Save Me 31

1639 Words
Seminggu setelah kepulanganku, mimpi buruk selalu menghampiri, padahal aku selalu berdoa sebelum tidur. Memang, setiap mimpi itu rasanya indah, memiliki istana yang megah, dikelilingi wanita anggun yang bisa terbang dengan gaun cantik. Di mimpi tersebut juga aku bisa melihat pemandangan yang istimewa. Namun, aku berpendapat bahwa itu semua adalah mimpi buruk. Karena, setiap kali bangun, aku merasa gelisah dan ketakutan. Apakah mimipi yang berkali-kali hadir itu gambaran dari surga? Dan, para wanita cantik itu adalah bidadari? Apakah aku bisa masuk surga setelah meninggal nanti? Hal yang kutakutkan saat ini adalah takut mati dalam keadaan belum mempunyai banyak bekal. Selama ini, aku tidak biasa dengan tasbih digital. Tetapi, sejak sakit, justru tak mau melepaskannya kecuali berwudhu. Semua itu bertujuan agar aku tahu seberapa banyak zikir yang sudah kulakukan setiap harinya. Aku hanya coba mempersiapkan... agar jika mati, aku dalam keadaan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Selepas subuh dan meminum obat, aku kembali istirahat karena efek samping dari salah satu obat yang kuminum adalah membuat ngantuk. Saat itu aku bermimpi dikelilingi keramaian. Semua keluarga dan kerabat kedar ada di sana, tetapi kenapa kami semua duduk di atas kuburan? Aku heran, sedang apa kami semua di sini? Dari gambar yang kuingat dalam pikiran, suasana di mimpi tersebut adalah sedang melayat seseorang yang sudah meninggal. Tiba-tiba saja, salah seorang kerabat mengajakku ke rumah kecil di atas jembatan yang tak jauh dari pemukiman kuburan tersebut. Saat itu, aku mendengar suara zikirku sendiri. Entahlah, kenapa hal itu bisa terjadi? Aku sadar bahwa itu berada di alam mimpi, tetapi kenapa aku tidak bangun? Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, tiba-tiba saja rumah yang kumasuki tersebut diterjang arus air yang sangat deras. Seketika aku pun hanyut di dalamnya. Lebih heran lagi, hanya aku saja yang ada di sana. Semua orang berteriak memberi isyarat padaku agar naik ke atap rumah. Aku bingung, tetapi berusaha mengikuti instruksi mereka untuk naik ke atas. Kala itu aku terbawa ke tengah lautan. Aku yakin, hari itu aku pasti akan mati. Air itu terus membawaku ke lingkaran air yang besar, semua benda tersedot ke dalamnya. Aku bingung, ingin bangun dari mimpi itu tetapi tak bisa. Suara zikirku tiba-tiba tegantikan oleh suara asing, tetapi tak berwujud. "Septi... kamu mau selamat dan mendapat kesempatan hidup?" Aku mendengar suara yang aku sendiri tak tahu dia itu siapa. Suara tersebut sangat bergema di langit. "Aku mau selamat Ya Allah, aku masih mau hidup." Aku berteriak sekeras mungkin. "Tenggelamkan diri kamu." Suara itu menjawab. Aku masih berada di atap rumah yang nyaris tenggelam. Aku menjawab suara tersebut. "Tapi aku tak bisa renang. Aku takut Ya Allah." "Tenggelamkan diri kamu." Suara itu masih tetap sama. Mendengar jawaban itu, aku hanya bisa menangis. Lalu, suara itu muncul lagi. "Tenggelamkan diri kamu." Setelah tiga kali mendengar perintah tersebut, akhirnya aku menenggelamkan diri. Rasanya seperti terbang. Seketika mataku dapat terbuka dan aku berhasil bangun terbebas dari mimpi tersebut. Saat membuka mata, badanku penuh keringat, dan aku melanjutkan zikir yg tertunda karena tidur. Aku masih heran, padahal aku tidur, kenapa suara zikirku terdengar begitu jelas saat mimpi? *** Keesokan harinya, aku harus pergi ke dokter untuk mengontrol kesehatan. Tepat selepas subuh, Mama menyiapkan segala keperluan untuk bekal di rumah sakit nanti. "Jangan lupa minum obat dulu," ujar Mama seraya menutup kotak makan. "Obatnya udah habis dari kemarin, Ma." Mama menghentikan aktivitasnya. "Lho... kok, bisa habis? Emang obatnya buat berapa hari?" Aku menggeleng karena tidak tahu informasi yang jelas, untuk berapa hari obat yang diberikan sepulang aku dirawat? Tepat pukul 05.30 WIB kami sampai di rumah sakit, saat itu Papa mendapat nomor antrean 121. "Ya Allah, padahal Papa udah berusaha datang sepagi mungkin. Tetap aja dapet antrian yang jauh," lirih Papa. Setelah lebih dari satu jam menunggu, nomor antreanku disebut. Tak lebih dari satu menit, Papa pun kembali. "Untuk poli syaraf katanya sudah penuh. Hanya menerima empat puluh pasien saja setiap harinya," ujar Papa, wajahnya benar-benar terlihat kecewa. "Gimana, ya, Pa? Obat aku udah habis." Empat jam sudah aku berada di sini, sedangkan Papa mencari bantuan kepada salah satu kerabat dekatnya agar aku bisa masuk antrean ke Poli Syaraf. Usaha Papa pun berhasil, aku mendapat antrean di Poli Syaraf nomor 41. Suster mengatakan bahwa dokter baru akan datang pukul 12 nanti, sedangkan sekarang baru jam 10. Aku mulai merasa tidak kuat, kepala ini tiba-tiba sakit. Rasanya ingin berbaring. Punggung pun terasa akan patah. Hingga jam dua siang, namaku belum juga disebut untuk masuk ke poli syaraf. Aku sudah tidak kuat lagi, badan terasa sangat lemas setelah berjam-jam menunggu dokter. "Pa, aku pengin tiduran." Suaraku mulai lirih menahan rasa sakit. "Sini... tidur di sini," ujar Papa seraya menopang kepalaku untuk tidur di pangkuannya. Tangannya tak henti membelai rambutku yang tertutup kerudung. Tetapi, posisi tersebut tak bertahan lama, karena aku mulai merasa tidak nyaman. Tubuh Papa terlalu keras untuk dijadikan sandaran tidur. "Papa ambil bantal dulu, ya, di mobil," katanya lalu bergegas ke luar ruangan. Sesaat kemudian, Papa pun kembali membawa bantal yang dijanjikannya. Ia meletakan benda tersebut di atas pahanya. Lalu, menidurkan kepalaku dengan lembut. "Pa, aku sakit banget kepalanya." Aku mengeluh dengan tangis yang tertahan. Kudengar, antrean baru sampai nomor 35. Salah satu suster memanggil nama orang lain, tetapi beliau melihat aku yang terlihat tidak baik-baik saja. "Sini, Neng... kamu dulu aja. Aduh, meuni karunya teuing. Si Bapak, kenapa nggak minta duluan aja..." gumam suster yang usianya terlihat di atas Papa. Papa merangkulku untuk memasuki ruang pemeriksaan. Setelah selesai, aku masih harus mengantre untuk mendapatkan obat di bagian farmasi. Farmasi adalah jika dalam bahasa Yunani disebut dengan “Farmakon” (medika/obat). Farmasi sendiri yaitu seni dan ilmu dalam penyediaan bahan-bahan sumber alam dan bahan sintetis yang sesuai untuk didistribusikan dan juga dipakai dalam pengobatan serta pencegahan suatu penyakit. Pada umumnya, Farmasi meliputi pengetahuan mengenai identifikasi, kombinasi, analisa dan juga standarisasi obat serta pengobatan. Termasuk juga sifat – sifat obat dan distribusinya serta dalam hal penggunaannya. Atau definisi farmasi yaitu suatu suatu profesi yang berkaitan dengan kesehatan yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan kesehatan dan juga kimia. Farmasi ialah suatu profesi di bidang kesehatan yang meliputi berbagai kegiatan di bidang: penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan, maupun distribusi obat. Dalam ilmu farmasi terdapat empat bidang yang dipelajari, diantaranya yaitu farmasi: industri, ains, klinik dan obat tradisional. Ada juga definisi dari farmasis adalah seseorang yang meracik dan menyerahkan ataupun membagikan obat. Atau farmasis yaitu seseorang yang ahli dalam obat – obatan dan pada umumnya pakar kesehatan yang mengoptimalkan penggunaan dari obat kepada pasien untuk kesehatan yang lebih baik. Jadi, farmasi adalah ilmu yang digunakan dalam memanfaatkan sumber daya alam dan bahan lain untuk pengobatan, mencegah penyakit hingga menjaga kesehatan. Didalamnya terdapat penemuan, pengembangan, produksi, hingga pendistribusian. Saat ini industri farmasi telah berkembang pesat, hingga ada sekolah yang mengkhususkan mempelajarinya, dan banyak sekali orang yang terjuan ke duania farmasi karena gajinya yang tergolong cukup besar. Itulah artikel yang singkat mengenai definisi atau pengertian farmasi. Melihat begitu banyak pengunjung di depan kursi bagian farmasi, Papa begumam. "Ya Allah, harus antre berapa lama lagi?" ujar Papa kesal. Lima belas menit berlalu, Papa terlihat menkhawatirkan aku. "Masih kuat?" Aku hanya bisa mengangguk, karena... untuk sekadar berbicara saja aku tak kuat, rasanya sangat lemas. Papa mendekat ke bagian farmasi. "Maaf, Pak, pasien atas nama Septi udah selesai belum, ya?" Papa berusaha agar bisa pulang lebih dulu dan mendapatkan toleransi dari pihak farmasi. Namun, pria terhebatku justru mendapat perlakuan kurang baik oleh salah satu apoteker. "Sabar, dong! Kalau udah selesai juga pasti dipanggil! Nggak sabar banget!" Padahal, kalau saja oknum apoteker itu bicara baik-baik, Papa pasti menerima. Aneh, petugas kesehatan kok, nggak ramah! Beberapa saat kemudian, namaku dipanggil. Lalu, Papa langsung mengambil obat dan membawaku pulang. Karena macet, kami menghabiskan waktu satu jam untuk menempuh perjalanan ke rumah. Walau sebenarnya rasanya sangat melelahkan, sakit dan sedikit mabuk, tetapi aku tidak menangis. Sampai di g**g rumah, Papa menopang tubuh ini berjalan dari mobil ke teras. Sampai di kamar, aku segera menunaikan salat asar. Aku meraih mukena putih dengan renda merah muda yang tergeletak di atas kasur. Saat ini aku benar-benar tidak kuat menahan sakit. Terpaksa, salatku harus duduk karena tidak sanggup jika harus berdiri. Sepanjang waktu salat, aku tak hentinya menangis karena menahan rasa sakit di kepala ini. Usai menjalankan kewajiban, aku membuka kerudung dengan cepat dan merangkak ke luar karena tak kuat menahan sakit. Aku berusaha mendekati Mama yang ada di ruang tengah. Di dekat Mama tangisanku semakin pecah seperti anak kecil. "Mah... kepala Septi sakit banget. Ya Allah, Mah... nggak kuat rasanya," ungkapku seraya menggosok-gosok rambut. Mama memelukku erat. Beliau berusaha menidurkan aku di samping dadanya. Seperti anak bayi yang hendak menyusu. "Mama nggak ngerti harus gimana, De. Kalau boleh diminta, Mama mau sakit itu pindahin aja ke tubuh Mama. Septi yang sabar, ya, yang kuat." Mama terus mengusap kepalaku. Sedangkan Papa hanya bisa duduk dan melihat aku yang kesakitan. Rasa sakit yang dahsyat dan pernah kurasakan saat di rumah sakit itu datang lagi. "Mah, kalau nanti aku mati gimana?" Aku terus menangis dan berusaha menikmati rasa sakit ini. "Nggak boleh ngomong gitu... pamali." Butiran bening yang sejak tadi menggenang di sudut mata Mama pun akhirnya mengalir tanpa henti. Aku bisa melihat betapa sedihnya beliau melihat aku menangis kesakitan. Karena rasa sakit yang semakin kuat, aku pun menangis dengan suara yang kencang. "Ya Allah... sakiit... sakiit, Pah, Mah... sakiit Ya Allah." "Jangan keras-keras nangisnya, nanti tetangga pada dateng." "Mah... Septi mau dibotak aja," pintaku. "Jangan dibotak!" ujar Mama seraya membuka obat herbal. Beliau menumpahkan cairan itu ke kulit kepala dan memijat. "Ya Allah... sembuhkan rasa sakit anakku Ya Allah. Kalau bisa pindahkan saja kepadaku, kasihani dan kuatkan anakku Ya Allah." Suara Mamah terdengar tidak jelas karena isak tangisnya. "Usaha apa pun sudah dilakulan, sekarang kita hanya bisa berdoa. Selebihnya... kita serahkan kepada Allah," ujar Papa dan berlalu meninggalkan kami. Aku melihat beliau berusaha menahan air matanya. "Mau kemana, Pah?" tanya Mama. Papah mengatakan bahwa beliau ingin meminta air doa kepada rekannya. *** Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD