Setelah tahu, Natt tak bisa kembali ke rumahnya untuk menghindari ayahnya. Ronald memaksa Natt untuk tinggal di apartemen milik pria yang berada di dekat kantornya. Menepis rasa sungkannya karena ia pun tak punya tempat tinggal. Tapi ia bersyukur, saat menjelang malam dan yakin ayahnya tak di rumah, Natt menyelinap untuk mengambil pakaian-pakaian miliknya beberapa barang.
Natt juga mendapatkan sebuah pekerjaan di bar yang diketahuinya dari internet, yang sepertinya perlu ia coba. Hanya itu satu-satunya pekerjaan yang memungkin baginya setelah bekerja di Ellard Group hingga sore. Nanti malam ia akan menemui pemilik bar dan jika beruntung ia akan mendapatkan pekerjaan tersebut.
Huftt, sepertinya semuanya berjalan dengan lancar. Pemilik bar menyukainya dan menyuruhnya langsung bekerja malam itu juga. Walaupun seragam berwarna hitam yang diberikan membuatnya tak nyaman karena potongan roknya yang terlalu pendek beberapa senti di atas lutut. Setidaknya kemeja yang cukup sempit menutupi bagian atas tubuhnya memiliki lengan yang panjang. Ponselnya bergetar, menunjukkan notif satu pesan baru dari Ronald.
‘Apa kauingin makan malam denganku?’
Natt mendesah pelan. Ronald tidak perlu tahu tentang pekerjaannya yang satu ini. Kemudian mengetik balasan untuk Ronald.
‘Maaf, aku sudah makan. Hari ini aku sangat lelah.’
Natt pun mengganti pengaturan ponselnya ke mode diam dan langsung menyelipkan ke dalam loker. Kemudian berjalan keluar dari ruang ganti.
***
Bar itu tidak semewah lounge yang biasa Darren kunjungi. Suasananya ramai, sesak, dan penuh pelanggan. Yang berlalu lalang dengan tak beraturan dan tempat duduk yang diatur berantakan. Matanya menjelajah di antara keremangan, mencari sosok mungil yang begitu menggetarkan hatinya akan kesok-jualmahalnya, tapi malah bekerja di bar murahan ini.
Tak menemukan, Darren masuk lebih dalam dan di sanalah ia melihat. Natt yang sedang membawakan dua gelas bir di salah satu meja di sudut. Salah satu pria mencoba menahan tangan Natt yang langsung ditepis oleh wanita itu dan langsung melangkah pergi dengan cepat.
Darren mendengus. Pandanganya mengikuti Natt yang kini berjalan memutari meja bar. Mulai melayani pelanggan yang lain. Darren memilih sofa U yang berada di samping meja bar dan menghadap lantai dansa di tengah bar. Seorang pelayan dengan d**a yang nyaris tumpah di antara sela kancing-kancing kemeja yang dikenakan, mendekati Darren untuk menanyakan pesanan. Tak lupa menyelipkan kedipan mata yang nakal.
“Cocktail,” jawab Darren tanpa sedikit pun melepas pandangan dari Natt yang sekarang berjalan keluar meja bar. Ia bisa melihat tatapan-tatapan nakal para pria yang dilewati oleh Natt. Terutama ke arah p****t wanita itu. Entah wanita itu yang memang begitu polos dan mengabaikan godaan-godaan di sekitar, atau memang wanita itu bersikap munafik hingga tak menyadari bentuk tubuhnya yang selalu mampu menjadi bahan imajinasi liar para pria. Darren tak bisa menyimpulkan mana yang lebih baik.
Terkadang ia suka dengan kepolosan Natt, tapi Darren pun yakin dengan tubuh seindah itu, Natt pasti tahu apa yang diinginkan seorang pria ketika mereka di ranjang. Keduanya pasti sama nikmatnya asalkan tubuh Nattlah yang ada di atas ranjang bersamanya. Cocktailnya datang dan karena risih dengan tawaran-tawaran lain si pelayan membuatnya risih, Darren pun mengusirnya. Pelayan itu pergi dan mencebik marah. Baru saja pengganggunya pergi, seorang wanita dengan pakaian sangat tipis dan tubuh yang menonjol di mana-mana, langsung mengambil tempat duduk di samping Darren.
Seperti inilah bar murahan, yang sama sekali tak menjaminkan privasi untuk pelanggannya dan siapa pun bebas mengganggu. Menyesal tak membawa salah satu pengawalnya untuk ikut dengannya. Darren menarik lengannya dari wanita itu dan langsung berkata dengan sikap kesalnya, “Aku sedang menunggu wanitaku.”
“Aku bisa menemanimu sampai wanitamu datang,” bisik wanita itu dengan desahan di dekat telinga Darren.
Darren mengambil dompetnya, mengambil beberapa lembar uang dan mengusir wanita itu setelah memberikan lembaran-lembaran tersebut. Wanita itu pergi dengan senyum yang lebih lebar dan menyelipkan lembaran kertas itu di d**a.
Pandangan Darren kembali ke meja bar, tidak ada Natt di sana. Ia pun mencari-cari dan menemukan Natt yang sedang mengantar minuman di sofa U yang tak jauh dari tempatnya. Darren sedikit menaikkan kepalanya untuk mencari tahu siapa yang duduk di sana. Pasangan pria dan wanita yang tengah sibuk b******u dan tiga teman pria lainnya yang kini fokus memperhatikan Natt. Dengan seringai dan tatapan licik yang mengarah ke d**a Natt. Membuat kedua tangan Darren terkepal di atas pangkuannya dan menggeram.
Natt yang membungkuk tampak tiba-tiba menarik tangannya dan berdiri dengan tegak. Ketiga pria itu tergelak dengan reaksi Natt yang tampak lucu di mata mereka. Berbanding terbalik dengan wajah pucat Natt. Natt langsung mengambil nampan dan kembali dikejutkan oleh tepukan di p****t, yang membuat wanita itu melompat mundur dengan segera.
Dengan wajah yang lebih pucat, Natt menatap tajam ke arah ketiga pria itu yang tawanya semakin lebar. Kemudian membeku di tempat selama beberapa detik dan berlalu pergi.
Darren yang tak bisa menahan amarahnya lebih lama lagi, berusaha menekan emosinya yang hendak menghambur ke tempat ketiga pria itu dan menghajar mereka karena telah berani menyentuh barang miliknya. Tangannya terangkat, memanggil salah satu pelayan dan memberi pelayan itu kartu namanya kemudian menyuruh pelayan itu membawa siapa pun yang bertanggung jawab di tempat ini untuk datang kemari. Kalau perlu membawa pemilik klub juga.
Tak lama pemilik klub datang, pembicaraan itu berlangsung tak lebih dari lima menit. Pemilik klub mengangguk patuh dan bersalaman dengan Darren, bersama senyum lebar yang memenuhi wajah.
Pemilik klub itu mendatangi Natt yang berdiri di belakang meja bar dan mengintruksikan pada wanita itu untuk mengantarkan segelas bir.
Natt tercengang, menemukan Darrenlah yang duduk di tempat yang ditunjuk oleh bosnya yang kini berjalan pergi. Pandangan mereka bertemu selama beberapa saat.
Natt berusaha mengatur napasnya sambil menuangkan bir di gelas. Setelah selesai dan hendak membawa gelas tersebut pada Darren, ia menyadari ada yang aneh di bar tersebut. Satu persatu pengunjung klub keluar tanpa ada satu pun yang masuk, dengan penuh ketenangan. Menyisakan Darren yang duduk di sofa U sendirian, menghadap langsung ke arah Natt yang masih berdiri di balik bar dengan kebingungan karena teman-teman pelayan yang lain pun kembali ke belakang. Meninggalkan wanita itu tanpa sepatah kata pun setelah membaca pesan dari ponsel.
Suara musik berhenti dan keheningan yang panjang membelah udara yang terbentang di antara mereka. Natt yakin semua ini adalah perbuatan Tuan Darren. Yang tujuannya entah apa.
“Kupikir aku ingin menghancurkan klub ini jika pemiliknya menolaknya uangku. Tapi ternyata pemilik klub menyetujui untuk menjualnya padaku. Jadi, aku tak perlu menggunakan ini.” Darren mengetukkan tongkat bisbol di tangan kanannya ke lantai dua kali.
Tatapan Natt beralih ke arah tongkat bisbol yang dipegang Darren, yang baru ia sadari keberadaannya. Beruntung setengah tubuhnya tertutup oleh meja bar sehingga gemetar di kedua kakinya tidak terlihat oleh pria itu. Untuk apa seseorang pergi ke klub malam dengan membawa tongkat bisbol? Natt terlalu takut mencari tahu jawabannya. “S-saya tidak tahu apa tujuan Anda melakukan ini, Tuan Darren.”
“Tujuanku?” Darren berdiri dan melangkah ke meja bar dengan langkah yang lamban. Tetapi aura gelap yang memenuhi tubuh pria itu memiliki kecepatan yang tinggi ke tempat Natt.
Natt menelan ludahnya. “Saya sudah mengatakan akan melunasi hutang saya dengan cara saya sendiri, Tuan Darren.”
Darren sudah sampai di depan meja bar. Mendengus penuh cemooh. “Dan kau memilih tubuhmu disentuh-sentuh p****************g tak jelas daripada menyerahkan tubuhmu hanya untukku? Aku tak tahu kau benar-benar bodoh atau memang harga dirimu lebih murah dari uang yang kuberikan untukmu.”
Natt tak berkata apa pun. Kemarahan dan ketakutan bergolak di dalam benaknya, dan ia kebingungan harus mengutamakan yang mana lebih dulu.
Darren menyodorkan sebuah kartu berwarna hitam ke hadapan Natt. “Besok malam aku akan melihatmu di apartemen Glory. 1801. Atau aku akan menunjukkan padamu kegunaan tongkat ini selain untuk memukul bola.” Darren menunjukkan tongkat bisbol di tangannya. “Sekarang kau bisa pulang lebih cepat. Bar ini tutup untuk sementara waktu yang belum bisa ditentukan.”
Tubuh Natt langsung terjatuh lemas ke lantai begitu tubuh tinggi dan besar Darren menghilang di ujung lorong pintu keluar. Kedua tangannya menyentuh dadanya yang berdetak kencang. Hanya oleh rasa takut.