membukakan pintu penumpang untuk Natt. Natt, yang sengaja melangkah dengan gerakan sangat pelan untuk memperlambat detik-detik berlalu, melirik ke arah Darren. Mengamati ekspresi pria itu penuh ketakutan. Sejenak dengan sudut matanya melirik ke sekitar mereka. Melihat beberapa anak buah Darren yang masih berjaga. Tak ada jalan keluar baginya. Bahkan Darren meletakkan dua pengawal di depan ruang ganti untuk menunggunya. Pria itu benar-benar tak akan melepaskannya malam ini. Darren berhasil mendudukkan Natt di jok mobilnya dan menutup pintu. Mengisyaratkan pada para pengawalnya untuk membereskan kekacauan di klub dan membiarkan ia mengurus urusannya sendiri. Mobil melaju menuju jalanan dengan kecepatan sedang. Darren sedang tak terburu dan menyukai ketakutan yang membuat tubuh kaku Natt beringsut di jok. Wanita itu membuat jarak sejauh mungkin dengan dirinya, tetapi tak banyak yang bisa dilakukan oleh Natt selain menikmati dan menerima ketakutan wanita itu sendiri penuh kepasrahan. Natt melirik ke samping dengan was-was. Tuan Darren masih sibuk dengan setir dan jalanan di depan mereka. Natt memeras otak dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya untuk melarikan diri. Pengawal pria itu sudah pergi, jadi ia masih memiliki harapan untuk kabur. Tetapi bagaimana, di mana, dan kapan waktu yang tepat untuk melakukannya. Ketika mereka turun di halaman hotel? Atau ... mata Natt beralih melirik ke pintu di sampingnya. Sekarang? Dengan kecepatan mobil 50 km perjam, Natt mulai memikirkan apa yang akan terjadi jika ia melompat dari mobil. Hanya ada beberapa mobil yang melaju di sekitar mereka. Jika dia beruntung, mungkin ia hanya masuk rumah sakit dengan luka gores. Paling buruk patah tulang karena tertabrak mobil di belakang mereka. Sepertinya itu bukan ide yang bagus. Pandangan Natt berpindah ke arah tas di pangkuannya. Di dalam sana ada ponselnya. Haruskah ia menghubungi Ronald dan meminta tolong pria itu. Memberitahu keberadaannya secara diam-diam pada pria itu dan meminta tolong kekasihnya untuk menyelamatkannya? Kemudian ia bisa mengulur waktu tuan Darren dengan mengatakan mendadak sakit perut sambil menunggu kedatangan Ronald. Ide yang sempurna. Tangan Natt mulai bergerak dengan sangat perlahan, menyelisip ke dalam tasnya. Meraba-raba sambil sudut matanya mengawasi tuan Darren. Tepat ketika ia berhasil menggenggam ponselnya, ponselnya malah berdering nyaring. Darren menoleh dengan cepat. Wajahnya yang dingin langsung terarah ke tas di pangkuan Natt kemudian naik ke wajah wanita itu. Wanita tampak terkesiap kaget, entah karena apa. Tetapi karena konsentrasinya harus terpecah antara jalanan dan Natt, membuatnya tak bisa mencegah Natt mengangkat panggilan tersebut. “Siapa?” tanya Darren dengan nada datarnya. Natt merasa lega karena bukan nama Ronald yang terpampang di layar ponselnya. Setidaknya tuan Darren tak akan curiga dan ia masih bisa melanjutkan rencananya. “H-hanya teman.” Darren tak berkata apa pun. Membiarkan Natt mengangkatnya. Namun, setelah wanita itu menjawab dan mendengarkan entah siapa yang berbicara di seberang sana. Kesiap keras wanita itu sekali lagi menarik perhatian Darren. Ia menoleh dan melihat wajah Natt berubah sepucat s**u. Kemudian ponsel wanita itu meluncur turun diikuti tangan wanita itu jatuh lemas di pangkuan. “Ada apa?” “T-tuan D-darren.” Bibir Natt bergetar hebat. “B-bisakah kita ke rumah sakit?” Darren menoleh. Menurunkan kecepatan mobilnya. “Kenapa?” “A-ayah saya kecelakaan.” Air mata Natt jatuh. “Sedang berada di ruang operasi dan dalam keadaan kritis.”   ***   Darren tak tahu kenapa ia malah memutar setir ke arah rumah sakit dan mengantar Natt. Tadinya, ia pikir itu hanyalah sandiwara yang diatur oleh Natt untuk berdalih dan menolak dirinya malam ini. Tetapi air mata dan kesedihan wanita itu seolah  benar-benar nyata  dan dengan latar belakang Natt, rumah sakit tak mungkin ikut andil dalam kebohongan wanita itu. Ia sudah memastikan sendiri, bahwa pria yang tengah berbaring kritis di balik pintu operasi itu adalah benar-benar ayah Natt. Yang mengalami kecelakaan yang pihak rumah sakit sendiri masih belum mengetahui detailnya. Wanita itu duduk di bangku, dengan wajah pucat yang basah. Menatap kosong ke arah pintu ruang operasi. Keadaan di dalam jelas sedang tak baik melihat perawat dan dokter yang keluar masuk dengan pakaian putih mereka yang bernoda darah. Tanpa bisa mengendalikan kepanikan mereka sendiri. Beberapa kali perawat masuk dengan kantong darah, yang membuat Natt semakin terpuruk dalam keputus-asaan. Sudah dua jam lebih Darren berdiri, bersandar di dinding lorong menatap Natt yang masih membeku dan membisu di sana. Merasa kehilangan selera pada wanita itu dan tak ada gunanya lagi ia menunggu, Darren pun berbalik dan berjalan pergi. Meninggalkan Natt seorang diri. Meraapi kehidupan wanita itu yang menyedihkan. Seorang diri.   ***   Keesokan paginya, di depan sebuah hotel megah berlantai dua puluh yanga ad di pusat kota, sebuah mobil SUV hitam berhenti. “Sepertinya ini hotelnya.” Finar turun lebih dulu dan memastikan nama hotel persis seperti yang ia ingat. Aston Hotels. “Apa yang kita lakukan di sini pagi-pagi begini, Finar?” gerutu Keydo sembari turun dari mobil. Memberikan kunci mobilnya pada petugas vallet. “Anakmu ada di sini, Keydo. Apa kau tidak tahu apa artinya itu?” desis Finar kesal. “Lalu kenapa?” “Semalam kak Fiona memberitahuku. Dia masuk ke sini bersama seorang wanita.” “Ya. Dia sudah dewasa. Apa salahnya membawa wanita ke hotel.” Finar melotot seraya mendaratkan pukulan di lengan suaminya. “Apa ini yang biasa kau lakukan sebelum menikah denganku? Membawa wanita ke hotel?” “Hanya beberapa kali,” jawab Keydo sekenanya saja. Finar berhenti, memutar tubuh menghadap Keydo dengan matanya yang menyipit penuh tuduhan. “Atau kau masih melakukannya setelah menikah denganku? Sekarang?” Keydo mendesah. “Oh, ayolah, Finar. Aku tak pernah tidur di luar.” “Siapa yang tahu saat kau melakukan perjalanan bisnis di luar kota. Atau di luar negeri.” “Aku melakukannya ketika masih muda dan sebelum bertunangan dengan Herren. Semua pria melakukan itu.” “Tidak dengan kakakku,” tandas Finar telak. Mulut Keydo terbungkam rapat. Memangnya kapan ia pernah menang jika dibandingkan dengan Frian Alandra Sagara????? “Setelah selama ini, apa kau masih meragukan cintaku?” Finar terdiam, meneliti wajah Keydo selama beberapa saat kemudian mengibaskan tangan di depan wajah. Berbalik dan masuk ke dalam lobi hotel lebih dulu. “Kita lanjutkan nanti di rumah.” “Aku tak tahu kakak iparmu ternyata suka melapor,” gerutu Keydo pelan seraya mengikuti istrinya di belakang. “Apa kau bilang?” Finar menoleh kembali karena kata-kata Keydo yang tak terlalu jelas sedangkan matanya berkeliling mencari meja resepsionis. Keydo menggeleng dengan cepat. “Tidak ada. Aku hanya ... lapar.” Finar mendengus. “Kita makan nanti setelah menemukan Darren. Sekarang, gunakan namamu untuk mencari tahu berapa nomor kamar yang dipesan Darren.” Finar mendorong tubuh Keydo maju lebih dulu. “Jadi kau membawaku hanya untuk ini?” “Ya. Cepat tanyakan.”   ***   “1408. Kau yakin ini kamarnya?” Finar menujuk angka yang ada di atas pintu di hadapannya. “Kau ingin kita turun untuk memastikannya lagi?” sinis Keydo dengan keraguan istrinya yang malah membuat wanita itu terlihat t***l. Dan sayangnya wanita ini adalah istrinya. Satu-satunya wanita yang ia cintai. Kecantikan Finar benar-benar tak sejalan dengan isi kepala wanita itu. Finar menghela napas panjang, menatap handle pintu di depannya dengan was-was sambil berusaha menenangkan diri. Berharap apa yang akan ia temukan di dalam sana tidak seperti bayangannya. Keydo menunggu dengan sabar, memilih bersandar di samping pintu ketika Finar berkali-kali membatalkan niat untuk menempelkan kartu hotel di bawah pegangan pintu kemudian menghela napas panjang, mendekatkan kartu hotel itu lagi, dan menjauhkannya lagi dan menghela napas lagi hingga berulang-ulang. Membuat Keydo mengantuk dan ia yakin akan tertidur di lorong hotel dalam beberapa menit ke depan. Finar menguatkan hati. Jika benar-benar putranya ada di dalam, dengan seorang wanita. Kemudian wanita itu hamil, mengandung cucunya, dan ... Finar menggelengkan kepala dengan keras. Menempelkan kartu tersebut dan langsung menerobos masuk. Finar terperangah. Melihat Darren dengan rambut basahnya berdiri di depan cermin sibuk mengancingkan kemeja. Putranya benar-benar ada di kamar ini. Dan ... wajah Finar berputar ke arah ranjang yang berantakan. Tak ada siapa pun di sana. “Mama?” Mata Darren membulat sempurna. Untuk beberapa saat ia berdiri mematung, antara percaya dan tidak percaya dengan keberadaan mamanya di kamar hotel ini.  Kedua orang tuanya. “Bagaimana Mama bisa masuk?” Finar menunjukkan kartu hotel di tangannya. Sembari menenangkan debaran di dadanya. Hanya putranya. Tidak ada siapa pun. Tidak ada wanita. Darren menatap papanya yang berdiri di belakang mamanya. Papanya hanya mengedikkan bahu dengan sikap santai. Tepat saat itulah, pintu kamar mandi terbuka, dan entah siapa nama teman tidurnya semalam berjalan keluar. Masih mengenakan jubah mandi dan rambut basah. Wanita itu melemparkan kerlingan menggodanya pada Darren. Tidak menyadari keberadaan Finar dan Keydo di ruangan yang sama.   Mata Darren terpejam dengan ribuan u*****n menghujani kepalanya. “Darren Ario Ellard!!!” Rasanya hotel berguncang hebat oleh teriakan Finar.   *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD