Part 11

1328 Words
Natt tak tahu harus melangkah ke mana lagi. Kakinya sudah pegal dan ia masih belum menemukan tujuannya. Ia tak mungkin pulang, terlalu takut apa yang akan menyambutnya di sana dan ia masih terlalu marah pada ayahnya. Memutuskan untuk duduk di salah satu kursi di depan minimarket, hanya ada ponsel di tangannya. Mencoba keberuntungannya, ia menekan deretan angka yang sudah dihafalnya di luar kepala. Sepertinya Tuhan masih berbaik hati padanya, panggilannya dijawab di deringan ketiga oleh Ronald. “Hallo?” “Ronald?” Natt mendesah penuh kelegaan. Tak ada jawaban dari seberang. “Ini aku.” “Nathalie?” “Ya.” Natt mengangguk keras walaupun tahu Ronald tak akan melihatnya. “Oh, Nathalie. Maaf aku tak menjawab panggilanmu. Saat tadi turun dari pesawat dan menghubungimu, nomormu tidak aktif. Aku baru saja pulang dari luar kota. Ada beberapa masalah di sana dan aku tak sempat mengecek ponselku.” “Tidak apa-apa.” “Apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa dengan nomor ponselmu yang lama? Apa kau mengganti nomormu?” Natt menggaruk alisnya yang tak gatal, tak yakin akan menceritakan semuanya pada Ronald. Tentang ayahnya, dan terutama tentang Darren. “Hm, sesuatu terjadi dan ponselku entah di mana.” “Aku baru saja tiba di apartemenku. Apa kauingin bertemu denganku?” Kening Natt berkerut tajam, berpikir keras. “Di mana kau sekarang? Apa kauingin aku menjemputmu?” “Tidak.” Natt memutar kepalanya untuk mencari tahu posisinya saat ini. Sepertinya tak jauh dari gedung apartemen Ronald. “Aku akan ke sana sekarang. Ada ... sesuatu yang ingin kukatakan padamu.” “Kau yakin?” “Ya, aku sedang berada tak jauh dari tempatmu.” “Kalau begitu akan menunggumu di bawah.” “Ya.” Hening sejenak. Natt tampak ragu untuk mengatakan permintaan kecilnya pada Ronald. “Ada apa?” tanya Ronald menyadari kebimbangan Natt. “Ronald?” Natt menggigit bibir bagian bawahnya. “B-bisakah aku meminjam uangmu beberapa untuk membayar taksi. A-aku tidak membawa dompetku.” Ronald diam selama beberapa saat. Tak biasanya Natt meminta suatu bantuan kepadanya. Bahkan untuk bantuan sekecil membawakan tas wanita itu. Wanita itu selalu menolak hadiah-hadiah darinya. Selalu mengatakan tak nyaman dengan pemberiannya yang mahal dan tak pantas diterima. Tentu saja hal itu membuat Ronald terkejut. “Ronald?” panggil Natt membuyarkan lamunan Ronald. “Meminjam?” “Y-ya.” Natt meringis menahan malu. Rasanya wajah Ronald benar-benar ada di hadapannya dan wajahnya tertunduk tak tahan harus bertatapan dengan pria itu. “Aku yang akan membayarnya untukmu. Jangan buat aku menjadi kekasih yang pelit, Nathalie. Jika kau tidak suka aku membayarnya untukmu, aku yang akan menjemputmu sendiri.” Natt terpaksa menyetujui Ronald karena tak ingin membuat pria itu semakin direpotkan oleh dirinya. Sepertinya bukan hal sulit untuk menerima pemberian Ronald di saat ia dalam keadaan terjepit seperti ini. Toh, makanan yang ia makan, serta pakaian dan sepatu yang ia kenakan saat ini adalah pemberian dari Tuan Darren. Yang adalah orang asing. Seharusnya pemberian Ronald tidak cukup menjadikannya sebagai wanita yang mengambil manfaat kepada kekasihnya, kan? Tak sampai sepuluh menit, taksi yang ia tumpangi berhenti di halaman gedung apartemen Ronald dan pria itu berdiri menyambut kedatangannya. Mengenakan pakaian santai dengan rambut masih lembab yang di sisir rapi ke belakang. Setelah membayar taksi, Ronald menatap Natt yang berdiri dengan sikap canggung beberapa langkah dari pria itu. Natt sadar apa yang begitu menarik perhatian Ronald. Tentu saja pakaian terbuka yang memamerkan pundak serta bodi tubuhnya karena bahannya yang tipis dan terlihat mahal yang dikenakannya begitu menarik perhatian Ronald. Pakaian Natt tak ada yang memiliki warna secerah ini dan berbahan selembut ini. Apalagi seseksi ini. Pun dengan flat shoes yang membungkus telapak kakinya. Kenyamanan yang membungkus kakinya tentu memiliki harga yang sepadan. “K-kau terlihat berbeda,” puji Ronald sambil melangkah mendekati Natt. Matanya berbinar cerah. Natt hanya membalas pujian tersebut dengan senyum canggung. Kepalanya masih berpikir keras untuk mempertimbangkan sebanyak apa hal yang akan diberitahukan kepada Ronald. Semakin banyak yang diceritakan Natt takut hal tersebut akan melukai Ronald. Sebaliknya, semakin sedikit hal yang akan diungkapkan akan memberinya beban rasa bersalah yang semakin besar kepada pria itu. Sepanjang perjalanannya menuju lantai apartemen Ronald, Natt sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Sesekali menyahuti obrolan Ronald hanya dengan anggukan, senyum tipis, dan deheman. Tak sungguh-sungguh mencerna kalimat Ronald.  Hingga Ronald membawakan secangkir jus untuk Natt dan duduk di samping wanita itu. Natt mengambil jus tersebut dan langsung meneguknya hingga setengah demi mengulur waktu. Tatapan melucuti Ronald benar-benar membuat semakin salah tingkah. Seolah-olah pria itu tahu apa yang telah dilakukannya dengan Tuan Darren di belakang pria itu. Dan ia tak bisa membayangkan jika semalam Tuan Darren benar-benar telah berhasil menyentuhnya. Beruntung ia telah membuat kecewa Tuan Darren dan membuat pria itu meninggalkannya sendirian tanpa melakukan hal yang lebih intim lagi. “Jadi apa yang terjadi?” Ronald bertanya karena seperti biasan, Natt tak akan membuka mulut jika bukan dirinya yang memancing lebih dulu.   “Aku tidak bisa meninggalkan Ellard Group.” Natt mengatakannya dalam sekali tarikan napas. Tubuhnya berputar menghadap Ronald. Ini langkah pertama pembicaraannya dengan Ronald, selanjutkan ia akan tahu harus mengatakan alasannya tetap harus bekerja di sana. “Apa?” Ronald terpaku. Kemudian matanya menyipit dan rahangnya mengeras dengan perlahan. “Apa selama aku di luar kota kau tidak menuruti kata-kataku dan tetap bekerja di sana?” Natt menggeleng dengan cepat. “Aku melakukan apa yang kau minta.” “Lalu?” “Aku akan kembali ke sana, itulah sebabnya aku membicarakannya padamu terlebih dahulu.” “Kenapa kau harus kembali ke sana?” Natt masih bimbang untuk menceritakan semuanya pada Ronald, tapi berbohong jelas bukan jalan keluar untuk permasalahannya saat ini. Dan ia tak ingin rasa bersalahnya pada Ronald, yang mendekam di hatinya semakin membengkak tak terkendali. Rasanya tak adil bagi Ronald jika ia menutup selurush akses hidupnya dari pria itu. “Selain untuk mendekati Tuan Darren karena kau, kau tahu ini adalah sebuah pekerjaan untukku, kan. Sebagai tulang punggung keluargaku. Kau tahu aku memiliki seorang ayah.” Natt menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Mempersiapkan reaksi Ronald, jika saja pria itu memilih mundur dalam hubungan ini setelah tahu apa yang ada di belakang. Tentang kehidupan keluarganya. Tentang bagaimana sulitnya hidup yang ia jalani selama ini. Yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan Ronald. Ia bahkan tak pantas berpikir untuk mencintai seseorang dari kasta atas seperti Ronald. “Kehidupan kami sangat miskin.” “Apakah ini hanya masalah pekerjaan? Aku bisa memberimu pekerjaan dan gaji yang lebih baik di perusahaanku.” “Maafkan aku tidak menceritakan ini kepadamu sebelumnya, tapi ayahku terlibat hutang dan entah bagaimana akhirnya aku mendapatkan pinjaman dari perusahaan.” Ronald membuka mulutnya tak percaya. Kehilangan kata-kata untuk bereaksi. Natt menggeser duduknya dan memegang punggung tangan Ronald. “Aku benar-benar minta maaf. Ayahku adalah seorang pemabuk dan penjudi, itulah alasanku tidak pernah membiarkan kalian bertemu. Aku ... aku terlalu malu memperkenalkannya padamu. Aku takut dia akan memanfaatkanmu.” “Apa hanya ini alasanmu ingin kembali bekerja di sana?” Natt mengangguk. “Kalau begitu aku yang akan membayarkannya untukmu. Jadi kau tak perlu ...” “Tidak, Ronald.” Natt menggeleng. “Aku mengatakan ini bukan untuk meminta bantuanmu.” “Lalu?” “Ini permasalahan keluargaku, biarkan aku yang menyelesaikannya sendiri.” “Kau tidak tahu siapa yang kauhadapi. Dia bahkan berani melecehkanmu.” Ronald mengusap wajahnya dengan frustrasi. Kata-katanya tertahan sebelum kemudian ia menyalahkan dirinya sendiri. Semua yang dilakukan Nathalie adalah karena keegoisannya. Demi tujuan yang tak sungguh-sungguh dipahami oleh Nathalir. Tapi ia tak akan mengakui hal tersebut. Pada dirinya sendiri maupun wanita itu. Satu-satunya hal yang bisa ia ingat dan pikirkan saat ini hanyalah dendam kesumatnya terhadap seorang Darren Ario Ellard. “Aku bisa menjaga diriku.” “Itu tidak cukup, Nathalie!” Ronald menyentak tangan Natt dan melompat berdiri. Wajahnya kali ini benar-benar merah padam dipenuhi amarah. “Percaya padaku, aku bisa mengatasinya.” Natt menyusul berdiri dan menangkap kedua tangan Ronald. Memberi tekanan dalan remasannya berusaha menenangkan pria itu. Walaupun dirinya sendiri tak yakin akan bisa mengatasi Tuan Darren atau tidak. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD