Save Me 7

1589 Words
Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa kaum minoritas seperti aku akan mendapatkan penghargaan seistimewa ini. Di bulan Maret 2015, aku resmi terpilih sebagai Presiden Mahasiswa, seorang Ketua BEM di Akademi Kebidanan Bina Husada Bandung. Karena hal tersebut pula, ada sah satu pihak dari tim tabloid Kirana memintaku untuk mengkoordinir mahasiswi lain agar mengikuti seminar kesehatan. Kebetulan, pemateri seminar saat itu pun salah satu dosen yang mengajar mata kuliah Ginekologi di kampus Akademi Kebidanan Bina Husada Bandung. Sebelum mulai seminar, panitia pun mengadakan lomba menulis cerpen antar kampus kesehatan untuk menunggu pemateri yang belum juga sampai di tempat. Karena salah satu hobiku adalah menulis, saat itu aku pun tak mau ketinggalan mengikuti lomba tersebut. Dan beruntungnya, aku mendapat juara. Itulah kejuaraan pertama menulis yang kuraih di tahun 2015. Juara dua menulis cerpen inspiratif antar kampus kesehatan se-Bandung. Bahkan, kejuaraan ini juga sempat dipublikasikan di tabloid Kirana edisi bulan Maret 2015. *** Dua minggu  setelah terpilihnya aku menjadi Ketua BEM, kemudian, kampus menugaskan seluruh mahasiswi semester dua untuk melakukan Praktik Belajar Lapangan, atau biasa disebut dnegan. Lalu, tidak lama setelah kejuaraan menulis itu, aku mendapat tugas dinas di Rumah Sakit Umum Daerah Subang. Dulu, aku sangat mampu berkendara sendiri dari Bandung ke Subang. Melewati kebun teh Ciater yang terhampar begitu luas, menikmati keindahan alam pegunungan Bandung yang telah Allah ciptakan dengan sangat sempurna. Namun, berbeda dengan sekarang. Aku sudah tidak bisa seperti itu lagi. Dulu, bangunan pertama yang aku masuki sebagai tempat dinas adalah  Ruang Penyakit Dalam. Di sana, aku akrab dengan semua perawat senior. Ketika dinas malam, aku tak pernah bisa tidur. Hal itu kulakukan karena ingin menjadi petugas kesehatan yang amanah. Sebelum terjun ke lapangan, aku telah berjanji dan bersumpa di hadapan banyak orang. Sungguh! Keterlaluan sekali jika aku menjadi petugas kesehatan yang sembrono. Setelah seminggu berlalu, aku pindah ke ruang anak. Dan, salah satu perawat berlaku tidak adil padaku. Tanggal 25 Maret 2015 tamu bulanan telah datang menghampiri aku. Kebiasaan buruk diri ini adalah selalu saja mengalami dismenore apa bila terjadi menstruasi. Jadi, hal itu pun membuat aku tidak konsentrasi dalam bertugas. Dinas malam kali ini aku benar-benar lelah. Belum lagi, pasien yang kurawat adalah para bayi dan anak-anak yanhs sakit. Sedangkan, perawat senior semuanya tengah asyik tidur terlelap. Memasuki waktu subuh, aku mulai ngantuk. Aku benar-benar lelah. Ruangan sebesar ini hanya aku yang bertugas. Karena, partner dinasku malam ini sedang libur. Ketika memasuki pukul tujuh, aku melihat ada dokter visit. Aku benar-benar tidak mengerti dan tidak paham jika ada dokter visit harus mengikutinya. Jadi, aku hanya duduk saja di depan meja seraya menahan rasa sakit yang sejak tadi meremas rahimku. Namun, perawat laki-laki itu bukannya berbicara dengan baik, dia malah berteriak di hadapan dokter visit dan pasien. Ia mengatakan bahwa aku MALAS, hanya karena aku duduk di pagi hari karena lelah semalaman tidak tidur. Kejadian itu membuat aku trauma. Aku pergi ke ruang penyakit dalam dan curhat kepada perawat yang ada di sana. Aku tidak terima diperlakukan seperti itu. Bahkan, jika perawat itu menuntut aku sebagai orang yang lalai, aku berani! Aku berani pergi ke pengadilan karena aku yakin tidak salah. Namun, ucapan dan kejadian tersebut malah menjadi booming dan tersebar gosip, bahwa aku akan menuntut perawat itu ke pengadilan. Aneh! *** Gosip tentang aku yang akan melaporkan perawat ke pengadilan sudah tersebar sangat luas. Bahkan teman-teman yang dinas di rumah sakit yang ada di Bandung, Tasikmalaya serta Sumedang pun iktu mendengar. Aku heran, kenapa berita tidak benar itu bisa sampai kepada mereka? Dan, siapa orang pertama yang telah menyebarkan gosip itu? Aku juga mendengar, katanya, karena kasusku bersama perawat di tanggal 26 Maret 2016 lalu, sehingga menyebabkan kampus Akademi Kebidanan Bina Husada Bandung masuk daftar hitam pihak rumah sakit. Dan, kemungkinan besar mulai tahun depan tidak akan kerjasama lagi untuk dijadikan tempat praktik para mahasiswa. Entahlah, berita itu memang valid atau hanya gosip yang dibuat oleh orang tidak bertanggung jawab saja. Tiba di hari terakhir Praktik Belajar Laporan di Rumah Sakit Daerah Subang, aku bertemu kakak tingkat yang sedang berkumpul di depan kantin rumah sakit. Aku berjalan ke arah mereka dan mereka memandang sinis. Awalnya aku bersikap tenang dan mencoba senyup kepada mereka. Lalu, salah satu di antara mereka melambaikan tangan dan memanggilku. "Mau tanya, dong. Ketua BEM di Akademi Kebidanan Bina Husada Bandung yang sekarang siapa ya?" Aku merasa yang masih menjabat adalah Teh Ratna. Karena, aku belum sempat dilantik dan harus menyelesaikan tugas dinas dan melaksanakan kegiatan donor darah terlebih dahulu. "Setahu saya, Ketua BEM Akademi Kebidanan Bina Husada sekarang itu masih Teh Ratna. Kenapa gitu, Teh?" tanyaku. "Eh bukan! Kalau si Ratna mah saya tahu! Dia, kan, adik kelas di bawah saya. Itu, lho, katanya udah ada Ketua BEM baru? Itu siapa?" "Oh, itu saya, Teh, kenapa gitu?" "Siapa namanya?" "Septi, Teh..." "Katanya kamu mau bawa perawat ke pengadilan? Gimana ceritanya? Tahu, nggak? Karena hal itu kampus kita mau di-blacklist." "Astaghfirullah, Teh. Demi Allah saya nggak pernah bilang mau bawa perawat ke pengadilan. Lagian buat apa juga?" Selanjutnya, aku menceritakan semua kejadian yang telah berlalu dengan jujur apa adanya, bahwa apa yang dikatakan orang mengenai aku tidaklah benar. Setelah menjelaskan, salah satu kakak tingkat berkata, "Yaa... kuen mah si perawate bae demen ning ira!" Kakak tingkat itu berbicara menggunakan Bahasa Indramayu. Hal itu membuatku sangat kebingungan. "Hah, apa, Teh? Demen ning ira? Maaf apa itu artinya, Teh?" tanyaku polos. Serentak mereka pun menertawakan aku dan berkata, "Udah... itu buat PR kamu aja. Bukan kamu berarti yang salah. Ini, mah, ada yang bilang bagong ke perawat. Kasusnya beda nggak kayak ceritain itu." Setelah membuktikan bahwa aku tidak salah, hati ini terasa legah. Selama 4 minggu aku tersiksa karena fitnah dan gosip murahan itu. Setelah tiba waktu pulang, aku pun kembali ke indekos. Sampai di pintu kamar, aku mengucap salam. Lalu, salam itu disusul temanku, Dwi menjawab dengan cepat. Usai menjawab salam ia berkata, "Ti... Ti... aku udah tahu siapa yang bikin kampus kita masuk daftar hitam!" Aku terkejut. "Siapa?" "Ternyata dia Safi." Dwi menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan dari mana asal gosip mengenai aku yang tersebar luas. *** Tak punya teman, itu yang kurasakan saat itu. Semua orang mengucilkanku. Fitnah di mana-mana membuat hidupku di Subang ini terasa sepih. Jika saja tak ingat bahwa Allah selalu bersama, aku pasti sudah depresi. Aku bahagia, akhirnya bisa kembali menikmati masakan Mama dan bisa leluasa beristirahat di kamar sendiri. *** Usai tugas ini, kampus tak memberikan libur walau sehari saja. Saat itu kami harus langsung belajar. Kamis siang, usai mata kuliah Psikologi Kebidanan, aku merasa sakit yang amat dahsyat di kepala bagian belakang. Rasanya seperti dicengkeram. Aku pikir hanya efek kelelahan. Di malam hari, aku istirahat seperti biasa. Sampai pagi, rasa sakit ini tak kunjung reda. Karena sekarang bertepatan dengan hari Kartini. Jadi, di rumah banyak anak-anak yang antre minta didandani wajahnya. Sambil memoles wajah imut para siswa-siswi sekolah dasar, aku terus mengompres kepala yang sejak kemarin terasa sakit dengan es batu. Hal itu kulakukan agar rasa menyebalkan itu cepat hilang. Beruntung, rasa sakit tersebut sedikit berkurang. Keesokan harinya, tepat hari Sabtu sore, kepala ini kembali sakit. Tadinya aku berniat untuk periksa ke dokter. Kebetulan, aku ada sedikit tabungan. Hal itu sengaja aku rahasiakan dari Mama karena takut beliau khawatir. Sebelum ke luar, aku bercermin dan memperhatikan wajah. Ternyata ada yang aneh. "Hah, wajahku? Ya Allah kenapa ini?" Aku panik. Aku segera mengambil ponsel dan menghubungi sepupu. Saya: Mas, anterin aku ke dokter, ya.   Mas Irfan: Ngapain?   Saya: Periksa kesehatan aku.   Mas Irfan: Maaf, Mbak, nggak bisa. Aku lagi jagain keponakan.   Saya: Plis, Mas. Kamu pasti khawatir sama keadaan aku. Aku ke rumah kamu sekarang ya.    Mas Irfan pun mengiyakan permintaanku. Lalu, aku langsung pergi ke rumahnya. Kaki ini melangkah begitu cepat karena aku ingin segera bertemu Mas Irfan dan bercerita tentang keadan ini. Aku berlari menuju rumah Mas Irfan, tetapi tiba-tiba saja aku ingin mengeluarkan air liur yang sejak tadi menggenanh karena rasa panik.  Akhirnya aku berhenti sejenak dan mencari tempat yang sepih agar tidak bisa dijangkau orang. Di situ akau meludah. Namun, saat melihat caraku meludah, benar-benar terasa aneh. "Ya Allah, kok?" Aku menarik napas berat dan semakin khawatir. Lalu, aku kembali berlari dan akhirnya sampai di rumah Mas Irfan. Ternyata dia sudah menunggu di depan kamarnya. "Kamu kenapa lari-lari sih, Mbak?" Mataku berkaca-kaca. "Mas, anterin aku ke dokter." "Iya ayok, tapi kamu kenapa tiba-tiba minta ke dokter. Mama tahu nggak?" "Enggak, Mas. Lihat, deh, wajah aku. Senyum aku? Perhatiin!" Mas Irfan terus memperhatikan wajahku. "Kok miring gitu, Mbak?" "Iya, Mas, aku juga nggak tahu. Kenapa tiba-tiba begini. Tadi pas di jalan aku pengin ngeludah, tapi pas keluar, nggak kaya biasanya. Arahnya miring, Mas. Kalau anak panah, kaya meleset gitu," tuturku. "Ya udah ayok ke dokter. Tapi kamu bilang dulu ke Mama." "Aku bilang kalau udah ada diagnosa dari dokter, ya, Mas. Aku janji." Akhirnya, sore itu aku pergi bersama Mas Irfan mencari dokter praktik di Kota Bandung. Setelah beberapa saat mencari praktik dokter, ternyata sebagian besar tidak ada yang buka karena ini adalah hari Sabtu. "Mbak, gimana kalau ke dokter Maya aja? Tapi dokter umum, nggak apa-apa?" tanya Mas Irfan yang masih fokus menyetir. "Ya udah nggak apa-apa, Mas, yang penting aku diperiksa dulu." "Tapi sebentar, ya, aku mau ketemu temen dulu, deket kok di sana. Mau ambil uang." Setelah sampai di tempat yang sudah dijanjikan, aku mendengarkan Mas Irfan dan temannya mengobrol. Tetapi, aku merasa seperti ada yang keluar dari hidung. Aku semakin pusing dan ingin mengusap hidung dengan tangan. Betapa terkejutnya aku ketika melihat darah menempel di tangan. Hanya itu yang kuingat. Setelah itu aku pingsan. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD