Setelah merasa kesadaran telah kembali sepenuhnya, buru-buru, aku turun dari tempat tidur. Ada yang harus segera kulakukan, yaitu memastikan apakah Mas Bram akan makan siang di rumah atau tidak. Jika makan siang di rumah, berarti, mesti segera kusiapkan hidangan di meja makan.
Semangatku tiba-tiba menjadi berlipat ganda, sebab mengingat apa yang kumasak tadi pagi untuk menu makan siang dan malam hari nanti. Aku yakin, setelah mengetahui apa menunya, Mas Bram pasti akan bersemangat untuk makan siang di rumah saja.
“Mau makan siang sekalian, Mas?” tanyaku, sekeluarnya Mas Bram dari kamar mandi. “Aku masak rendang basah cabai hijau.”
Kupandang wajah suamiku sepenuh harapan. Tak sabar rasanya, melihat binar di wajahnya karena tergugah selera makannya. Sebab, rendang basah cabai hijau adalah makanan kesukaannya. Aku mendapatkan resepnya dari ibunya Mas Bram, tiga hari lalu, saat kami berdua mengunjunginya di Blitar. Kata Ibu mertuaku, jika menunya rendang basah cabai hijau dengan banyak rempah, Mas Bram bisa nambah sampai berkali-kali makannya. Tidak mengherankan, sih. Sebab, setelah aku memasaknya sendiri tadi pagi, dan mencicipinya, ternyata rasanya memang benar-benar lezat.
Mas Bram memandang sekilas kepadaku, lalu menggeleng, “Enggak. Nanti saja di kantor,” jawabnya singkat dan datar. Aku menghela napas berat. Layaknya kuncup bunga yang baru saja mekar dan langsung dipangkas, hatiku langsung layu. Sungguh di luar ekspektasi, jawaban Mas Bram itu. Jangankan tergugah seleranya, menunjukkan sedikit antusiasme saja tidak. Sedih sekali sebenarnya, namun segera kutepis jauh-jauh, agar tak kian membuat hatiku nelangsa.
Kuantar Mas Bram sampai ambang pintu pagar. Kulambaikan tangan, meski entah, apakah di dalam mobilnya sana, dia memmerhatikannya lewat kaca spion ataukah tidak. Saat mobilnya telah hilang dari pandangan, hatiku belum juga ingin beranjak. Kakiku seperti dipaku pada bumi yang kupijak. Sebab, setelah sendirian lagi, mimpi mengerikan yang kualami tadi, seolah mencuat kembali ke permukaan.
“Wah … wah … wah, Mbak Imbi dan Mas Bram ini, benar-benar membuat saya iri!”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Bu Hanin, tetangga sebelah rumah, tengah berdiri di teras rumahnya dan melihat ke arahku dengan senyum dan tatapan menggoda. Aku membalas senyumnya, meski enggan.
“Kalian benar-benar pasangan yang harmonis, ya.”
Kutelan ludah, sebelum kembali memaksakan diri untuk tersenyum. “Biasa saja, Bu,” sahutku, sambil berbalik badan, hendak kembali ke dalam rumah.
“Kok biasa saja? Suami menyempatkan diri untuk pulang di jam makan siang itu istimewa dan so sweet banget,” kata perempuan paruh baya berkulit kuning langsat itu. “Pasti, karena sudah kangen sama Mbak Imbi dan tidak ingin melewatkan kesempatan makan siang bareng!” tukasnya, menambahkan. “Tidak semua laki-laki bisa seperti itu, lho. Bahkan mungkin, hanya sedikit yang begitu.”
Aku tersenyum getir. Memang benar, alangkah manisnya, jika yang terjadi sama seperti yang dikatakan oleh perempuan berambut keriting itu. Namun sayangnya, tidak demikian kenyataan yang ada. Jangankan mengekspresikan rasa kangen dan makan siang bersama, menanyakan dengan sungguh-sungguh tentang mimipi yang membuatku ketakutan dalam tidur siang tadi saja, tidak dilakukan Mas Bram. Padahal, dia sudah melihatnya sendiri, bagaimana aku berteriak-teriak dan megap-megap dalam tidur.
“Sudah berapa tahun kalian menikah?” tanya Bu Hanin tiba-tiba, menyadarkanku dari lamunan.
“Emm … sekitar lima tahun,” jawabku, setelah menghitungnya dalam hati. “Ya, lima tahun lebih sedikit,” ulangku, memastikan.
“Ish … usia rawan itu!”
Aku terhenyak. Kata-kata perempuan itu menghentikan kakiku yang sudah bersiap hendak melangkah.
“A… apa, Bu? U… usia rawan?” tanyaku, gugup.
Kuputuskan untuk mengurungkan niatan segera masuk rumah. Sebab, tiba-tiba, aku merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa yang tetanggaku itu maksudkan. Padahal biasanya, aku selalu menghindari peluang mengobrol lama dengannya. Sifat Bu Hanin yang serba ingin tahu urusan orang lain yang membuatku kurang suka. Terlebih, menurut Pak Joko—petugas kebersihan komplek perumahan kami—Bu Hanin adalah biang gosip yang suka kasak-kusuk. Gemar menjual cerita dan omongan tentang orang lain ke mana-mana. Masih menurut Pak Joko, ada beberapa orang di lingkungan komplek ini yang sama seperti Bu Hanin. Membuatku semakin malas untuk terlalu akrab dengan ibu-ibu komplek.
“Iya, rawan,” ulangnya, antusias. Matanya tampak berbinar-binar. Mungkin, karena menyadari ketertarikanku pada topik pembicaraan yang baru saja dia lontar. Ah, dasar, biang gosip! Jangan-jangan, dia mengidap Cinderella Syndrome juga, yaitu sebuah kecenderungan ingin selalu menjadi pusat perhatian.
“Maksudnya usia rawan, apa, ya, Bu?” Aku meminta kejelasan.
Alih-alih langsung menjawab, perempuan itu malah berjalan keluar dari halaman rumahnya dan mendatangiku.
“Maksudnya usia rawan itu adalah masa-masa di mana pernikahan berada pada fase rentan, Mbak Imbi,” kata Bu Hanin, setelah dia berada di halaman rumahku dan jarak di antara kami tak lebih dari dua meter. “Perceraian banyak terjadi pada masa-masa itu. Di lima tahun pertama!” imbuhnya.
Aku tertegun. Banyak terjadi perceraian? Benarkah apa yang baru saja kudengar itu? Aku langsung teringat pada isi pembicaraan dengan Mas Bram pada petang itu, sebulan yang lalu. Tentang kehadiran Kartika, perasaan Mas Bram yang sedang jatuh cinta, dan rencana suamiku itu untuk menikah lagi. Apakah pernikahanku saat ini pun tengah berada pada fase rawan itu?
Jika dipikir-pikir, mungkin saja benar begitu. Buktinya, mengapa baru sekarang Mas Bram mau menikah lagi? Mengapa tak dari dulu-dulu? Kemarahannya begitu luar biasa di malam pengantin, waktu itu. Bukankah seharusnya, dia tak membuang-buang waktu untuk segera mengambil kompensasi yang kutawarkan?
Kukira, tidak akan sulit bagi Mas Bram, jika hanya untuk mendapatkan seorang gadis perawan saja. Namun nyatanya, meski waktu terus bergulir dan hubungan kami tak bisa hangat, tak kunjung terlihat tanda-tanda bahwa suamiku itu telah mendapatkan seorang gadis dan hendak menikahinya. Seolah-olah, waktu dan kesibukan telah membuatnya lupa dengan kesepakatan itu. Atau, kalaupun ingat, dia tidak berminat lagi untuk melakukannya.
Akan tetapi, ternyata asumsiku itu meleset. Kelegaan dan ketenanganku tidak berlangsung selamanya. Sebab, tiba-tiba saja, setelah lebih dari lima tahun, Mas Bram menyampaikan sesuatu yang sangat mengejutkan. Sesuatu yang telah berhasil membuat tidurku tak lagi bisa nyenyak.
Ya, mengapa baru sekarang? Mengapa tidak sejak dulu-dulu saja? Mungkinkah itu karena usia pernikahan kami saat ini sedang berada pada masa rawan, seperti yang dikatakan Bu Hanin?
“Eh, malah melamun!” Bu Hanin menjawil lenganku. Aku terhenyak karenanya.
“Bu … bukan melamun, Bu. Hanya … hanya sedikit berpikir saja,” kilahku, berkelit.
“Memikirkan apa, hayooo …?” Ekspresi wajah Bu Hanin tampak penuh minat. Tak salah lagi, dia benar-benar biang gosip.
Aku menghela napas berat. Rupanya, aku telah terjebak urusan dengan si biang gosip. Sedang kupikirkan, bagaimana caranya mengakhiri obrolan. Aku takut, dia akan terus bertanya ini-itu dan memancing-mancing.
“Enggak, e…, saya hanya berpikir, apakah semua pernikahan akan mengalami masa rawan seperti yang Bu Hanin katakana tadi,” jawabku, sekenanya.
“Oh, iya!” cetusnya dengan wajah serius.
“Masa, sih?”
“Beneran, Mbak Imbi!” tukasnya lagi, berusaha meyakinkan. Tetapi, sejurus kemudian, “Eh, tapi, semoga saja Mbak Imbi dan Mas Bram dalam pengecualian!” Perempuan itu meringis.
Aku mengerutkan kening. “Katanya tadi, iya, pasti! Kok, sekarang seperti diralat gitu, Bu?”
“Bukannya diralat, Mbak Imbi. Cuma, siapa tahu saja, ada semacam … semaacam …” Bu Hanin tampak berpikir, “pengecualian. Ya, pengecualian yang diberikan Tuhan, khusus untuk pernikahan kalian!” lanjutnya dengan senyum lebar di akhir kata-kata.
“Amin,” gumamku, sambil mengangguk kecil. Dalam hati benar-benar berharap, memang demikian yang akan terjadi.
“Eh, tapi, kalian berdua baik-baik saja, kan?” Bu Hanin tiba-tiba bertanya. “Kalian tidak sedang menghadapi masalah yang serius, kan?”
“Te … tentu!” tukasku, gugup. “Tidak ada masalah. Sama sekali tidak ada!” kataku lagi, semeyakinkan mungkin.
“Ya … ya, saya percaya.” Bu Hanin mengangguk-angguk, “Kalau sedang ada masalah dan hubungan kalian tidak baik-baik saja, mana mungkin Mas Bram sampai memilih pulang di jam makan siang, ya, Mbak Imbi?” Mata sipit Bu Hanin mengerling, membuatku merasa tak nyaman sama-sekali. Sebab dalam pandanganku, perempuan itu tak sungguh-sungguh tulus dengan perkataannya. Hanya basa-basi, layaknya seorang penjilat atau orang yang sedang mencari muka. Atau bahkan, sedang menyelidiki atau memancing. “Ngomong-ngomong, apa, sih resepnya, bisa tetap hangat seperti itu?”
“Tidak ada resep, Bu. Biasa aja.”
“Ah, masa? Ayolah, jangan pelit!”
“Beneran, Bu!” tukasku, tanpa ragu-ragu. “Tetapi, bukankah semestinya, Bu Hanin yang bagi-bagi resep? Sebab, sudah jauh lebih senior daripada kami. Pastinya, sudah banyak makan asam garam kehidupan berumah tangga. Kalau saya dan Mas Bram, apalah, baru juga lima tahun.”
“Ya, bisa dibilang begitulah, Mbak Imbi!” Bu Hanin mengangguk dengan senyum bangga. “Sudah banyak yang kami lewati bersama, selama dua puluh tahun menjalani pernikahan. Mulai dari masalah kecil-kecil yang remeh-temeh, hingga masalah besar yang hampir saja membuat karam biduk rumah tangga.”
“Oh, ya?” sergahku, benar-benar antusias, bukan sekadar pura-pura. “Rumah tangga Bu Hanin dan Pak Herlambang pernah terancam karam? Masa, sih? Kok, bisa begitu? Sepertinya baik-baik saja?”
“Hmm, terlihat baik-baik saja itu kan sekarang ini, Mbak. Setelah tidak muda lagi. Dulu-dulu, sih, berkali-kali saya makan hati!”
“Benarkah?”
“Nyatanya memang begitu, Mbak. Bahkan berkali-kali!”
“Hah?” Aku melongo, “Berkali-kali?”
Bu Hanin mengangguk dengan kedua alis terangkat.
“Rasanya, sulit dipercaya, Bu. Sebab, saya lihat, Bu Hanin dan Pak Herlambang tampak adem-ayem saja. Sama sekali tak terlihat tanda-tanda bahwa …”
“Mas Herlambang dulu pernah kepincut perempuan lain dan berniat menikahinya!” potong Bu Hanin, sebelum aku menyelesaikan kata-kata.
“Apa?” Aku terhenyak. Benar-benar mengejutkan, apa yang baru saja kudengar itu. Mataku bahkan hingga membeliak, untuk sekian detik lamanya. “Benarkah itu, Bu? Wah, saya benar-benar gak nyangka!” tukasku dengan kepala menggeleng-geleng.
“Makanya, saya salut sama Mas Bram yang sedemikian sayangnya sama Mbak Imbi. Apalagi, di usia rawan seperti sekarang ini.”
Aku tercekat. Sanjungan yang dilontar oleh Bu Hanin itu terasa mengganggu. Entah dari mana dan apa dasarnya, sehingga perempuan itu bisa punya kesimpulan demikian tentang Mas Bram. Padahal, kami sangat jarang terlihat bersama di luaran. Selain karena memang hubungan kami tak pernah hangat, juga karena Mas Bram terlalu sibuk selama ini. Berangkat pagi pulang sore, bahkan kadang hingga larut malam. Terlebih memasuki akhir bulan. Sebagai seorang senior accounting di sebuah perusahaan furniture terbesar di Pulau Jawa, pekerjaannya memang nenggunung. Dia tak punya banyak waktu untuk hal-hal di luar pekerjaan. Atau, jangan-jangan, pujian-pujian itu hanya bagian dari basa-basi semata, agar aku terpancing untuk membicarakan rumah tanggaku yang sebenarnya. Bukankah orang-orang penggosip memang demikian? Mereka sangat lihai untuk mengorek-ngorek informasi.
“Tetapi, tak sampai kejadian, kan, Bu?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kejadian apa, Mbak?”
“Rencana Pak Herlambang menikah lagi.”
“Iya, sih.” Bu Hanin manggut-manggut, “Gak sampai kejadian. Sebab, saya memang tak pernah membiarkannya, Mbak. Selalu bisa saya gagalkan. Pintar-pintarnya saya aja, sih.”
“Begitu, kah, Bu?” Aku manggut-manggut. Kutatap wajah Bu Hanin. Seketika, terbersit pikiran, betapa hebatnya perempuan di hadapanku itu. Pastinya, bukanlah hal yang mudah membuat suami menyerah dengan keinginannya beristri lagi. Terlebih di saat dia kasmaran dan mabok kepayang. Tak jauh-jauh, kulihat sendiri pada diri Mas Bram. Tiba-tiba saja, aku merasa ingin dan butuh untuk menyimak cerita tentang kegigihan Bu Hanin untuk menyelamatkan biduk rumah tangga.
“Kalau boleh tahu, apa yang Bu Hanin lakukan ketika itu?” tanyaku, penuh minat. “Pastinya, membuat Pak Herlambang menyerah itu bukan perkara mudah, bukan?”
Bu Hanin tak langsung menjawab. Dia menatapku dalam-dalam, membuatku seketika terhenyak karena menyadari satu hal. Bukankah perempuan di hadapanku itu bisa saja curiga, jika aku terlampau kentara menunjukkan minat?
“Ya, kalau Bu Hanin keberatan menceritakannya juga tak apa-apa, Bu,” kataku, buru-buru. “Saya bisa mengerti jika itu sulit. Bukankah sebuah luka itu akan terasa sakitnya dua kali? Pertama, saat luka itu di ditorehkan. Kedua, saat harus menceritakannya kembali.”
Entah, apa kata-kataku itu bisa menepis kecurigaannya atau tidak. Namun yang pasti Bu Hanin tak lagi menatapku seperti sebelumnya.
“Saya juga sering mendengar, kata orang-orang, terpaan puber kedua itu lebih dahsyat daripada puber pertama,” imbuhku. “Pastinya, apa yang terjadi pada Pak Herlambang waktu itu adalah asmara di masa puber kedua, kan?”
Bu Hanin mematung. Pandangannya mengembara, menerawang jauh entah menembus dimensi waktu yang mana. Lalu, kulihat ekspresinya berubah muram.
“Bu Hanin, Anda tidak apa-apa?” tanyaku kemudian. Sebab, tak lama setelah itu, kulihat matanya berkaca-kaca.
“Bagaimana kalau saya ceritakan di dalam saja, Mbak?” Bu Hanin membuka suara, menyampaikan sebuah usulan. “Sambil minum teh atau kopi, mungkin?” tambahnya, seraya mencuri pandang ke arah pintu rumahku.
Aku tak langsung mnyetujui. Melainkan, diam-diam menimbang-nimbangnya terlebih dahulu. Sebaiknya menuruti ataukah menolak saja usulan yang disampaikan oleh Bu Hanin itu.
Pertarungan sengit pun terjadi di kancah hati. Rasa khawatir dan rasa penasaran bergulat sengit. Keduanya saling tindih dan saling mengunci. Akan tetapi, ternyata, rasa penasaran, ingin tahu, dan hasrat ingin belajar dari pengalaman Bu Hanin lebih kuat dan mendominasi ketimbang rasa takut dan khawatir yang kurasakan.
Ah, asal selalu waspada, mustahil aku bisa dikorek! Kataku pada diri sendiri.
Perlahan-lahan, menguaplah rasa ragu yang semula menyelimuti hati. Terlebih, melihat pengharapan yang amat sangat terpancar lewat sorot mata perempuan yang wajahnya mirip Ratu dangdut era 70-an, Elvy Sukaesih itu.
“Emm, baiklah, mari kita ngobrol di dalam saja,” kataku kemudian, menyerah. Kalau saja bukan demi mendengarkan pengalamannya yang kurang lebih hampir sama dengan apa yang kualami sekarang ini, rasa-rasanya, aku tak berminat untuk mengajaknya masuk.