Save Me 44

1107 Words
Aku terbangun ketika mendengar suara tamu yang sedang mengobrol dengan Mama. Saat membuka mata, tiba-tiba sana bumi ini seperti terguncang. "Ya Allah, kenapa ini?" batinku. Aku pikir itu hanya efek tidur yang terlalu singkat. Akhirnya aku coba menutup dan membuka mata kembali secara perlahan. Berharap bahwa pandangan aku bisa normal seperti biasanya. Namun aku tak mampu. Aku pun justru berteriak, "MAMAAAH!!" Setelah mendengar teriakanku, Mama dan tamu tersebut mendekat. "Kenapa?" tanya Mama panik. "Mah, matanya nggak bisa dibuka! Seluruh ruangan ini seperti bergoyang," ungkapku. "Kenapa emangnya?" tanya Mama. "Aku nggak tahu, Mah. Baru bangun, tapi mau buka mata nggak bisa!" Mama dan tamu tersebut membawaku keluar dari kamar kakak pindah ke ruang tengah. Mereka mengangkat tubuh ini, tapi yang aku rasakan seperti menaiki kemidi putar dengan kecepatan tertinggi. Sangat pusing dan mual! Tiba-tiba aku muntah! Cairan kotor itu bukan hanya membasahi tubuhku dan Mama, tapi juga tamu tersebut yang ternyata seorang istri dari kepala desa. Aku merasa benar-benar tak berguna. Aku menangis histeris karena malu. "Maafin aku, Bu." Aku berbicara dengan terus menutup mata. "Nggak apa-apa Septi... namanya juga lagi sakit." Aku terus menangis karena jika mata terbuka, aku justru merasa mual dan munta. Tiba-tiba saja tubuh ini terasa lemas seperti tak ada tenaga. Aku tak tahu harus berbuat apa, sedangkan membuka mata saja tak bisa. Rasanya takut jika tak ada genggaman, seperti akan jatuh dalam jurang. "Mama pegangin tangan aku," pintaku. Wanita terhebat dalam hidupku itu menggenggam tangan ini dengan erat. Aku mendengar ia meminta bantuan pada ibu kepala desa untuk memanggilkan Mak Ana dan Bibi Lik. Namun sayangnya, mereka berdua tidak ada. Katanya Mak Ana sedang pergi ke sawah dan Bibi Lik ada urusan penting. Mama pun memberi kabar Papa tentang peristiwa ini. Karena Papa di Jakarta, akhirnya Abi Uztaz yang datang ke rumah membawakan aku seorang perawat laki-laki. Disuntikanlah aku sebuah obat, katanya, jika sore masih beluma ada perubahan, maka harus disuntik lagi. Abi Ustaz masih harus bekerja. Karena hal itulah aku kembali berdua saja dengan Mama di rumah. Aku mendengar Papa baru saja menelepon. Katanya, beliau memberi kabar Alfa bahwa aku sakit. Ya Allah, aku benar-benar malu! Kenapa Papa melakukan hal itu? Aku tak tahu jam berapa Alfa datang ke sini. Seingatku, pemuda itu hadir ketika waktu zuhur sudah terlewat. "Ini, Ma... aku bawakan madu untuk Septi. Semoga nanti nggak mual lagi." Aku tidak bisa melihat keberadaan Alfa, di mana dia dan memakai baju warna apa? Aku benar-benar tidak tahu. Beberapa saat setelah Alfa berdiam diri di sekitar tempatku berbaring, tiba-tiba saja aku ingin muntah. "Ma... aku mau muntah!" teriakku. Aku pikir Mama sedang tidak ada di dekatku. Karena hal itulah aku memanggil dengan suara cukup kencang. Seseorang mendekat dan berusaha membangunkan tubuh ini. Dari aroma tubuhnya, aku tahu siapa dia. Pasti Alfa! Pemuda yang sudah sebulan telah kuterima tawaran lamarannya. "Jangan kamu! Kita belum halal, mama aku mana?" "Septi kamu sakit, insya Allah ini boleh. Mama lagi di kamar mandi. Nggak apa-apa bangun sok, ini udah ada wadah buat nampung muntahan kamu." Alfa berbicara dengan sangat tegas. Belum sempat aku mendebat ucapannya, perutku semakin mual. Akhir aku bangun sendiri dan meraba tangan Alfa agar tidak salah saat membuang cairan busuk dari dalam lambungku. Biasanya, saat muntah ada Mama yang memijat lembut kepala serta leher bagian belakang. Hal itu dilakukan agar aku bisa mengeluarkan muntahan dengan maksimal. Namun, sekarang Mama tidak ada. Aku bingung! Perut dan tenggorokan terasa sakit karena muntahan ini tidak keluar secara keseluruhan. Entah berapa kali Alfa menyaksikan aku mengeluarkan cairan tersebut. Aku benar-benar malu. Pasti pemuda itu sedang menyaksikan bagaimana jelek dan bobroknya aku sekarang. Bagaimana tidak? Sejak pagi aku belum mandi, bahkan aku tidak tahu sekarang memakai kerudung seperti apa? Mama yang memakaikan aku kerudung ketika ada Abi dan perawat datang. Mendekati magrib, tiba-tiba saja aku ingin buang air besar. Rasanya bingung. Aku lemas untuk berjalan. Sedangkan, orang yang biasa menggendongku ke kamar mandi saat sedang sakit adalah Papa. Aku memaksa Mama agar aku berjalan ke kamar mandi. Namun, setelah berusaha sekuat tenaga ternyata tak berhasil! Aku benar-benar payah! "Ma, kalau diizinkan biar saya aja yang gendong Septi ke kamar mandi." Belum sempat Mama menjawab, aku lebih dulu mencela. "NGGAK MAU! AKU NGGAK MAU DIGENDONG KAMU!" Rasa ingin buang air besar itu bisa kutahan. Namun, siapa yang bis menahan kencing? Akhirnya terpaksa, aku bersedia tubuh ini diangkat oleh pemuda itu. Apakah aku berdosa? Maafkan aku, Ya Allah! Usai melakukan kebutuhan hidup tersebut. Aku meminta Alfa untuk segera pulang. Aku yakin sebentar lagi Teh Widi akan datang. Kami bisa melakukan semua hal dengan bantuan Teh Widi. *** Pukul tujuh malam, ternyata masih belum ada perubahan dalam tubuhku. Justru kedua pendengaran ini perlahan berkurang, bahkan telinga kanan seperti tak berfungsi. "Ma, telinga aku, kok, budeg sebelah." Aku merengek ketakutan. Mama mendekapku seperti bayi kecil di masa lalunya. "Udah, itu cuma efek obat aja. Nanti juga sembuh." Ketika tengah malam, aku tiba-tiba teringat akan kematian. Aku pikir, Tuhan akan segera memanggilku. Mungkin sekarang sudah waktunya aku kembali pada Sang Pencipta. Karena, Dia sudah memberikan aku banyak kesempatan untuk bisa menikmati hidup lebih lama lagi setelah sembilan bulan lalu nyaris meninggal. "Ma, kalau aku tiba-tiba mati, gimana?" tanyaku takut. Setelah aku bertanya tentang kematian, Mama menjawab, "Hus...  ngomong apa! Kan, dokter udah bilang, kamu itu penyakit yang mematikannya udah nggak ada." "Mama tahu nggak, film surat kecil untuk Tuhan? Itu awalnya dinyatakan sembuh dulu, terus akhirnya meninggal." Aku seperti putus asah. Pelukan Mama semakin erat. Bahasa tubuhnya tergambar begitu jelas bahwa wanita itu sangat takut kehilangan aku. Aku juga mendengar suara isak tangis Mama. Sayangnya kedua bulat hitam ini tak bisa melihatnya, karena jika aku membuka mata rasanya ingin muntah. Aku mendengar Mama menghubungi Papa lewat telefon. "Pa, jadi gimana? Telefon ustaz aja, Septi ngomongnya ngelantur. Katanya kalau dia mati gimana? Mama takut, Pa... Mama harus gimana?" ujar Mama menahan suara tangisnya. Suara Papa dalam telefon cukup keras, sehingga aku dapat mendengarnya dengan baik. "Ya udah, Papa telefon ustaz dulu. Nanti gimana kata dia aja. Kalau memang harus dirawat, bawa aja ke rumah sakit. Jangan ditunda! Gimana pun juga, riwayat sakit Septi itu bukan sakit biasa. Jadi, kita harus hati-hati." Malam ini, Abi membawakan aku seorang perawat yang kemarin menyuntikkan obat pereda rasa pusing yang dahsyat ini. "Obatnya memang cukup keras.  Sementara saya suntikan lagi cairan untuk mengurangi rasa pusingnya, ya... saran saya lebih baik ke rumah sakit aja," ujar sang perawat. Akhirnya, pukul dua malam, Abi membawaku ke rumah sakit. Beliau menggendong aku dari rumah ke mobil. Aku merasa sangat terharu, sudah sebesar ini... usia 20 tahun tapi masih bisa merasakan kasih sayang beliau. Padahal, beliau bukan ayah kandungku, tapi seringnya ia lebib mengorbankan banyak waktu demi kebaikan keluargaku. *** Bersambung....    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD