Save Me 35

1705 Words
Hari demi hari kulalui dengan penuh perjuanagan. Setiap minggu kesehatanku harus selalu dikontrol. Aku kembali memilih untuk melanjutkan kuliah. Namun, Mama, Papa dan Teh Widi meminta aku untuk cuti. Aku benar-benar tak berdaya. Harapanku seolah hancur. Impianku menjadi petugas kesehatan harus kandas begitu saja! Aku bingung. Sejak putus kuliah, aku yang dulunya ceria, kini senyum pun tak bisa! Semua terasa gelap dan aku benar-benar kehilangan semangat untuk hidup! Sebelum resmi cuti, pihak kampus menghubungi bahwa beasiswa semester lima telah turun. Akhirnya aku pergi ke kampus dan meminta keluarga meninggalkan aku sendirian untuk berlama-lama menikmati suasana kampus. Hingga sore tiba, aku masih tetap duduk di halte kampus. Sebuah tempat duduk lengkap dengan meja yang dirancang khusus untuk para mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas atau menunggu dosen sebelum mulai kuliah. Hari semakin gelap, aku benar-benar tidak ingin pulang. Terlihat di sekeliling pun sudah sepi. Aku membuka tas dan terlihat ada pisau kater yang biasa digunakan jika darurat. Tangan ini meraih pisau tersebut. Aku gelap hati dan gelap mata. Seperti, mati adalah jalan terbaik agar aku tidak menjadi beban untuk keluarga. Percuma saja aku hidup tapi tak punya apa-apa! Hanya bisa merepotkan orang saja. Ketika aku berusaha menggoreskan mata tajam pisau secara tipis, darah tiba-tiba keluar dari kulitku. Rasanya perih. Namun, aku pisau itu belum sampai memotong urat nadiku. Ketika tanganku mendorong pisau lebih dalam, tiba-tiba saja seseorang melempar kater tersebut hingga membuatku terkejut. Kedua bulat hitamku menatap orang tersebut. "Alfa... kenapa kamu di sini?" Sepertinya Alfa tidak tertarik mendengar ucapanku. Pemuda itu lebih fokus pada darah yang mengalir dari pergelangan tanganku. "Septi, kamu berdarah! Darah kamu keluar banyak banget." Alfa segera mengeluarkan sapu tangan dari sakunya. Pemuda itu berusaha mengikat sekencang mungkin. "Kamu di sini dulu sebentar, aku mau pergi ke apotek dulu beli kasa dan betadin. Plis aku mohon kamu di sini dulu." Belum sempat aku menjawab, lelaki itu berlalu meninggalkan aku dengan langkah yang sangat cepat. Beberapa saat kemudian, Alfa kembali datang dan membawa benda-benda yang telah ia sebutkan sebelum pergi tadi. Alfa berusaha membantu aku untuk memasang perban. Namun aku tolak. "Aku bisa sendiri, kok. Kamu tolong potong plester aja, ya." Alfa menuruti permintaan aku. Setelah luka yang kubuat berhasil terbalut. Alfa mulai membuka suara. "Ini... aku beli minum. Kamu minum ya." Pemuda itu memberikan aku air mineral. Karena kemasannya kecil, kuteguk habis minuman tersebut. "Kamu sendirian? Papa atau Teh Widi ke mana?" "Aku sengaja pengen sendirian di sini. Tadinya mau bunuh diri, tapi kamu dateng! Kenapa, sih? Kamu kenapa ada di sini?" "Aku nggak tahu kalau kamu ada di sini. Aku habis ada kuliah, ini, kan, hati Sabtu." Septi lupa bahwa Alfa sedang mengambil S2 di universitas yang berdekatan dengan kampusnya. "Oh, iya... maaf aku lupa." "Kenapa kamu bunuh diri? Kamu nggak kasihan sama Mama, Papa dan Teh Widi? Sama Afril juga." "Aku nggak perlu jelasin ke kamu. Kamu bukan siapa-siapa aku." "Aku teman kamu, Septi." "Aku nggak ngerasa temenan sama kamu, Fa. Maafin aku." Alfa menarik napas panjang. "Ya udah, nggak apa-apa. Tapi aku tetap menganggap kamu temanku." "Makasih, ya." "Kamu pulang kapan? Ini udah mau magrib. Nggak ada yang telepon kamu?" "Aku sengaja nggak aktifin ponsel." "Mau pulang bareng sama aku? Aku bawa mobil, kok." "Nggak usah!" Alfa memandang diriku dengan tatapan tajam. Sepertinya lelaki itu akan mengungkapkan hal penting. "Kalau kamu nggak anggap aku teman, mulai sekarang, aku mau berteman denganmu." "Kenapa? Kita nggak seumuran. Kamu kakak kelas aku!" "Ya karena aku ingin berteman dengan kamu, Septi." "Oke, hanya teman! Dan nggak lebih!" "Alhamdulillah... makasih, ya." "Izinkan temanmu antar kamu pulang. Kita searah, lho!" Alfa tidak ada capeknya mendekati aku. "Aku mau telefon Papa sekarang." Aku berusaha mengeluarkan ponsel, tetapi Alfa justru menakut-nakuti aku. "Kalau kamu nggak pulang bareng aku, dari sini aku langsung ke rumah kamu dan bilang sama keluarga kamu, kalau kamu baru saja melakukan percobaan bunuh diri." "Astaghfirullah, nggak ada kerjaan banget, sih!" Aku kesal dengan lelaki itu. "Aku nggak mau temanan sama kamu!" Aku berdiri dan berlalu meninggalkan Alfa. Lelaki gagah itu mengejarku. Walau sudah sore, aku masih bisa mencium wangi tubuhnya. Dan, ia selalu berpenampilan rapi. Namun, aku tidak suka dengannya. Aku tidak nyaman. Dia terlalu tampan sepertinya! Ya... mungkin bisa kukatakan mirip oppa-oppa Korea. Dan, aku benar-benar tidak suka dengan hal yang berhubungan dengan Korea. Entah dramanya atau K-Pop. Jadi, mungkin hal itu yang membuatku tidak suka. "Septi, kamu kenapa, sih, nggak mau temenan sama aku? Terus, kamu itu adik kelas aku, lho! Beda empat tahun! Kenapa kamu manggil aku Alfa aja? Ibu-ibu di desa saja panggil aku Aa, lho." Aku heran, kenapa pemuda itu melakukan protes? Aku pikir dia akan mencegah agar aku tidak pergi. Aku tak peduli dengan Alfa. Aku tetap berjalan lurus mencari tempat lain untuk menyendiri. "Septi, plis jawab pertanyaan aku." Setelah melangkah beberapa puluh meter, aku menemukan tempat ramai. Warung mi ayam. Aku akan makan karena sudah waktunya jadwal minum obat. "Mi ayam sama ceker satu, ya, Mang. Dimakan di sini." Aku juga mendengar Alfa berkata pada penjual tersebut. "Saya mi ayam pakai bakso dimakan di sini juga, Pak." "Kamu kenapa, sih, ikutin aku mulu?" "Aku juga laper, Septi! Habis kuliah lama, belum makan." "Sumpah nggak nanya!" Alfa tersenyum. Aku sungguh tidak kuat jika melihat senyum lelaki itu. Dia tampan! Aku tidak munafik. Hatiku bergetar jika melihat dia tersenyum padaku. "Septi, tahu nggak, sih! Aku itu nggak punya temen cewek. Makanya aku mau temanan sama kamu, biar punya temen cewek." "Bohong dosa, lho! Itu temen sekelas kamu di tempat kuliah nggak dihitung? Di sekolah dulu juga, apa itu bukan teman?" "Beda! Maksudnya teman yang di kampung, satu desa dan satu server sama aku." "Kita nggak satu server! Lagian kenapa nggak temanan sama yang sepantsr aja?" "Jawab pertanyaan aku yang tadi, kamu kenapa nggak mau temanan sama aku dan nggak panggil aku dengan sebutan kakak atau apa, gitu?" Aku menarik napas panjang. "Awalnya aku pikir kita seumuran, walau kita satu desa, aku nggak tahu kamu kelas berapa. Udah terlanjur manggil Alfa, ya udah! Lagian aku lebih nyaman gini. Nggak wajib juga kan manggil kamu dengan sebutan aa atau kakak?" "Iya, sih nggak wajib. Ya udah nggak apa-apa... terus kamu kenapa nggak mau temenan sama aku?" "Aku nggak mau dapet gosip baru! Kamu kenal Rere, kan?" Alfa mengangguk. "Iya, kenapa emangnya?" "Pernah dengar gosip apa tentang aku sama dia?" "Kalian pernah pacaran, cuma itu aja." "Nah, itu! Aku nggak mau nambahin gosip baru. Aku sama Rere mutlak cuma sahabatan. Dia mantan pacarnya Surya, sahabat aku juga. Aku sama Rere nggak pacaran. Dan aku nggak mau, kalau kita temenan, terus gosip nyebar kalau kamu itu pacarku." "Demi apa kamu nggak pernah pacaran sama Rere?" "Demi Allah, ngapain bohong?" Tiba-tiba saja penjual mi ayam menyajikan pesanan kami. Aku pun menyantap masakan tersebut, begitu juga dengan Alfa. Alfa terlihat senyum-senyum. "Kamu kenapa senyum-senyum gitu?" "Aku nggak kelihatan tua, ya? Masih kayak anak 19 tahun, ya?" "Kenapa emangnya?" "Buktinya kamu nggak tahu kalau aku lebih tua dari pada kamu! Sekarang usia aku udah mau dua puluh empat. Kamu sembilan belas, kan?" Aku mengangguk. Setelah kami mengobrol panjang lebar, aku pun memutuskan untuk pulang bareng bersama Alfa. Lelaki itu anak orang kaya! Hal itu juga yang membuatku tidak nyaman berteman dengannya. Mengenalkan! Sebelum sampai ke rumahku, ia menghentikan mobil di depan rumahnya. "Sebentar aku mau ke toilet dulu. Kamu mau masuk?" "Enggak!" Alfa berlari dan membawa tasnya. Beberapa saat kemudian, ibunya nongol dari gerbang rumah dan masuk ke mobil. "Neng Septi... Ya Allah meuni geulis pisan! Neng, ayok masuk. Rizki lagi mandi." Aku terkejut. Kenapa dia malah meninggalkan aku sendirian? Terpaksa, aku harus mengobrol dengan wanita cantik di depanku ini. "A Rizki sering cerita tentang Neng Septi, katanya punya adik kelas yang wajahnya cantik." Aku terbengong. Bagaimana bisa dia tahu aku di sekolah? Padahal saat aku masuk, dia sudah keluar. Saat SD pun kita nggak satu sekolah. Aku hanya sesekali melihat Alfa saat ada kegiatan di masjid. Nyaris tidak pernah ngobrol. Rupanya, di lingkungan rumah ia dipanggil dengan sebutan Rizki. Wajar, karena namanya Alfarizki. "Si Vino, kenal nggak?" "Justru lebih akrab sama Vino dari pada sama Kak Alfa, Bu." Nama yang disebutkan tersebut adalah adik kandung Alfa. Remaja itu adik kelasku beda satu tingkat. Wajar jika kamu akrab. "Vino juga sering cerita. Katanya tahu banget sama Teh Septi, yang wajahnya mirip barbie. Kayak boneka! Jadi Mama, teh, penasaran! Mama juga pernah lihat Septi dulu, waktu malam takbiran tahun lalu." Aku hanya tersenyum saja. Bingung harus merespon apa. Setelah hampir lima belas menit, aku melihat Alfa keluar menggunakan celana jeans hitam lengkap dengan kopeah dan kemeja Koko warna putih. "Udah, Mah, aku mau antar Septi dulu." Ibunya memberi isyarat pada kami untuk hati-hati. Orang kaya itu sangat ramah padaku. Setelah pintu mobil tertutup, aku marah pada Alfa. "Heh, kamu apa-apaan ngirim Mama kamu ke sini? Terus kenapa harus mandi segala? Ya Allah, rumah aku cuma satu menit dari sini kalau naik mobil! Kamu bisa mandi setelah ngantar aku pulang!" Alfa melihat wajahku dan tersenyum. "Aku baru tahu kamu banyak omong, ya. Kenapa kamu selama ini diam aja kalau ada aku?" "Nggak ada hal yang harus aku omongin! Jawab pertanyaan aku, Alfa!" "Aku belum salat, Septi. Kamu, mah, enak! Perempuan selalu dikasih istirahat salat sama Allah tiap bulan. Tadi mau aku ajak mampir di masjid katanya kamu lagi nggak salat, kan?" Aku terdiam, benar juga, sih! Aku jadi kasihan. Akhirnya Alfa melajukan mobil beberapa puluh meter dan sampai di depan rumahku. Aku langsung membuka pintu. Tak lupa mengucapkan terima kasih. "Makasih, ya, udah anter aku sampai depan rumah." Aku keluar dari mobil, tetapi lelaki itu ikut keluar. "Heh kenapa keluar? Udah sana pergi." "Aku mau mampir, ya!" "Ngapain? Udah malem!" "Belum isya, Septi!" "Nggak usah! Sana-sana kamu pulang, atau aku nggak mau lagi temanan sama kamu?" "Pliss Septi, kali ini aja! Ini tanda pertemanan kita. Aku nggak pernah main ke rumah kamu, lho, sebelumnya." "Jangan sekarang, Alfa! Aku nggak mau! Udah sana!" Suaraku terdengar sangat nyaring. Karena hal itulah membuat Papa keluar dan melihat ada Alfa. "Septi, kenapa ribut-ribut? Alfa nggak disuruh masuk?" "Mau masuk, Pa... tapi sama Septi nggak boleh." "Aku pusing, Pa. Aku suruh Alfa pulang." "Ya udah nanti Alfa biar Papa yang temenin." Alfa tersenyum mendengar jawaban Papa. Lelaki itu terlihat sangat bahagia. Sedangkan aku kesal. Dia benar-benar tidak pernah menyerah untuk mendekati aku! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD