Save Me 34

1755 Words
Ketika membuka mata, terlihat pemandangan sekitar yang tak begitu asing. Ternyata aku sedang berada di rumah salah satu warga yang tidak jauh dari tempat pemakaman. "Teh Septi udah sadar," ujar salah satu warga. Belum sempurna kesadaranku, terdengar suara teriakan Om Rahmat. "Septi pingsan? Mana sini bawa pulang aja." Om Rahmat pun menggendong aku dengan langkah yang sangat cepat. Sampai di rumah, ternyata sudah banyak warga yang sedang bersilaturahmi. Bukan hanya maaf-maafan, mereka juga duduk sejenak untuk melihat keadaanku. Beberapa di antara mereka juga meneteskan air mata. Hal tersebut membuatku tak kuasa menahan butiran bening yanh memaksa mengalir. "Apanya yang sakit? Jangan nangis, ya," ujar salah satu tetanggaku. Sampai saat ini, Mama belum mau memberitahu warga bahwa aku mengidap penyakit Radang Selaput Otak, atau biasa dikenal dengan Meningitis. Mama takut jika orang di luar sana menertawakan penderitaan keluarga kami. Setelah beberapa tetangga jauh pulang, Mama mengatakan kepada kerabat yang masih berada di sini tentang penyakit yang kuderita. Sontak mereka tidak percaya dan seketika menangis. Salah satu tetangga yang dekat dengan keluarga kami berkata, "Cepat sembuh, Teh, saya rindu keceriaan Teteh. Semoga kembali kayak dulu lagi, ya," ujar beliau yang umurnya jauh di atas Mama. Setelah kejadian di pagi hari, aku diminta Mama untuk beristirahat. Tidur kali ini terasa sangat nyenyak, walau banyak tamu berdatangan, tetapi aku tidak tahu, karena Mama tak membangunkan aku. Hal itu bertujuan agar aku bisa beristirahat dengan cukup. *** Usai salat zuhur, aku makan dan setelah itu kembali tertidur hingga selepas asar. Terdengar dengan samar suara Mama memanggilku. "Teh... Septi... bangun... Itu kedatangan tamu banyak banget. Katanya temen-temen SMP. Ada Rere juga, tuh," ujar Mama seraya membelai tubuhku dengan lembut. Aku terpaksa membuka mata yang rasanya lengket sekali. Segera mungkin aku bergegas untuk bersuci dan salat. Setelah itu mencari kerudung  dan menemui para tamu. Aku melihat begitu banyak teman-teman SMP yang hadir baik perempuan maupun laki-laki. "Ma syaa Allah... kaget banget. Kalian kenapa ke sini nggak bilang-bilang dulu?" tanyaku. "Kejutan Septi," sahut Rere. "Aku lho yang punya ide ngajak mereka ke sini," imbuhnya. "Iya... iyaa... makasih banyak, ya, A." Aku tersenyum. Hal itu membuatku teringat akan perbuatannya beberapa minggu lalu saat aku baru baru pulang dari rumah sakit. Rere sahabatku itu pernah datang menjengukku. Seperti biasa, ia membawa banyak bingkisan untuk dihadiahkan padaku. Katanya, ia mendapat libur dua hari dan sengaja mampir ke rumah. Jika dibandingkan, aku lebih nyaman ngobrol bersama Rere dari pada Alfa. Dari segi fisik keduanya sama-sama tampan. Hanya saja, si PNS itu berkulit putih dan buruh pabrik terbesar di Indonesia tersebut berkulit sawo matang. Aku bingung. Rere kenapa seperhatian ini padaku? Apakah pemuda itu menaruh rasa? Atau hanya aku saja yang terlalu percaya diri. Sore di hari lebaran itu teman-teman bertanya tentang sakit yang kuderita. "Kenapa bisa sakir kayak gitu?" "Aku nggak tahu." "Apa yang dirasakan?" Lalu, aku pun menjelaskan bagaimana rasa sakit ini merambat di setiap tubuhku, terutama kepala. Mereka pun memperhatikan ceritaku. Setelah beberapa lama, suara azan magrib pun terdengar. Teman perempuan mengajak untuk pulang. Rere pun berkata, "Ya udah, yuk, pulang. Tapi foto dulu, ya." Kami keluar untuk foto bersama. Lalu Dwi berkata, "Septi, dicariin Danu, tuh." Aku heran dengan ucapan Rere, kenapa dia menyebutkan nama Danu? Tahu dari mana kalau akhir-akhir ini Danu sering menghubungi aku? "Mana?" tanyaku. Lalu Danu menampakan dirinya di hadapanku. "Hai, Danu... makasih, ya, udah mau dateng jenguk aku." Beberapa kali Danu melempar perhatian padaku. Katanya ia ingin membelikan aku obat herbal untuk kesembuhan dan pemilihan Radang Selaput Otak ini. Danu juga tergolong kategori pemuda tampan. Aku terkejut saat melihatnya. Terkahir bertemu yaitu saat SMP, dulu badannya kecil dan lebih pendek dariku. Sekarang dia tinggi dan ideal. Ketika aku melempar senyuman pada Danu, pemuda itu berkata, "Iya, Septi... sama-sama. Kamu cepat sembuh, ya." "Ciyeee... Septi" celetuk Dwi. Keningku mengerut mendengar ucapan Rere. "Apaan, sih, A. Udah ayoklah foto," sahutku. Usai berfoto mereka pun saru per satu berpamitan. Aku tidak pernah menyangka jika teman-teman masa SMP akan datang menjengukku. Rere benar-benar sahabat yang baik. Ketika menatap punggung pemuda itu mulai menjauh. Pikiranku kembali ke masa-masa saat kami SMA. Kala itu aku meminta Rere mengantarku ke Bank. Peristiwa pertama yaitu ia datang menggunakan motor bebek terkeren pada zamannya. Aku masih belum memakai busana syar'i. Aku tahu dia sudah sampai dan duduk di ruang tamu. Aku bersiap-siap memakai kerudung seadanya dengan setelan kemeja serta jeans warn telor asin. Setelah siap, aku keluar dan terkejut mendapati Rere berpakaian senada denganku. "Astaghfirullah, A... kamu pakai kemeja itu?" Aku terkekeh. "Yah... jadi couple-an dong, kita." Rere tersenyum. "Sumpah aku nggak tahu kalau kamu pakai baju itu. Aku ganti aja, ya!" "Nggak usah! Udah nggak apa-apa kita couple aja." Kami pun berangkat. Sungguh! Selama ini aku hanya menganggap Rere sebagai sahabatku. Rere sangat baik, dan aku nyaman berteman dengannya. Hari lain, aku kembali meminta Rere untuk mengantar ke bank. Namun, kali ini aku sudah mulai memakai rok, walau begitu mengamalkan kerudung panjang. Rere memakai jaket kulit persis seperti kepunyaan idolanya, Charly Van Houten vokalis Setia Band. Aliran musik yang kusuka juga. Keluar dari bank, aku melihat langit benar-benar mendung. "Mau tetap pulang?" tanya Rere. "Iya, atuh, A... pulang aja." "Tapi mendung, Septi." "Ya udah nggak apa-apa. Kita hujan-hujanan aja kalau airnya turun." "Kamu nanti pakai jas hujan aja, ada satu, kan, di jok?" "Nggak usah! Ayok." Kita berdua pun berangkat diiringi semilir angin yang sejuk dan langit tertutup awan mendung. Ya... andai saja kita sepasang kekasih, itu sangat romantis! "Septi, kayaknya udah mulai gerimis, deh." Rere terdengar berteriak dari depan motor. "Nggak apa-apa, A, aku suka hujan-hujanan, kok." Yah, dulu aku memang suka hujan-hujanan dan sangat bersahabat dengan air langit itu. Namun, tidak sekarang. Saat itu, hujan benar-benar menerjang kami berdua. Aku bingung kenapa Rere tiba-tiba menghentikan motornya. Pemuda tampan itu turun dari motor dan membuka jaket kulit berwarna hitam yang dipakainya. "Kamu pake ini, ya." "Buat apa? Nggak usah!" "Pilih jas hujan atau pakai jaket aku sementara, biar nggak terlalu kena air hujan." Aku menarik napas panjang. Sebenarnya bisa saja aku pakai mantel anti air itu. Tapi, jika hal itu terjadi rasanya tidak adil. Aku terlindung sendangkan Rere tidak. Karana hal itulah aku memilih menerima jaket Rere. "Ya udah, A, nggak apa-apa sini. Kamu bajunya lengan pendek gitu nggak kenapa-kenapa?" Aku heran. "Nggak apa-apa, Septi. Aku mah laki-laki. Nggak akan kenapa-kenapa, nggak usah khawatir." Lalu, kami pun melanjutkan perjalanan lagi, aku menutup kepala ini dengan jaket milik Rere, berharap kain tebal itu bisa memperlambat air hujan sampai di permukaan kepalaku yang terbalut kerudung. Rere berteriak dari depan seraya tetap fokus menyetir. "Septi, di pinggir jalan banyak yang berteduh. Mereka ngeliatin kita. Mungkin mikirnya kita berdua pacaran." "Ada-ada aja! Eh, tapi wajar, A. Lagian kamu rela buka jaket buat aku, kayak orang-orang pacaran aja!" Hal itu masih kuingat sampai sekarang. Momen-momen bersama Rere memang banyak yang indah. Berbeda dengan sahabatku yang lain, seperti Mas Irfan. Selain saudara, aku tidak pernah menerima perlakuan romantis seperti yang dilakukan Rere padaku. Terakhir kali momentum bersama Rere yang kuingat sebelum aku sakit, saat pergi mencari kado ulang tahun untuk Mama sekaligus mencari bunga untuk almarhumah nenek Aku ingat, kala itu Rere mengenakan jeans dan kaos serba hitam, lengkap dengan kalung rantai berwarna perak yang melingkar di lehernya. Aku sudah berpakaian syar'i, karena itulah hari tersebut adalah momen langka. Aku sudah lama tak berpergian bersama laki-laki karena sejak berbusana syar'i aku memutuskan untuk menjaga jarak. Siang itu aku memakai gamis pink fanta. Usai mendapat bunga dan pakaian untuk Mama, aku lapar. Kami berdua pun mencari restoran di lantai atas. "Kamu pesan apa A?" tanyaku. "Nasi goreng aja. Izinin aku yang bayarin." "Lho, yang minta diantar, kan, aku. Kenapa kamu yang bayarin? Udah biar aku aja yang bayar." "Udah, nggak apa-apa! Aku udah jarang ketemu juga, kan, sama kamu! Nggak tiap bulan juga bayarin kamu makan." Aku mengangguk. "Oke kalau gitu aku pesan iga bakar sapi sama sup, ya." Rere menyetujuinya. Aku berdiri sebentar mencari pramusaji. Tiba-tiba saja meja yang akan menjadi tempat makan kami terjungkit dan Rere nyaris jatuh. Semua mata tertuju pada pemuda tampan yang mengantarkan aku itu. "Astaghfirullah, kamu kenapa, A?" Aku terkekeh. "Siap! Ini meja ringan banget! Pasti murah nih!" Rere terlihat kesal. "Kakinya aja yang tubuhnya terlalu berat." Aku semakin puas tertawa. "Makanya, A... nggak usah senderan di atas meja, deh!" Saat pramusaji datang, aku kembali duduk di samping kursi Rere. Kami berdua memberi tahu pesanan dan pegawai restoran itu kembali beringsut meninggalkan pelanggannya. "Septi...." Rere membuka pembicaraan. "Iya?" "Aku perhatikan banyak orang yang lihat aku dan kamu waktu jalan tadi." "Terus, apa masalahnya?" Aku heran. "Mereka berpikir kali, ya... itu ceweknya pakaiannya syar'i, cowoknya urakan kayak aku. Celananya juga bolong! Apa lagi ada kalung rantai ini." Rere memegang kalung yang dipakainya. Aku tersenyum. "Ya udah, sih, biarin mereka mikir gimana, yang jelas kita nggak pacaran!* Saat makanan tiba, kami berdua segera menyantapnya. Sebelum itu, aku dan Rere menyempatkan untuk berfoto sebentar sekadar untuk kenang-kenangan. Karena, sejauh hubungan pertemanan, kami belum pernah memiliki foto berdua. "A, itu hape kamu bunyi," ujarku. "Buka aja." "Bener? Nanti kalau itu dari pacar kamu gimana?" tanyaku. "Nggak mungkin ada. Aku lagi nggak punya pacar, kok." Akhirnya aku membuka notifikasi BBM yang ada di ponsel Rere. "Dari Tinda." Aku terdiam untuk baca pesan-pesan yang masuk dari perempuan itu. "Haha, cieee, kamu ada janji mau nganterin dia?" "Dia itu suka sama aku, Septi! Tapi akunya enggak, biasa aja!" "Kamu masih sayang sama Ulfa?" Aku terkekeh. "Aku tahu itu! Dari jaman SMP emang kamu nggak pernah move on dari dia." "Aku udah bisa move on dari Ulfa, Septi! Udah lanjut makan aja!" "Hemmm iya, iya! Bagus, deh, kamu jangan pacaran-pacaran lagi pokoknya!" "Nikah aja, ya?" Rere meminta pendapat padaku. "Iya itu, bener!" Usai makan, kami terdiam sejenak di kursi. Dan, lagi-lagi Rere memulai pembicaraan. "Aku mau beli motor, kata kamu motor apa, ya?" "Kan, kamu yang mau pake, kenapa tanya sama aku?" "Kamu suka sama motor apa emangnya?" Aku tersenyum. Saat ini sedang marak film Anak Kota-an yang sering membawa motor besar. Jadi, aku ingin memperingatkan Rere, bahwa aku tidak terinspirasi dari sinetron tersebut. "Dari aku masih tomboi, jauh sebelum ada film Anak Kota-an, aku udah suka sama nomor Ninja. Aku sekarang udah nggak pacaran, kan, tapi aku punya impian bisa naik motor itu sama pasangan aku." "Oke, nanti aku beli motor itu aja." "Lha, kenapa?" "Nggak apa-apa. Pendapat kamu bagus, Septi. Aku juga suka motor Ninja." Sejak itu, Rere memiliki motor Ninja berwana merah. Itulah hari terakhir kami pergi. Setelah itu seminggu setelah aku dirawat, pemuda itu datang ke rumah untuk menjenguk. Semua kenangan tentang Rere selalu tersimpan dalam pikiran ini. *** Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD