“Silakan masuk,” kataku, seraya membuka pintu lebar-lebar.
“Terima kasih, Mbak Imbi.” Bu Hanin mengangguk, sambil tersenyum senang. Perempuan itu tak langsung mengambil duduk di sofa, meski aku telah mempersilakannya dengan isyarat gerakan tangan. Dia mengitari ruang tamu dan sibuk melihat-lihat segala pernak-pernik yang ada. Mulai dari lukisan, foto-foto di dinding, ornament-ornamen, hingga pritilan-pritilan kecil perabotan pemanis ruangan.
“Wah, gak nyangka, bagian dalam rumah Mbak Imbi ini bagus sekali,” puji Bu Hanin, “luas lagi!” Pandangannya terus beredar dengan sorot penuh kekaguman. “Pasti menyewa desainer interior professional!”
“Enggak, kok, Bu.” Aku menggeleng, “Saya sendiri yang menatanya.”
Sontak, pandangan Bu Hanin beralih padaku, “Wah, benarkah?” Kedua bola matanya membulat lebar. “Benar-benar, saya gak nyangka, Mbak imbi sehebat ini.” Sambil berkata demikian, perempuan biang gosip itu mengacungkan kedua ibu jarinya.
“Enggak juga, Bu. Biasa saja!” tepisku, yang merasa risih dengan pujiannya yang menurutku berlebihan.
“Apa Mbak Imbi dulu kuliah di bidang desain interior? Atau … arsitek?”
Aku kembali menggeleng, “Tidak, Bu. Saya sarjana Ilmu Sosial.”
“Ilmu Sosial?” celetuknya, spontan.
“Iya.”
“Kalau dipikir-pikir, apa hubungannya, ya, ilmu sosial dengan tata ruang rumah?” Perempuan itu tersenyum lebar setelah mengatakannya, membuatku turut tersenyum.
“Tidak ada hubungannya, Bu.”
“Kok bisa, ya? Sekolahnya apa, keahliannya apa.”
“Nyatanya, bisa, Bu.”
“Atau … pernah kursus, barangkali? Sekarang, kan, ada, tuh kursus-kursus singkat.”
“Tidak juga, Bu. Saya benar-benar tidak punya latar belakang desain interior. Murni otodidak saja. Coba-coba saja.”
“Ooo ….” Bibir Bu Hanin membulat, membentuk huruf O.
“Gak harus sekolah formal dulu, kan, untuk menguasai sesuatu hal, Bu? Belajar bisa di mana saja dan kapan saja.”
“Iya juga, sih. Tetapi, kan, tetap ada dasar-dasar ilmunya, Mbak. Bukankah segala sesuatu memang ada ilmunya?”
“Tentu, Bu.” Aku mengangguk, mengerti dengan apa yang dimaksudkannya. “Segala sesuatu memang harus ada ilmunya. Ibarat kata, untuk sampai ke suatu tempat, kita butuh kendaraan. Nah, ilmu itu ibaratnya adalah kendaraan.”
“Nah, itu yang saya maksud tadi!” Bu Hanin menimpali. “Untuk bisa menyulap ruangan menjadi se-artistik ini, pastinya juga butuh ilmu dan pengetahuan. Tidak asal tempel atau taruh saja, kan?”
“Betul, Bu. Tetapi, zaman sekarang, semuanya serba mudah. Tinggal googling atau browsing, sudah langsung keluar apa yang ingin diketahui. Selanjutnya, tinggal mempelajarinya sendiri saja. Asal serius dan niat, pasti bisa!”
“Iya.” Bu Hanin mengangguk setuju. “Jadi, Mbak Imbi juga mencari dan mendapatkan ilmunya dari google?”
“Ya. Sebelum mulai menatanya, untuk bahan referensi, saya melihat contoh-contoh konsep desain interior di google. Mari, silakan duduk.” Aku mempersilakan.
Perempuan itu mengangguk kecil. Lalu menurut, mengambil duduk di sofa, berseberangan denganku.
“Unik!” celetuknya kemudian, sambil tangannya mengusap-usap permukaan sofa di sebelahnya.
“Apanya, Bu?”
“Ruang tamu Mbak Imbi ini. Nuansanya dominan warna pastel yang lembut. Tetapi, sofanya berwarna maroon. Kontras, sih, tapi malah menjadikannya unik dan menarik.”
Aku tersenyum tipis dan tak menimpali. Rasanya memang tak mengherankan, jika orang seperti Bu Hanin akan menilai secara detail segala sesuatu yang dijumpainya. Sebab, dia adalah biang gosip, sudah pasti akan sangat teliti dan selalu menemukan bahan untuk dibicarakan dan dibahas sampai panjang lebar. Karena itu, aku harus hati-hati. Jangan sampai nantinya terkorek ataupun terpancing bercerita perihal rumah tanggaku.
“Memangnya, siapa yang memilih warna untuk sofa ini, Mbak?”
“Saya, Bu,” jawabku singkat.
“Dan Mas Bram setuju begitu saja?”
“Ya.” Aku mengangguk, “Mas Bram juga menyukai warna maroon. Sama seperti saya.”
“Wah, kalian berdua memang benar-benar serasi. Pasangan yang perfect!”
Aku tercenung. Perempuan itu memuji lagi. Alih-alih membuat hati senang atau bangga, aku justru merasa tertekan dan tak nyaman. Apa enaknya dipuji-puji untuk sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar kita miliki? Serasa menipu diri sendiri. Hanya akan menambah kehampaan di hati.
“Oh, ya, apa tadi yang mau Bu Hanin ceritakan?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan. Agar perempuan itu tidak lagi membicarakan perihal aku dan Mas Bram. Demi Tuhan, aku tak ingin kehidupan pribadiku dikonsumsi orang lain. Terlebih oleh orang seperti Bu Hanin.
“Yang mau saya ceritakan?” tanyanya dengan dahi berkerut-kerut. Tampaknya dia telah lupa dengan tujuan awal kupersilakan masuk rumah.
“Soal usaha yang Bu Hanin lakukan untuk menggagalkan pernikahan Pak Helambang.” Aku memberikan clue.
“Ooo … ya, ya.” Perempuan itu mengangguk-angguk, tanda bahwa dia telah mengingatnya kembali. “Ceritanya panjang, Mbak Imbi. Tetapi, sepertinya akan menyenangkan kalau kita mengobrolnya sambil minum bersama. Teh panas atau kopi, misalnya. Tapi, kalau boleh memilih, teh panas saja.”
Aku terpana. Orang mana sebenarnya Bu Hanin ini? Tak seperti kebanyakan orang Indonesia yang biasa mengedepankan rasa sungkan. Terlebih, untuk urusan bertamu di rumah orang. Lebih aneh lagi, minuman yang dimintanya. Siang-siang bolong seperti ini, meminta teh panas? Mengapa bukan es teh atau es jeruk?
“Itu pun kalau Mbak Imbi tak keberatan. Kalau keberatan, ya, tidak usah,” tukas perempuan itu kemudian. Mungkin karena dilihatnya aku menjadi terbengong dan hanya melongo saja. “Memang, zaman sekarang semuanya serba mahal. Harga gula saja sudah dua pekan ini menembus angka dua puluh lima ribu per kilonya.”
“Oh, enggak. Sama sekali gak keberatan, Bu. Hanya sedikit heran saja, di hari panas seperti ini Bu Hanin bukannya meminta minuman dingin, malah meminta teh panas atau kopi. Tunggu sebentar, akan saya buatkan dulu.”
Perempuan itu tidak menyahut, hanya tersenyum yang entah apa maknanya.
“Eh, Mbak Imbi, tunggu!” tahan Bu Hanin, tiba-tiba. Aku yang sudah bangkit dari sofa dan siap beranjak, mengurungkan langkah.
“Ada apa lagi, Bu?”
“Boleh saya ikut ke dapur?”
Aku kembali terhenyak. Belum benar-benar hilang rasa heranku perihal minuman yang dipintanya, sekarang ditambah lagi dengan sesuatu yang lebih mengejutkan. Bagiku pribadi, apa yang baru saja disampaikannya itu terbilang tidak semestinya, mengingat selama ini kami bukanlah dua orang yang akrab. Bisa dihitung dengan jari, interaksi di antara aku dan dia. Itu pun sebatas menyapa dan berbasa-basi dari halaman rumah masing-masing. Pendek kata, just say hallo saja. “Boleh, kan, Mbak Imbi?” tanya Bu Hanin lagi, mengakhiri bengongku.
“E … e … ya, deh, Bu. Bo … boleh,” kataku, lirih. “Mari ….”
Aku melangkah ke dapur dengan perasaan yang bercampur aduk. Sementara Bu Hanin, mengekor di belakangku. Saat menyeberangi ruang tengah, dan sampai pada cermin besar dengan bingkai berukir-ujir, aku menoleh. Dari pantulan cermin itu, kulihat mimik wajah Bu Hanin tampak semringah.
“Wah, rumah Mbak Imbi benar-benar nyaman!” celetuknya, di belakangku. Aku tak tertarik lagi untuk menyahut ataupun menanggapi.
“Silakan duduk di sini, Bu,” kataku, sesampainya di dapur. Kutarik salah satu kursi makan untuknya yang berada tepat di dekat jendela besar.
“Wow, asri sekali halaman belakangnya, Mbak!” pekik Bu Hanin, takjub. Matanya tampak berbinar, melihat ke luar jendela. “Oh, ok. Terima kasih,” ucapnya kemudian, setelah menyadari bahwa aku telah menarikkan kursi untuknya.
Selama meracik minumah, beberapa kali aku mencuri pandang ke arah tamuku tersebut. Perempuan yang sungguh mati membuatku sedikit ‘shock’ itu tampak duduk tenang, menikmati suasana. Pandangannya ke luar jendela, melihat ke arah deretan bunga anggrek bulan koleksiku yang tergantung di salah satu sisi taman.
“Jadi, dapur ini merangkap ruang makan, ya, Mbak Imbi?” Tiba-tiba perempuan itu bertanya. Pandangannya sudah beralih kepadaku yang masih sibuk mengaduk minuman.
“Betul, Bu. Kami hanya tinggal berdua, jadi tak butuh ruang makan yang luas. Cukuplah jika meja makan diletakkan di situ,” jawabku sembari menunjuk meja makan dengan gerakan kepala.
“Ya. Lagi pula, ruangan ini memang nyaman. Apalagi dengan pemandangan taman yang cantik itu. Boleh saya buka jendelanya?”
Belum sampai aku memberi jawaban, tangan Bu Hanin sudah meraih gerendel pengunci jendela dan membukanya. Seakan-akan, persetujuanku sebagai pemilik rumah tidaklah benar-benar penting baginya.
“Ya, silakan,” jawabku lirih, seolah kutujukan untuk diriku sendiri.
Setelah siap, segera kubawa kedua cangkir berisi teh manis panas ke meja makan. Sebenarnya, aku sedang tidak ingin nge-teh. Namun, karena tamuku menginginkannya, apa boleh buat. Sebagai tuan rumah yang baik, tentu aku harus mengimbanginya.
“Terima kasih,” kata Bu Hanin dengan senyum cerah, saat satu cangkir yang masih mengepulkan uap tipis kuletakkan di hadapannya. Sedangkan yang satunya lagi, kuletakkan di seberangnya, di hadapanku.
“Betul-betul dapur dan ruang makan yang nyaman!” pujinya, untuk yang kesekian kali. Semenjak perempuan itu masuk ke dalam rumah ini, entah sudah seberapa banyak pujian yang telah dilontarnya. Kalau itu perihal rumah, atau yang lainnya, biarlah. Anggap saja itu sebagai sebuah apresiasi. Asal, bukan perihal aku atau Mas Bram saja. Aku mengambil duduk di seberangnya.
“Kita ini aneh, ya, Mbak Imbi,” ungkapnya kemudian.
“Aneh? Kita? Maksud Bu Hanin?”
“Ya, aneh saja, Mbak. Padahal, kita sudah lama bertetangga. Bahkan, rumah kita bersebelahan, tetapi baru sekarang saya tahu bagian dalam rumah Mbak Imbi.”
Aku tak menyahut, hanya memberinya seulas senyum singkat.
“Mbak Imbi, sih, menutup diri!”
“Menutup diri bagaimana, Bu?” tanyaku, basa-basi. Sebab, sebenarnya sudah terbaca, ke arah mana maksud kata-kata perempuan ceriwis itu sebenarnya.
“Tertutup, suka menyendiri, dan tak mau bergaul!” tukasnya, menjawab pertanyaanku. “Sejak Mbak Imbi pindah kemari, kita belum pernah saling kunjung. Hanya bisa dihitung jari, Mbak Imbi bergaul sama ibu-ibu warga penghuni komplek perumahan kita ini. Padahal, kita sering lho mengadakan kegiatan.”
“Oh ya?” tanyaku, pura-pura tidak tahu. Padahal, sebenarnya sudah mengetahui sejak lama. Bu Handoko, Ibu RT di komplek ini, sudah pernah menyampaikannya, waktu pertama kali aku dan Mas Bram menghadiri Halal bihalal yang diselenggarakan warga di gedung serbaguna komplek. Bahwa, ada perkumpulan yang anggotanya para istri atau ibu-ibu komplek. Kegiatannya macam-macam, mulai dari arisan, pertemuan rutin, hingga beberapa kegiatan keluar yang bernuansa sosial. Mengunjungi panti asuhan, rumah jompo, bahkan lokasi bencana.
Bu Handoko mengajakku untuk turut bergabung. Ketika itu, aku dan Mas Bram baru beberapa bulan pindah kemari. Namun, hingga detik ini, sekitar lima tahun menjadi warga komplek, aku belum juga bergabung. Banyak hal yang menjadi pertimbanganku. Salah satunya, aku tak mau terlalu akrab dengan orang-orang sekitar. Agar, keadaan rumah tanggaku yang sebenarnya tertutup rapat dari siapa pun.
“Iya, Mbak Imbi. Seru dan menyenangkan, lho. Ayolah gabung. Biar Mbak Imbi juga bisa akrab dengan ibu-ibu yang lain. Apa tak bosan di dalam rumah terus-terusan? Sendirian lagi!”
“Wah, gimana, ya? Bu Hanin, kan, tahu sendiri, saya tidak punya pembantu. Jadi, segala sesuatunya harus saya kerjakan sendiri. Tidak ada waktu untuk yang lainnya.”
“Halah, kan cuma sebulan sekali, acara ngumpul-ngumpul rutinnya, Mbak. Pasti bisalah, diluangkan waktunya. Kalaupun tak mau ikut kegiatan keluar, minimal ikut arisan sajalah.”
Aku tak menyahut lagi. Belum kutemukan kata-kata yang pas untuk menolaknya.
“Atau … Mas Bram melarang, ya?” tebak Bu Hanin dengan sorot mata menyelidik.
“Ah, tidak, Bu. Mas Bram tak pernah melarang-larang saya!” sergahku cepat, untuk menepis kecurigaan perempuan di hadapanku tersebut.
“Nah, tunggu apa lagi? Apa perlu, saya yang memintakan izin pada suami Mbak Imbi?”
“Ah, tidak … tidak! Tidak perlu, Bu! Iya, deh, nanti saya pikirkan lagi dulu, ya.”
“Nah, gitu, dong!” kata Bu Hanin seraya melepas senyum lebar.
Setelah itu hening. Masing-masing dari kami tak lagi bersuara. Dengan ekor mata, kucuri pandang pada perempuan di hadapanku. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tiba-tiba, angin sepoi berembus, dari arah taman masuk ke dalam ruangan, membawa serta semerbak aroma bunga yang sedang bermekaran di bawah jendela.
“Benar-benar beruntung Mbak Imbi ini.” Setelah beberapa saat dilingkupi kesunyian, tiba-tiba suaranya kembali terdengar. “Masih muda, sudah punya rumah seperti ini. Pasti, Mas Bram punya pekerjaan yang bagus. Memangnya, kerja di mana, sih?”
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Jika materi pembicaraannya sudah menyinggung-nyinggung soal kehidupan pribadi, lebih baik aku sedikit bicara.
“Hati-hati lho, Mbak. Jaga baik-baik, jangan sampai lepas! Laki-laki seperti Mas Bram, sudah pasti banyak yang mengincar. Apalagi di zaman sekarang. Banyak perempuan gatel di luar sana!”
Untuk sepersekian detik, darahku berhenti mengalir. Ibarat anak panah, apa yang dikatakan oleh Bu Hanin itu melesat cepat dan menancap tepat di pusat jantung. Bagaimana mungkin, perempuan itu bisa mengatakannya di momen yang sangat tepat? Seolah, dia mengetahui dengan pasti, apa yang sedang terjadi di dalam rumah ini. Untuk beberapa saat lamanya, aku hanya tercenung dan tak tahu harus memberikan respon seperti apa.
“Ah, Bu Hanin bisa saja!” kataku kemudian, spontan, setelah aku kembali bisa menguasai kembali situasi dan keadaan.
“Lho, ini serius, Mbak Imbi. Bukan hoax atau isapan jempol belaka. Fakta!”
Aku menatapnya dengan mata sedikit memicing. Radar di dalam otakku menyala. Ada penekanan nada pada kata terakhir yang baru saja diucapkan oleh Bu Hanin. Membuatku berpikir dan merasa menemukan sesuatu. Untuk memastikan, kuamati dengan lebih seksama, mimik wajah perempuan di hadapanku itu.
Bu Hanin terlihat sangat emosional. Bukan hanya pada saat mengatakannya tadi. Bahkan, hingga kini, setelah beberapa saat telah berlalu. Raut wajahnya masih terlihat serius, meski tak semerah padam tadi. Aku mengulum senyum, sebab sebuah peluang kulihat di depan mata. Kurasa, aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengambil alih kendali obrolan.