Pagi yang cerah, Natt berbaring di kursi berjemur dengan suasana hati segelap badai. Pemandangan indah di sekeliling mereka tak membuat Natt tertarik sedikit pun. Terutama obyek pengalih perhatian terbaik bagi mata kaum hawa yang sedang berbaring di kursi sebelah. Paras rupawan satu-satunya hal yang bisa pria itu banggakan. Selebihnya, semuanya hanya penuh kebusukan dan kelicikan yang terbungkus rapi oleh pakaian yang dikenakan, -atau setidaknya saat ini, tubuh setengah telanjang yang membuat para wanita, kecuali dirinya meneteskan liur-.
Natt menoleh ke samping kiri, kanan, dan belakang yang tak perlu ia pastikan. Pengawal dengan sikap was-was dibalik ketenangan mengamati setiap gerak-geriknya.
“Apa kauingin menambah minumanmu, Sayang,” tawar pria itu dengan manik m***m tanpa tahu malu. Mengamati pakaiannya yang masih lengkap, setelan kemeja putih dan rok pensil merah muda gelapnya. Setelah berdebat selama satu jam, akhirnya pria itu mengalah untuk berhenti memaksanya mengenakan bikini murahan yang ditawarkan.
“Aku ingin pulang.”
“Kita baru saja duduk.”
“Sudah satu jam yang lalu,” koreksi Natt dengan sinis.
“Aku akan membunuh kebosananmu,” gumam pria itu di antara kekehannya. Menampakkan lesung pipit yang sama sekali tak cocok dengan tatapan dingin dan tajamnya. Mengabaikan tatapan bosan Natt, pria itu menegakkan punggung dan menurunkan kedua kaki polosnya ke tanah berpasir putih. Lalu menepuk paha sebelah kirinya dua kali. “Kemarilah.”
Natt bergeming selama lima detik. Tepukan itu mengintruksikan di mana ia harus meletakkan pantatnya. Matanya sudah menunjukkan penolakan atas perintah tersebut, tapi bibirnya tak sempat terbuka saat pria itu mengeluarkan ancamannya.
“Sejujurnya aku juga bosan dan ingin segera berbaring di ranjang yang empuk dan kaulah …”
Natt segera beranjak dari kursinya dan melangkah mendekat. Membiarkan pria itu menarik lengan dan memangku tubuhnya. Natt kira, pria itu hanya akan memeluknya, tapi seharusnya ia tak perlu terheran, saat pria itu merangkum pipinya dan langsung melumat bibirnya dengan rakus.
Natt tergelagap, mendorong d**a pria itu demi usahanya mendapatkan udara.
“Darren!” Natt tersedak udara yang menerjang tenggorokannya, lalu melotot tajam pada Darren. “Apa kau berniat membunuhku?”
Darren terkikik. Mengusap bibir merah dan lembut Natt dengan jempolnya. Lipstik wanita itu belepotan di sekitar bibir, tapi ia menatapnya dengan puas karena dirinyalah yang telah membuat karya seni tersebut. “Aku tak berani memikirkan niat semacam itu, Nathalie.”
Natt memegang dadanya, masih berusaha bernapas dengan benar. Bukan kematian yang ia takutkan, melainkan kesepakatan pernikahan yang pria itu ajukanlah yang membuatnya susah menghirup udara meskipun dengan limpahan oksigen di sekitarnya.
“Kecuali jika kau melewati batasanmu, kau tahu aku tak akan pernah menyakiti kulitmu meskipun seujung kuku pun, Sayang.”
Kali ini napas Natt yang berantakan bukan karena ciuman Darren, tapi oleh kalimat pria itu yang seketika menjelma menjadi mimpi buruk.
“Apa salahnya menanggalkan harga diri dan baju demi menyelamatkan keluargamu? Setidaknya anakmu tidak akan bernasib sama denganmu karena memiliki ayah seperti Darren Ario Ellard.”